Fingerprint BPJS Kesehatan: Dilema Perbaikan Layanan Vs Antre Makin Lama

BPJS Kesehatan terapkan sistem fingerprint pada pasien. Foto: Rosmha Widiyani/detikHealth

Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menerapkan aturan baru per 1 Mei 2019 pada 4 poli di rumah sakit. Pasien yang ke poli mata, jantung, rehabilitasi medik, dan cuci darah (HD/hemodialisa) wajib merekam sidik jari (fingerprint).

Aturan ini menimbulkan kontroversi di kalangan peserta BPJS Kesehatan dan rumah sakit sebagai pemberi layanan. Peserta mengeluhkan mekanisme yang mengakibatkan pasien harus bolak-balik sebelum ke poli.

"Sekarang jadi 2 kali kerja, pertama ngantre nomer terus nanti kalo pasien udah dateng ke loket verifikasi dulu buat fingerprint. Dulu cuma ngantri nomer terus pasien bisa langsung ke poli, nggak usah ambil sidik jari. Nggak apa-apa sih, cuma kalau buat orang tua mungkin bisa lebih dimudahkan ya biar nggak bolak-balik atau antre," kata Nafa Ardianti saat ditemui detikHealth.Nafa kerap mengantarkan ayahnya yang berusia 60 tahun berobat ke poli jantung di rumah sakit di Kota Bekasi. Biasanya Nafa antre dulu untuk antri dan verifikasi dokumen, baru disusul ayahnya bila jam pelayanan poli sudah buka.

Nafa tidak menjelaskan detail perbaikan layanan fingerprint yang sebaiknya disediakan rumah sakit dan BPJS Kesehatan. Upaya apa pun perbaikan yang nantinya dilakukan, Nafa berharap akan berdampak baik pada pelayanan yang diterima pasien BPJS Kesehatan.

Sementara itu, pihak rumah sakit mengeluhkan minimnya komunikasi terkait mekanisme pelaksanaan aturan. Salah satunya penyediaan alat yang menjadi tanggung jawab rumah sakit. Tiap rumah sakit punya kemampuan berbeda sehingga sarana dipenuhi sesuai kemampuan, yang belum tentu memenuhi kriteria BPJS Kesehatan.

"Semua kebijakan BPJS Kesehatan sudah seharusnya demi pasien, yang tentunya menjadi perhatian PERSI. Karena itu, kebijakan seharusnya dibicarakan dulu sebelum diterapkan. Apalagi kebijakan ini sebetulnya menjadi bagian dari strategi nasional," kata Humas Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Anjari Umarjiyanto.

Anjari juga mengingatkan keluhan antri atau bolak-balik yang dihadapi pasien dengan adanya kebijakan fingerprint. Rumah sakit sebetulnya tidak keberatan dengan aturan tersebut asal ada kesepakatan dan pemahaman yang sama dengan pemerintah. Aturan fingerprint tidak masuk dalam perjanjian kerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Senada dengan PERSI, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) juga tidak keberatan dengan aturan fingerprint asal ada bantuan dari BPJS Kesehatan. Terutama untuk rumah sakit dengan kemampuan yang terbatas. ARSSI juga berharap ada perbaikan mekanisme untuk menghindari penumpukan pasien di rumah sakit.

"Perekaman sidik jari bisa dilakukan mulai dari puskesmas, klinik, atau dokter keluarga. Selain itu, bisa juga kerja sama dengan dinas kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) yang sudah punya rekaman sidik jari penduduk," kata Sekretaris Jenderal ARSSI Ichsan Hanafi.

Perekaman sidik jari kali pertama dilakukan pada 2018 untuk pasien HD. Aturan bertujuan menekan penyalahgunaan kartu untuk peserta lain serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Rumah sakit tak perlu memasukkan banyak data untuk menerbitkan Surat Eligibitas Peserta (SEP) yang nantinya bisa mengurangi antrian.

Menanggapi keluhan masyarakat dan rumah sakit, Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf menyatakan tak perlu khawatir. Tiap perubahan pasti mengundang reaksi dan tambah antri yang hanya berlangsung sementara.

"Kita memberi perlakuan yang sama pada tiap fasilitas pelayanan kesehatan. Rumah sakit yang sudah siap bisa jalan lebih dulu. Nantinya akan kita evaluasi sebelum bisa diterapkan kepada semua poli layanan rumah sakit," kata Iqbal.

Iqbal berharap kebijakan yang bertujuan memperbaiki layanan pada masyarakat ini mendapat dukungan semua pihak. Aturan ini akan bersifat jangka panjang dan akan diterapkan tiap kali peserta BPJS Kesehatan berobat di rumah sakit.

Berita Tekait

Policy Paper