Potret suram pengguna BPJS Kesehatan, dipinggirkan dan dipermainkan

http://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/20140608_113241_bpjs.jpg

Jakarta - Perlakuan tidak baik terhadap pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih saja terjadi. Kali ini, seorang anak berumur dua tahun di Bekasi ditolak Rumah Sakit saat berobat dengan BPJS Kesehatan lantaran mengidap rabies, usai melakukan kontak dengan hewan.

Kabar itu disampaikan Wakil Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi, Rahmawati. Dia geram lantaran pihak rumah sakit seolah menganggap remeh pasien peserta BPJS Kesehatan itu.

"Pasien tersebut bernama Naira Azkia (2) warga Kelurahan Jakamulya, Kecamatan Bekasi Selatan. Dia ditolak rumah sakit swasta di Galaxy, Bekasi Selatan, dengan alasan tidak punya obat rabies," kata Rahmawati di Bekasi, seperti dilansir dari Antara kemarin.

Menurut Rahmawati, Naira sebelumnya mengalami gejala rabies usai digigit seekor kucing di rumahnya pekan lalu. Selepas itu, Naira mengalami kejang dan demam tinggi. Lalu pihak keluarga membawanya ke salah satu rumah sakit swasta ternama di kawasan Galaxy buat diobati.

Berdasarkan hasil diagnosa di rumah sakit itu, Naira disebut mengalami gejala rabies dan harus menjalani penyuntikan vaksin sebanyak tiga kali. Yakni hari pertama, hari ketujuh, dan hari ke-28.

"Saat itu dokternya bilang kalau vaksin pertama untuk Naira tidak tersedia di rumah sakit tersebut, dan meminta pasien dirujuk ke rumah sakit lain. Naira hanya dikenakan biaya pengobatan dan pengecekan saja," lanjut Rahmawati.

Usai menerima laporan itu, Rahmawati lantas melakukan pemeriksaan obat di rumah sakit itu, dengan menyamar sebagai keluarga pasien rabies. Namun, kali ini Rahmawati mengatakan bersedia membayar biaya pengobatan dengan kocek pribadi, tanpa jaminan BPJS. Saat itulah dia menemukan kejanggalan.

"Ternyata pihak rumah sakit bilang obatnya ada, saat saya konfirmasi dengan berpura-pura menjadi pasien umum. Kenapa untuk pasien BPJS tidak ada?" tanya Rahmawati.

Usai mendapatkan fakta itu, Rahmawati lantas mengadukan sikap rumah sakit itu ke kantor BPJS cabang Kota Bekasi.

"Info yang diterima dari BPJS ternyata pembiayaan obat Naira 'dicover' oleh pemerintah. Tapi pihak rumah sakit bilang tidak 'dicover'," lanjut Rahmawati.

Menurut Rahmawati, pihak BPJS meminta supaya RS swasta itu mengembalikan uang sudah dibayarkan orangtua Naira buat biaya pengobatan.

"Tapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjut dari rumah sakit tersebut," ucap Rahmawati.

Rahmawati bersama dengan jajaran Komisi D DPRD Kota Bekasi berencana mendatangi rumah sakit swasta itu, guna meminta pertanggungjawaban manajemen. Bahkan kalau protesnya tidak ditanggapi, dia berjanji akan melakukan tindakan keras.

"Kalau perlu, sanksi pembekuan izin usahanya kita rekomendasikan kepada Pemkot Bekasi," imbuh Rahmawati.

Hingga berita ini dibuat, belum ada klarifikasi dari manajemen rumah sakit swasta dimaksud.

Sejak pemerintah mengaktifkan BPJS Kesehatan mulai 1 Januari 2014, berdasarkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, masyarakat berharap hal itu menjadi pintu gerbang buat mendapat jaminan kesehatan. Sebab pada masa sebelumnya, banyak orang di Indonesia kesulitan saat hendak berobat lantaran terganjal biaya. Bahkan ada anekdot menyebut 'orang miskin dilarang sakit', buat menggambarkan betapa sulitnya jaminan kesehatan di negeri ini.

Meski demikian, dampak dari diberlakukannya layanan BPJS Kesehatan, Jaminan Kesehatan Nasional, dan Kartu Indonesia Sehat, tentu rumah sakit dan layanan kesehatan lainnya diserbu. Hal itu bukan tanpa cela. Kadang kerap terjadi salah paham antara pasien dan rumah sakit. Bahkan, tak jarang pasien harus berkeliling mencari rumah sakit mau menampung jika mesti dirawat inap. Seolah rumah sakit tidak siap menerima pasien. Padahal iuran BPJS Kesehatan pun tak bisa dianggap murah.

Anggota Komisi IX DPR Fraksi PKB, Siti Masrifah menyatakan ada beberapa permasalahan dari pola pelayanan BPJS Kesehatan. Di antaranya mekanisme rujukan yang belum jelas.

"BPJS belum berjalan lebih baik mekanisme rujukannya. Belum berjalan maksimal, ada yang numpuk di Puskesmas. Ada yang Puskesmas tidak mau merawat, dirujuk ke sana kemari," kata Siti dalam diskusi beberapa waktu lalu.

Menurut Siti, fasilitas kesehatan ditawarkan BPJS Kesehatan juga belum memadai. Obat-obatan yang disediakan dalam e-katalog pun tidak lengkap.

"Obat e-katalog tidak tersedia. Kalau ada A, ada pula (alternatif) e-katalog B. Kalau A enggak ada masih ada B. Ini harus dipecahkan," ucap Siti.

Siti juga mengungkapkan pada saat memeriksakan diri, pasien hanya dilayani diagnosis satu keluhan. Seharusnya, pasien didiagnosis secara menyeluruh sehingga menjadi jelas keluhan penyakit yang dideritanya.

"Belum ada juklak dan juknis kalau orang periksa pasien maka harus komprehensif. Pasien cuma didiagnosis satu doang. Besok datang lagi didiagnosis yang kedua," ujar Siti.

Siti mengatakan, semua masyarakat harus terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Namun, BPJS Kesehatan yang hanya bisa diakses lewat Internet, sehingga menyulitkan masyarakat di pelosok desa.

"Ada istilah penghentian pelayanan kalau orang itu tidak membayar iuran. Ini kemudian banyak dapat protes. Masyarakat Indonesia harusnya dapat pelayanan kesehatan secara paripurna," sambung Siti.

Menurut Siti, harus ada verifikasi secara cermat untuk kategori masyarakat termasuk miskin. Komisi IX DPR berjanji menaikkan anggaran BPJS Kesehatan sebanyak Rp 5 triliun.

"Kita formulasikan di komisi IX kriteria miskin seperti apa sehingga berhak dapat BPJS. Tahun 2016 akan dinaikkan anggaran bertambah Rp 5 triliun, itu menambah jutaan pasien," tutup Siti.

sumber: Merdeka.com

 

Berita Tekait

Policy Paper