Aduh Rumitnya Jadi Pasien BPJS Kesehatan

Antre berobat/DOK PR

BERHENTINYA sementara pe­la­yanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di ru­mah sakit yang belum terakreditasi, membuat pasien kelimpungan. Pasien BPJS yang sudah terjadwal dioperasi pada 2019 merasa terbebani karena tiba-tiba harus menanggung ­biaya operasi. 

Asep Dadang, seorang warga Kecamatan Cilawu mendatangi Rumah Sakit Nurhayati, Selasa 8 Januari 2019 pagi. Dia bermaksud berkonsultasi terkait ber­hentinya sementara pelayan­an BPJS Kesehatan di RS Nurha­yati karena RS swasta itu be­lum terakreditasi. 

Penghentian layanan berlaku sejak 1 Januari 2019. Padahal, pihak rumah sakit telah menjadwalkan operasi hernia untuk istrinya pada 25 Januari 2019. Penjadwalan dilakukan pada 28 Desember 2018.

Dengan berhentinya pela­yan­an BPJS Kesehatan, otomatis operasi istri Asep tak bisa ditanggung BPJS Kesehatan meski istrinya ­peserta BPJS Kesehatan. Dia harus menanggung sendiri biaya operasi yang nilainya sekitar Rp 10 juta. 

”Kalau bayar sendiri berat. Saya kan pasien miskin, pakai Kartu ­Indonesia Sehat,” ucap Asep di RS Nurhayati. 

Dia mengaku kecewa karena proses operasi istrinya jadi ­terhambat. Padahal, sebelumnya, istri Asep sudah melalui berbagai tes sebelum operasi seperti tes darah dan pemeriksaan jantung.

Asep sebenarnya punya pi­lih­an lain, melakukan operasi di RS lain yang terakreditasi. RS terakreditasi di Garut yaitu RSUD dr Slamet dan RS TNI AD Guntur, masih melayani pasien BPJS Kesehatan. 

Namun, dia harus melalui prosedur dari awal. Asep harus kembali ke puskesmas untuk meminta rujukan berobat ke RS TNI AD ­Guntur yang merupakan RS kelas C. Dari RS Guntur, Asep kemudian me­minta dirujuk ke RS kelas B yakni RSUD dr Slamet.

Selanjutnya di RS dr Slamet, Asep juga harus menempuh beberapa prosedur, mulai dari pendaftaran hingga penjadwal­an operasi. Belum lagi antrean operasi di RS umum lebih lama dibandingkan dengan RS swasta, mencapai tiga bulan. 

Mengingat prosedur yang panjang itu, Asep memutuskan untuk menunggu saja selesai­nya proses akreditasi RS Nur­hayati sehingga istrinya tetap bisa dioperasi di RS itu. Meski tak pasti kapan RS ­Nur­hayati selesai menempuh proses akre­ditasi. ”Sebenarnya istri saya sudah harus segera operasi,” ucap Asep. 

Antre berobat/DOK PR

Bayar sendiri

Pasien RS Nurhayati lainnya, Enung, memilih membayar sen­diri biaya berobat jalan anak­nya yang sakit epilepsi. Pasien BPJS ­Kesehatan itu merogoh kocek Rp 250.000.

Enung mempertimbangkan jarak rumahnya ke rumah sa­kit. ­”Da­ri­pada harus pulang lagi minta rujukan ke puskesmas jauh,” ujar warga Kecamatan Leuwigoong itu. 

Ke depan, Enung terpaksa terus membayar sendiri biaya berobat anaknya setiap dua pe­kan. Dia enggan berobat ke RS umum karena antrean yang panjang, meski bisa dijamin BPJS Kesehatan. 

Dari pantauan ”PR”, beberapa pasien memilih meninggal­kan RS Nurhayati setelah tahu RS itu menghentikan sementa­ra pelayanan bagi pasien BPJS Kesehatan. Pihak RS pun telah me­masang ­peng­umuman tentang penghentian sementara la­yanan BPJS Kesehatan di depan ge­dung dan lobi RS.

Kepala Humas RS Nurhayati, Yusef Maulana, mengatakan bahwa pasien BPJS Kesehatan yang sudah terjadwal operasi harus ­menang­gung sendiri ­biaya operasi. Sementara itu, sebelum 1 Januari 2019 sudah tak ada pasien rawat inap di RS itu. 

Pihak RS sudah mulai meng­urus proses akreditasi. Menurut Yusef, bimbingan akreditasi RS dengan Komisi Akreditasi Ru­mah Sakit (KARS) dijadwal­kan pada 25 Januari 2018. Meski de­mikian, dia tak bisa memastikan waktu selesainya proses akreditasi. Dengan de­mi­kian, tak bisa dipastikan pula waktu RS mulai melayani lagi pasien BPJS Kesehatan. 

Hal senada ditemui di Kota Bogor. Damayanti (40), warga ­­Kelurah­an Bantarjati, Kecamat­an Bogor Utara, Kota Bogor, memilih membayar sendiri pemeriksaan kesehatan anak­nya meski terdaftar sebagai anggota BPJS Kesehatan. Ia mengaku ribet dengan prosedur yang panjang dan memakan waktu.

”Karena ribet, saya akhirnya pilih jalur pasien umum saja. Selain cepat, juga tidak perlu rujuk sana sini,” ujar Damayanti saat dijumpai ”PR” di Rumah Sakit PMI Kota Bogor, Selasa 8 Januari 2019.Antre berobat/DOK PR

Terdampak

Dari Kota Bekasi, Miit (50), warga Jalan Swatantra, Kelu­rah­an Jatirasa, Kecamatan Jatiasih, yang merupakan peserta BPJS Kesehatan merasakan dam­pak perubahan aturan BPJS. Kepada ”PR”, ia men­­ce­ritakan beberapa hari lalu ia jatuh dari sepeda motor hingga kakinya terluka. Berbekal kartu BPJS Kesehatan, ia langsung ­menuju salah satu rumah sakit swasta di Jatiasih.

”Waktu mau berobat, saya disuruh ke fasilitas kesehatan tingkat pertama dulu karena kecelakaan yang saya alami dianggap tidak ­darurat untuk se­gera ditangani,” ucap pria yang sehari-hari bekerja sebagai pe­tugas keamanan tersebut.

Diberi arahan demikian, Miit pun menurutinya dengan me­nuju Puskesmas Jatiasih untuk meminta rujukan berobat ke RS. Akan tetapi, pada keda­tang­annya yang kedua kali, ia pun belum kunjung mendapat­kan penanganan. ”Kali ini dibilang­nya karena rumah sakit tersebut tak lagi melayani pasien BPJS,” ucapnya.

Di tengah kebingungan, ia me­­mutuskan untuk memanfaatkan ­Kartu Sehat yang diterbitkan Pemerintah Kota Bekasi. ”Tetap harus minta rujukan dari puskesmas, tapi saat meng­ajukan diri sebagai peserta ­Kartu Sehat, saya bisa langsung mendapatkan penangan­an,” kata­­nya.

Miit mengaku bersyukur de­ngan adanya Kartu Sehat yang ia ­peroleh sejak setahun terakhir. Namun, di lain sisi, ia juga mengaku kesal karena kepesertaan BPJS Kesehatan tidak memudahkannya saat akan berobat.

Ilustrasi/DOK PR

Satu rumah sakit

Pemutusan kerja sama antara BPJS kesehatan dan rumah ­sakit mitra BPJS hanya terjadi di satu rumah sakit di Jawa Barat. RS itu adalah RS Citama Cibinong yang habis masa izin operasionalnya. RS itu pun te­ngah menjalani perpanjangan izin. 

Selebihnya, RS di Jabar yang sudah bekerja sama sebelumnya tetap melayani peserta BPJS. Sebelumnya, Pemprov Jabar melalui Dinas Kesehatan sudah melakukan pertemuan dengan BPJS setelah ­terbitnya pemberlakuan Permenkes No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan per 1 Januari 2019 terkait akreditasi RS yang bekerja sama dengan BPJS. 

”Di luar Jabar, marak RS yang terancam putus kerja sama dengan BPJS tapi di Jabar tidak. Rabu (2/1/2019), kita langsung rapat ­dengan tim BPJS Provinsi Jabar mendiskusikan masalah RS yang diputus kontraknya. Sehari setelah itu, Dinkes Jabar mendatangi ­Kemen­kes untuk berkoordinasi,” ujar Kepala Bi­dang Pelayanan ­Kesehatan, dr Marion Siagian. 

Ia mengakui, pada Selasa (1/1/2019) ada beberapa RS di Jabar yang akan diputus kontraknya, salah satunya RS Jantung Diagram Depok, RS Awal Bros Bekasi Timur, dan RSIA Rinova Intan Bekasi. 

”Itu data per 1 Januari 2019, sedangkan rekomendasi pertama dari Menteri Kesehatan untuk perpanjangan kerja sama RS dengan BPJS turun 31 Desember 2018 dan rekomendasi ke­dua dari Menkes untuk perpanjangan kerja sama RS dan BPJS turun 4 Januari 2019, jadi sudah selsai semua,” katanya. 

Menurut Marion, dengan turunnya surat Menkes pada 4 Januari 2019, kontrak dengan BPJS diperpanjang. RS yang belum ­terakreditasi dan masih dalam proses akreditasi di Jabar tetap diberikan ­re­ko­mendasi untuk melayani peserta BPJS. 

Berdasarkan pendataan Din­kes Jabar, jumlah RS di Jabar 347. Sementara itu, jumlah RS yang menjadi mitra BPJS Kesehatan 294. Dari jumlah mitra BPJS itu, 159 RS sudah terakreditasi, sedangkan sisanya sudah berkomitmen melaksana­kan ­akreditasi pada rentang Januari hingga Juni 2019. Me­reka yang belum terakre­ditasi itu sudah mendapatkan reko­mendasi dari Mekes sehingga tetap dapat bekerja sama de­ngan BPJS. 

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat, dr Eka Mulyana, menuturkan hal senada dengan Marion. Menurut dia, setidaknya ada 20 RS di Jabar yang sempat terancam diputus kontraknya dengan BPJS. Namun, setelah berkoordinasi, Menkes memberikan rekomendasi kepada sejumlah RS itu hingga tetap memberikan pe­layanan terhadap peserta BPJS. 

Kartu BPJS Kesehatan/DOK PR

Diperpanjang

Dari Jakarta, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris dan Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek sepakat memperpanjang ­kerja sama dengan ru­mah sakit yang belum terakre­ditasi agar tetap dapat mem­berikan pelayanan bagi peserta JKN-KIS dengan syarat. ­Dengan demikian, pasien JKN-KIS dijamin mendapatkan akses se­luas-luasnya terhadap pela­yan­an kesehatan.

Fachmi menegaskan, pasien JKN-KIS tetap bisa berkunjung ke rumah sakit dan memperoleh pelayanan kesehatan seperti ­biasanya. Kendati demikian, bagi RS, tetap harus memenuhi standar akreditasi hingga 30 Juni 2019. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No­mor 99 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Men­teri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.

Fachmi mengatakan, fasilitas kesehatan yang bekerja sama ­dengan BPJS Kesehatan wajib memperbarui kontraknya setiap tahun. Ia membantah adanya anggapan bahwa penghentian kontrak kerja sama beberapa waktu lalu dikaitkan dengan kondisi defisit BPJS Kesehatan.

Sementara itu, Nila Moeloek mengatakan, Kemenkes telah mengeluarkan dua surat reko­mendasi perpanjangan kontrak kerja sama bagi rumah sakit yang belum terakreditasi me­lalui surat Menteri Kesehatan Nomor HK. 03.01/­MENKES/­768/2018 dan HK.03.01/­MEN­KES/­­18/­2019. Surat reko­men­dasi diberikan setelah rumah ­sakit yang belum terakreditasi memberikan komitmen untuk akreditasi sampai 30 Juni 2019. 

Ia menuturkan, akreditasi me­­rupakan bentuk perlindung­an ­pe­merintah dalam meme­nuhi hak setiap warga negara agar mendapat­kan pelayanan kesehatan yang layak dan ber­mutu oleh fasilitas pe­layanan kesehatan sesuai amanat undang-undang. Kegiatan ini dilaksanakan menggunakan standar akreditasi berupa instrumen yang mengintegrasikan kegiatan tata kelola manajemen dan tata kelola klinis guna meningkatkan mutu pelayanan RS dengan mem­perhatikan keselamatan pa­sien.***

 

Berita Tekait

Policy Paper