Pemerintah Harus Benahi Lagi Pengelolaan BPJS

Seorang aktivis LSM antikorupsi (MaTA) mendesak Pemerintah Aceh untuk keluar dari skema BPJS Kesehatan, apabila Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tidak revisi, terutama Pasal 52 ayat (1) huruf r yang menyatakan korban penganiayaan, kekerasan seksual, perdagangan manusia, hingga terorisme tidak lagi ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Selain terkait dengan Perpres itu, selama ini layanan BPJS juga dinilai sering mengecewakan masyarakat. Rumah sakit yang melayani pasien BPJS juga berubah sikap terhadap pasien yang biayanya dijamin oleh asuransi itu. Pasien-pasien BPJS merasa diperlakukan sebagai ”pasien kelas 2” di banyak rumah sakit.

Menyusul kekecewaan masyarakat lantaran “pelitnya” BPJS, banyak kalangan menduga ada sesuatu yang tidak beres di lembaga itu. Apalagi, pada tahun 2018 ini BPJS memperkirakan mengalami defisit hingga Rp16,5 triliun. Padahal, defisit merupakan masalah yang sudah sangat kronis bagi BPJS Kesehatan yang dari tahun ke tahun angka kerugiannya terus bertambah. Tahun 2017, BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp 9,75 triliun.

Terkait konsdisi BPJS seperti itu, seorang peneliti menulis, BPJS Kesehatan dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), dan ditetapkan sebagai badan hukum publik. Sayangnya, bentuk tersebut masih menimbulkan ketidakpastian hukum.

BPJS juga memiliki sifat mirip BLU karena bersifat nirlaba dan tidak perlu menyetor dividen. Ketidakjelasan bentuk badan hukum tersebut menjadikan BPJS Kesehatan memiliki berbagai keistimewaan dibandingkan dengan lembaga negara, BUMN maupun BLU. Berbagai keistimewaan, terutama adanya sifat nirlaba, tidak perlu menyetor dividen, dan mudahnya mendapatkan suntikan dana, berpotensi menjadikan BPJS minim kreatifitas, setelah sebelumnya berbentuk BUMN.

Padahal, kata peneliti tadi, mengelola BPJS Kesehatan sebagai program sosial harus dilakukan ekstra hati-hati. Bila tidak, bisa membuka celah kecurangan. Terlebih bila berlindung dalam konsep welfare state (negara kesejahteraan). Atas nama welfare state, berbagai bantuan, sumbangan, suntikan dana, subsidi, dan penyertaan modal dari pemerintah meluncur tanpa dicek kebenaran pemanfaatannya.

Selain itu banyak juga pengamat, aktivis antikorupsi, dan lain-lain yang rada curiga pada angka devisit BPJS yang tiap tahun kian membengkak luar biasa. Karena itulah, kita setuju jika operasional BPJS ini dievaluasi kembali secara baik dengan harapan layanan kepada masyarakat akan maksimal dan angka devisit bisa ditekan, termasuk soal gaji para pegawai BPJS yang dikabarkan terlalu besar.

Berita Tekait

Policy Paper