Penunggak Iuran BPJS Tak Bisa Urus SIM, Kemungkinan Mulai Berlaku 1 Januari 2019

Penunggak Iuran BPJS Tak Bisa Urus SIM, Kemungkinan Mulai Berlaku 1 Januari 2019

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai gencar dalam melakukan upaya minimalisir defisit yang terjadi di perusahaan pelat merah tersebut. Satu di antaranya mengetatkan sanksi terhadap peserta yang menunggak iuran.

Sanksi bagi peserta yang tak patuh membayar iuran BPJS tidak bisa memperpajang SIM, STNK atau paspor.

Kepala Humas BPJS kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan, setidaknya perusahaan akan mengetatkan sanksi tersebut terhadap peserta yang termasuk dalam pekerja bukan penerima upah (PBPU/informal).

Sebab, segmen tersebut merupakan salah satu penyumbang defisit BPJS Kesehatan saat ini. Peserta BPJS Kesehatan mandirir yang menunggak iuran mencapai 12,5 juta orang.

"Yang menunggak BPJS Kesehatan mandiri mencapai 54 persen. Ada 25,3 juta peserta BPJS Kesehatan mandiri di Indonesia, namun yang tidak bayar iuran setengahnya atau 12,5 juta," ujar Iqbal kepada Tribun Medan/Tribun-Medan.com, beberapa hari lalu.

Total jumlah peserta BPJS Kesehatan hingga 1 Juli 2018 mencapai 199 juta jiwa atau sekitar 80 persen dari keseluruhan populasi penduduk Indonesia. BPJS Kesehatan menargetkan jumlah peserta meningkat hingga 257 juta orang pada 2019.

Namun, ada informasi mulai 1 Januari 2019 akan ada sanksi bagi peserta yang tidak bayar iuran BPJS Kesehatan. Terkait sanksi tersebut, ia menyatakan BPJS Kesehatan hanya bisa mengimbau dan mengajak masyarakat untuk bayar iuran.

"Kalau ada yang tulis berlaku pada 1 Januari, saya tidak pernah menyatakan demikian," katanya.

Namun, pada PP 86 tahun 2013, Pasal 8 Ayat 1, masyarakat yang tidak membayar iuran BPJS Kesehatan dikenakan sanksi tidak mendapatkan pelayanan publik.


Tapi, pelaksanaannya berada di pemerintah, sehingga BPJS Kesehatan masih menunggu.

"Peraturan menyangkut sanksi lainnya seperti dalam Perpres Nomor 82 tahun 2018. Dalam Perpres tersebut ada contoh yang baik, ketika ibu yang menjadi peserta JKN maka punya kesempatan 28 hari, untuk mendaftarkan bayi yang dilahirkannya jadi peserta. Jika, tidak mendaftar akan terkena dampak aturan regulasi yang konsekuensi hukum," ujarnya.

Ia menambahkan, berdasar data Kementerian Keuangan pada akhir Oktober 2018 menyebutkan defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 7,95 triliun.

Jumlah itu, merupakan selisih dari iuran yang terkumpul Rp 60,57 triliun dengan beban Rp 68,52 triliun.

Dia menyebutkan sumber defisit paling besar dari peserta pekerja bukan penerima upah.

Segmen peserta itu hanya mengumpulkan iuran Rp 6,51 triliun, sedangkan beban BPJS Kesehatan dari segmen tersebut berkisar Rp 20,34 triliun. Jadi, ada selisih Rp 13,83 triliun.

Selanjutnya, segmen peserta bukan pekerja juga ada selisih Rp 4,39 triliun. Data saat ini, iuran yang terkumpul mencapai Rp 1,25 triliun, sementara beban Rp 5,65 triliun. Lalu, pekerja penerima upah yang didaftarkan pemerintah daerah juga menyumbang desifit Rp 1,44 triliun.

"Iuran yang terkumpul Rp 4,96 triliun, sedangkan beban Rp 6,43 triliun," katanya.

Lebih lanjut, ia sampaikan segmen penerima bantuan iuran keuangan bergerak positif. Tercatat, iuran ini mencapai Rp 19,1 triliun, sementara beban berkisar Rp 15,89 triliun. Karena itu, Kementerian Keuangan menyebutkan segmen ini surplus Rp 3,21 triliun.

"Kami tidak bisa memaksa, makanya persuasif. Orang kita edukasi supaya melakukan pendekatan secara kemanusiaan. Anda kalau mau membantu saudara yang lain, saudara yang butuh pengobatan harus rutin bayar iuran," ujarnya.

Selain itu, katanya, banyak orang bertanya perihal iuran BPJS Kesehatan yang tidak dinaikkan. Mengenai hal ini, BPJS Kesehatan menghargai pemerintah untuk mendorong warga untuk peduli kesehatan dan berperilaku hidup sehat.

Apalagi program JKN-KIS merupakan amanat Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam hal ini, iuran BPJS Kesehatan menjadi sorotan karena iuran lebih rendah dibanding permintaan layanan kesehatan.

Berdasarkan perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tahun 2016, iuran JKN bagi penerima bantuan iuran (PBI) berkisar Rp 36 ribu. Dan peserta bukan penerima upah kelas tiga Rp 53 ribu. Sedangkan pemerintah menetapkan iuran PBI Rp 23 ribu dan iuran bagi PBPU kelas tiga Rp 25 ribu.

"Untuk premi ini apakah dinaikkan atau tetap kami serahkan kepada lembaga terkait," katanya.

Iqbal menyatakan, badan usaha besar sudah mengikuti aturan, yakni menjadi peserta JKN. Apalagi, BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan kejaksaan dan dinas tenaga kerja di kabupaten/kota untuk menerbitkan perusahaan yang tak bergabung di JKN.

"Apalagi sudah ada online single submission (OSS) yang membuat semua perizinan terintegrasi. Jadi kalau bandel tidak bisa memproses izin-izin.
Warga sedang mengantre untuk mengurus pembuatan BPJS Kesehatan di Jalan Karya.
Warga sedang mengantre untuk mengurus pembuatan BPJS Kesehatan di Jalan Karya. (TRIBUN MEDAN/Liska Rahayu)

Gotong Royong

Direktur Utama RS Martha Friska Multatuli Medan dr Harmoko menjelaskan, pasien yang berobat di tempatnya didominasi peserta BJPS Kesehatan.

Dengan munculnya masalah defisit BPJS Kesehatan senilai Rp 7,95 triliun, Harmoko berpesan, agar masyarakat gotong royong dengan cara membayar iuran tepat waktu.

"Ya, mudah-mudahan ada solusi dengan dukungan semua pihak, sehingga masyarakat yang menggunakan layanan BPJS Kesehatan tetap berjalan. Kita akui, program BPJS Kesehatan sangat membantu masyarakat," kata Harmoko saat dihubungi, Sabtu (17/11).

Ia menambahkan, munculnya defisit BPJS Kesehatan karena terdapat beberapa temuan pada masyarakat, yakni ogah membayar iuran dan terkadang membayar hanya saat membutuhkan layanan kesehatan.

"Ya, mungkin diperlukan sosialisasi kepada masyarakat agar lebih peduli. Program BPJS Kesehatan ini sistemnya gotong royong. Jadi, jangan ketika butuh barulah mendaftar sebagai peserta. Ketika sudah sembuh, enggak lagi mau membayar iuran. Hal inilah yang menimbulkan tunggakan-tunggakan pembayaran," ujarnya.

Ia menambahkan, meski dalam kondisi defisit, Harmoko tak memungkiri RS Martha Friska masih didominasi masyarakat yang berobat menggunakan layanan BPJS Kesehatan. Sebab, selain memudahkan masyarakat, BPJS Kesehatan juga saat ini sudah memberlakukan rujukan online.

"Sekarang kan sudah berlaku rujukan online yang lebih menguntungkan masyarakat yang dapat memilih rumah sakit yang lebih dekat dari tempat tinggal. Mudah-mudahan permasalahan ini dapat segera dicari solusinya," katanya.

Pada November 2017 lalu, RS Martha Friska Multatuli sempat tidak lagi bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Penyebabnya, ada beberapa klausul yang tidak dapat disepakati antara pihak BPJS Kesehatan dengan rumah sakit saat menandatangani kontrak, dan pelanggaran ketidaksesuaian administratif penagihan klaim.

Ketua Asosiasi Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Cabang Sumatera Utara Parlindungan Purba mengimbau kepada seluruh rumah sakit swasta agar tidak cenderung berpegang kepada layanan BPJS Kesehatan.

"Jangan hanya mengandalkan layanan BPJS Kesehatan. Permasalahan BPJS Kesehatan sudah nasional. Kami juga sudah komunikasi dan mudah-mudahan dapat segera diselesaikan. Kami juga mengimbau rumah sakit agar lebih berinovasi," ujarnya.

Ia menambahkan, seharusnya rumah sakit swasta juga menciptakan jasa pelayanan inovatif, sehingga dapat mendorong masyarakat untuk mau berobat tanpa harus ke luar negeri.

"Kami akan meningkatkan mutu pelayanan dan lebih inovatif, sehingga bagaimana caranya pasien-pasien percaya berobat di rumah sakit. Semoga ke depan kami lebih mampu memberikan pelayanan yang terbaik," ujarnya.

Terpisah, Humas RS Pirngadi Edison Peranginangin mengaku, pasien yang berobat di rumah sakit tersebut juga didominasi peserta BPJS Kesehatan.

Meski demikian, ia tidak dapat memastikan, apakah terjadi penurunan jumlah, ketika masalah defisit di tubuh BPJS Kesehatan.

"Dari dulu memang didominasi peserta BPJS Kesehatan. Soal berkurang pasien yang menggunakan layanan ini, saya enggak bisa bahas. Saya sebagai pribadi anggota BPJS Kesehatan. Kami kan setiap bulan potong gaji untuk iuran BPJS Kesehatan. Kalau keluar (dari peserta BPJS Kesehatan), malah enggak bisa," ucapnya. (tio/ase)

sumber: tribunnews

Berita Tekait

Policy Paper