Menkes Optimis Revisi Regulasi BPJS Berjalan Mulus

 Menteri Kesehatan RI: Nafsiah Mboi Jakarta - Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi, optimis revisi peraturan pelaksana BPJS Kesehatan akan berjalan mulus. Pasalnya, sebelum peraturan pelaksana itu disahkan, Kemenkes akan membahasnya bersama pemangku kepentingan, salah satunya serikat pekerja. Ia menilai serikat pekerja, terutama yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) gigih mengawal persiapandan memberi saran penting dalam penyusunanregulasi BPJS Kesehatan.

Nafsiah melihat arah positif itu saat berdiskusi dengan perwakilan KAJS di kantor Kemenkes Jakarta pada Selasa (13/8). Sebagaimana tuntutan yang kerap disuarakan, serikat pekerja menginginkan agar Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Jamkes) dan PP No.101 tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) direvisi.

Menanggapi hal itu Nafsiah mengatakan sampai saat ini pemerintah masih menggodoknya. Bahkan, ia mengatakan revisi Perpres Jamkes akan diselaraskan dengan ketentuan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta yang memiliki penghasilan.

Terkait desakan untuk meningkatkan jumlah peserta PBI agar mencakup golongan masyarakat lemah seperti guru honorer, buruh tani, nelayan dan pekerja berpenghasilan minim, Nafsiah mengatakan hal itu dapat diperbaiki. Namun, ia mengingatkan bahwa hal tersebut bersinggungan dengan kondisi fiskal. Nafsiah mengaku akan mempertimbangkan usulan pekerja agar pemerintah mengalokasikan sumber anggaran lain seperti cukai rokok.

Bahkan, Nafsiah melihat ada potensi untuk memperbesar cakupan penerima bantuan iuran lewat anggaran Jamkesda. “Akan kita rumuskan dalam Perpres Jamkes, itu memang Perpresnya sudah di saya, tapi saya belum paraf karena merasa belum sreg, sebab harus di bahas bersama (pemangku kepentingan,-red),” katanya ketika berdiskusi dengan perwakilan KAJS di kantor Kemenkes Jakarta, Selasa (13/8).

Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Chazali Husni Situmorang, mengatakan hal lain yang disorot serikat pekerja agar Perpres Jamkes diperbaiki menyangkut soal status badan hukum BPJS. Menurutnya, perbaikan itu akan dilakukan dalam revisi Perpres Jamkes dengan mengacu ketentuan dalam UU SJSN dan UU BPJS. “Itu sudah ada dalam agenda revisi Perpres Jamkes,” ujarnya.

Lebih jauh Chazali mengaku tidak menemui ketentuan yang melarang pentahapan kepesertaan BPJS Kesehatansebagaimana dituntut oleh para pekerja. Menurutnya, dalam UU SJSN dan BPJS pentahapan dilakukan dalam rangka menjaring kepesertaan pekerja formal dan informal, namun tidak ditentukan batas waktunya. Oleh karenanya lewat peraturan pelaksana, pemerintah mengatur batas waktu itu menjadi limatahun.

Menurut Chazali, batas waktu itu digunakan untuk mengantisipasi sebagian masyarakat yang belum mau bergabung dengan BPJS karena masih melihat bagaimana BPJS berjalan. Tapi yang terpenting bagi Chazali adalah bagaimana melakukan upaya untuk mendorong seluruh masyarakat menjadi peserta BPJS. “Ketika masyarakat mau menjadi peserta BPJS, maka BPJS tidak boleh menolak,” tukasnya.

Untuk jumlah PBI BPJS Kesehatan, Chazali menjelaskan saat UU BPJS digodok, terjadi perdebatan pelik dalam menentukan masyarakat yang masuk kategori tidak mampu. Ujungnya, data Program Pendataan Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang hasilnya menyangkut 96,7 juta orang digunakan sebagai acuan. Namun, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyepakati anggaran yang dapat dikucurkan untuk menanggung peserta PBI hanya untuk 86,4 juta orang.

Sebagai salah satu solusi memecah persoalan itu, Chazali mengatakan Menkokesra, Agung Laksono, mengusulkan agar 10,3 juta orang yang tidak tercakup sebagai peserta PBI disinergiskan dengan program Jamkesda yang digelar pemerintah daerah. Sehingga, iuran Jamkesda disesuaikan dengan BPJS Kesehatan. Jika hal itu terwujud maka peserta Jamkesda dapat dialihkan ke BPJS Kesehatan.

Usai mengikuti diskusi tersebut, Chazali mengatakan dalam revisi Perpres Jamkes, ketentuan mengenai iuran akan dimasukan. Sehingga nantinya, Perpres Jamkes hasil revisi memuat besaran iuran untuk peserta BPJS Kesehatan yang berpenghasilan.

Sementara Sekjen KAJS, Said Iqbal, mengatakan revisi atas peraturan pelaksana BPJS Kesehatan sangat penting dan harus dilakukan. Pasalnya, regulasi itu tidak menegaskan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan jaminan kesehatan. Padahal, Iqbal melihat dalam UU SJSN dan BPJS, hal tersebut disebut secara jelas. “Jangan sampai kebijakan yang diterbitkan pemerintah, peraturan turunan (BPJS,-red), bertentangan dengan UU,” ucapnya.

Iqbal mengatakan KAJS sudah memberikan draft sandingan untuk peraturan pelaksana BPJS Kesehatan. Ia berharap Menkes dan jajarannya dapat mengkaji poin-poin penting yang perlu diperdalam dengan memperhatikan masukan yang disodorkan serikat pekerja. Misalnya, tentang status badan hukum BPJS, harusnya berbentuk badan hukum publik. Kemudian soal pentahapan, Iqbal melihat dalam UU SJSN, yang bertahap bukan kepesertaan tapi program jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS Kesehatan.

Dari pantauannya selama ini, Iqbal merasa pemerintah, terutama Kemenkeu selalu mengaitkan besaran PBI dengan fiskal. Padahal, untuk mengatasi persoalan itu ada langkah yang dapat ditempuh. Misalnya, mematok iuran PBI sekitar Rp15 ribu, jumlah itu menurutnya cukup menanggung beban peserta PBI sebanyak 156,2 juta orang. Bahkan untuk mengalihkan peserta Jamkesda ke BPJS Kesehatan baginya bisa dilakukan dengan menyinergiskan APBN dan APBD.

Tak ketinggalan Iqbal menyebut dalam Perpres Jamkes, ketentuan tentang manfaat yang diperoleh peserta BPJS Kesehatan lebih sedikit ketimbang yang tercantum dalam UU BPJS. Misalnya, ada penyakit yang mendapat pelayanan kesehatan, tapi di Perpres Jamkes penyakit itu tidak tercakup. Soal iuran, Iqbal menegaskan pekerja sepakat untuk mengiur, namun perlu dibuat peta jalan karena UU Jamsostek dan peraturan turunannya masih berlaku ketika BPJS Kesehatan berjalan tahun depan. “Kalau ada yang menyebut pekerja tidak mau mengiur, itu tidak benar,” pungkasnya.

Berita Tekait

Policy Paper