Reportase iHEA 2017

Hari 2, 10 Juli 2017

Sesi 1


Sesi: Children, Adolescents, And Young Adults
Ruangan: Kenmore Room


Hari 2

Sesi ini melihat bagaimana penggunaan layanan kesehatan anak dan remaja dipengaruhi oleh aspek-aspek seperti kepemilikan asuransi Jamkesmas dan akses ke layanan kesehatan. Pendekatan yang dilakukan adalah multinomial probit model dan marginal effect dari kepemilikan asuransi itu sendiri serta juga melihat elastisitas penggunaan layanan kesehatan ibu terhadap pendapatan suatu keluarga. Dengan melihat elastisitas ini, dapat dinilai kecenderungan suatu populasi (atau dalam hal ini adalah para ibu bersalin) untuk memakai atau tidak memakai suatu layanan kesehatan apabila populasi tersebut memiliki suatu faktor tertentu (dalam hal ini adalah asuransi dan tingkat pendapatan).

Hasil studi ini menunjukkan bahwa para ibu dari daerah Indonesia Timur akan menghindari bersalin dengan tenaga kesehatan tidak terlatih (misalnya dukun bersalin atau hanya dibantu oleh keluarga) apabila ibu-ibu ini memiliki asuransi dan juga memiliki tingkat pendapatan yang cukup. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa memang asuransi dapat mempengaruhi tingkat penggunaan layanan kesehatan ibu.

Namun, dalam konteks JKN, perlu dicatat juga bahwa mungkin tingkat elastisitasini berbeda-beda antar daerah. Misalnya, elastisitas (atau besarnya dampak suatu faktor terhadap penggunaan layanan kesehatan) dari kepemilikan asuransi ini mungkin lebih besar di antara ibu-ibu yang tinggal di daerah dengan akses geografis yang lebih baik. Dengan kata lain, mungkin asuransi kesehatan seperti JKN akan memiliki dampak positif yang jauh lebih besar untuk mereka yang sudah memiliki akses yang baik. Sementara, dampak asuransi mungkin lebih kecil bagi ibu-ibu di Indonesia timur. Studi yang membandingkan antara berbagai daerah di Indonesia akan lebih dapat menjawab isu-isu penting ini.

-TM-

 

Sesi 2


Sesi: Transforming Health Systems Financing: Making Sure the Poor Are Not Left Behind
Oleh: Firdaus Hafidz


Anne Mills sebagai moderator

Boston - 10/7/2017. Dalam sesi “Transforming Health Systems Financing: Making Sure the Poor Are Not Left Behind”, penelitian-penelitian yang disajikan lebih ditekankan untuk memastikan equity pelayanan, dan pembiayaan kesehatan dalam era Universal Health Coverage (UHC). Berikut adalah judul dan pembicara dan sesi terkait:

  1. The Distribution of Public Primary Health Care Benefits in South Africa: Implications for Universal Health Coverage, oleh: John Ataguba, University of Cape Town, South Africa
  2. Financing for Universal Health Coverage: An Analysis of Trends in Financing Incidence in Tanzania, oleh: Josephine Borghi, London School of Hygiene & Tropical Medicine, United Kingdom;
  3. Sharing the Benefits from Government Health Spending in Cambodia: How Much do the Poor Get? Oleh: Por Ir, Institute of Public Health, Cambodian Ministry of Health, Cambodia
  4. Financing for Universal Health Coverage in Fiji - A Systems-Wide Assessment, oleh: Augustine Asante, University of New South Wales, Australia

Seluruh negara memiliki kesamaan yakni komitmen pemerintah dalam pelaksanaan Universal Health Coverage melalui asuransi kesehatan nasional. Diperlukan evaluasi terkait equity untuk memastikan apakah tujuan dari kebijakan ini sesuai harapan untuk melindungi orang miskin, atau malah sebaliknya. Penelitian dengan metode benefit incidence analysis (BIA), financing incidence analysis (FIA).

Beberapa kesimpulan yang kami peroleh antara lain: bahwa asuransi kesehatan memiliki asosiasi terhadap progresivitas pembaiyaan secara umum. Jika terjadi regresitivitas, berarti terjadi permasalahan dalam targeting masyarakat miskin. Pembiayaan earmarked merupakan salah satu strategi untuk mengatasi regresitivitas. Pasalnya pajak rokok sebagian besar masih regresif.

Dalam pemanfaatan layanan kesehatan, hampir semua penelitian juga menunjukkan hal yang sama, yakni fasilitas kesehatan pubilk primer cenderung pro poor, namun rumah sakit masih pro rich yang disebabkan oleh permasalahan akses fisik dan biaya. Masyarakat kaya mampu membayar rumah sakit secara mandiri. Oleh karena itu, salah satu rekomendasinya adalah dengan meningkatkan kapasitas dan kualitas fasilitas kesehatan yang saat ini sudah pro poor sehingga bisa menghasilkan outcome yang lebih baik dan tidak perlu jauh jauh ke rumah sakit.

Lesson Learnt untuk Indonesia

Setelah JKN berjaln selama hampir 3 tahun, rasanya perlu dilakukan evalusi terkait equity. Hal in menjadi penting karena variasi sosial ekonomi dari Indonesia, dan seluruh layanan dan infrastruktur terkonstrasi di Jawa. Beberapa hal yang berpotensi untuk diadopsi antara lain adalah terkait earmarked tax, peningkatan kapasitas yang telah propoor, dan meningkatkan akses kepada rumah sakit baik dalam bentuk kompensasi atau peningkatan infrastruktur.

Sesi 3

Provider Payment and Accountable Care for Behavioral Health

hyunjee kimPresentasi oleh Hyunjee Kim

10/7/2017- Boston. Di hari kedua iHEA kami berkesempatan untuk mengikut sesi Provider Payment and Accountable Care for Behavioral Health. Berikut adalah judul dan pembicara dalam sesi yang dimoderatori oleh Dominic Hodgkin dan Pembahas Yuhua Bao:

  1. Target Attainability and Provider Response in Pay-For-Performance: Evidence From Substance Use Disorder Treatment. Oleh: Dominic Hodgkin, Heller School for Social Policy and Management, Brandeis University, United States
  2. Effects of Global Payment and Accountable Care on Medication-Assisted Treatment For Alcohol and Opioid Use Disorders. Oleh : Julie Donohue, University of Pittsburgh School of Public Health, United States
  3. Design and Impact of an Episode-based Payment for Substance Use Disorders. Oleh: Amity Quinn, University of Calgary, Canada
  4. The Early Impact of Medicaid Coordinated Care Organizations on Mental Health Service Use in Oregon. Oleh: Hyunjee Kim, Center for Health Systems Effectiveness, Oregon Health & Science University, United States

Sesi ini menekankan diskusi terkait dampak global budget payment sebagai metode prospektif payment terhadap fasilitas kesehatan untuk menekan biaya dan kinerja fasilitas kesehatan. Namun bukan hanya sekedar metode pembayarannya saja, melainkan juga bagaimana bentuk koordinasi agar terjadi risk sharing antar fasilitas kesehatan sebagai contoh layanan tingkat primer, rujukan, gigi, dan kesehatan mental. Sehingga harapannya fasilitas dapat lebih terkoordinasi dalam memberikan pelayanan, dan mengurangi layanan berbiaya tinggi yang sering duplikasi. Memang diakui banyak kekurangannya juga, antara lain selection behaviour, dan mengurangi kualitas layanan. Sebagian besar penelitian ini berfokus pada layanan kesehatan mental, terutama adiksi karena sifatnya yang berbiaya besar, kronis, dan ketidakpastian yang tinggi dalam luaran kesehatannya. Metode penelitian yang digunakan adalah difference in difference dimana membandingkan kelompok satu dengan yang lain, sebelum dan sesudah fasilitas kesehatan menerapkan metode global payment.

Jauh dari ekspektasi, ternyata pembayaran global payment tidak memberikan efek yang signifikan baik kualitas layanan, biaya, maupun utilisasi layanan kesehatan. Hal ini dimungkinkan karena evaluasi yang masih terlalu singkat, sehingga belum terlihat efek jangka panjangnya. Jika memang benar bahwa hal ini tidak memberikan manfaat yang signifikan, maka metode ini bukanlah hal yang direkomendasikan karena energi, waktu dan biaya untuk melaksanakan koordinasi antar fasilitas kesehatan bukanlah hal yang mudah, singkat, dan murah.  

Lesson Learnt untuk Indonesia

Indonesia saat ini juga memiliki wacana untuk menerapkan global payment sebagai tambahan dari INA-CBGs akibat melonjaknya biaya kesehatan. Memang benar bahwa di beberapa negara lain seperti Taiwan dan Thailand mengalami sukses yang besar, meskipun keluhan dari pemberi layanan kesehatan tidak dapat terhindarkan. Proses untuk mengubah behaviour dari pemberi layanan kesehatan menjadi efisien dan terkoordinasi bukanlah hal yang mudah ketika sudah terbiasa dengan sistem yang ada terutama fee-for-service. Namun dengan tidak adanya bukti yang kuat dari penelitian di Amerika di atas tidak berarti hal ini tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Hal yang lebih terpenting bahwa global payment akan lebih cocok jika diterapkan dengan tujuan agar fasilitas kesehatan rujukan dan primer memiliki risk sharing sehingga tercipta koordinasi dan sistem rujukan yang lebih baik.

Reportase lainnya

the-8th-indonesian-health-economist-association-inahea-biennial-scientific-meeting-bsm-2023The 8th Indonesian Health Economist Association (InaHEA) Biennial Scientific Meeting (BSM) 2023 25-27 Oktober 2023 InaHEA BSM kembali diadakan untuk...
gandeng-ugm-dinas-kesehatan-dan-keluarga-berencana-kabupaten-sampang-adakan-pendampingan-tata-kelola-program-kesehatan-di-kabupaten-sampang Kamis, 6 April 2023, Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Kabupaten Sampang bersama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM...
diseminasi-buku-petunjuk-pelaksanaan-layanan-hiv-aids-dan-infeksi-menular-seksual-ims-dalam-skema-jknReportase Diseminasi Buku Petunjuk Pelaksanaan Layanan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) dalam Skema JKN 22 Desember 2022 dr. Tri Juni...

pendaftaran-alert

regulasi-jkn copy

arsip-pjj-equity

Dana-Dana Kesehatan

pemerintah

swasta-masy

jamkes

*silahkan klik menu diatas

Policy Paper

Link Terkait

jamsosidthe-lancet