Reportase Hari 2

The 5th INAHEA Annual Scientific Meeting (ASM) 2018

“Spiralling Economic Evidence to Boost National Health Policies”

Jakarta, October 31st – November 2nd 2018

 

Sesi 1

Policy discussion: A comprehensive view toward ESRD (End Stage RenaL Disease) cost and modality

Moderator: Prof. Budi Hidayat, SKM., MPPM., PhD (Universitas Indonesia)

Pembicara:

  • dr. Aida Lydia, PhD., Sp. PD-KGH(Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia )
  • dr. Ni Made Ayu (BPJS Kesehatan)
  • dr. Tengku Jumala (Kementerian Kesehatan)
  • Dr. Rizka Andalusia (Badan Pengawas Obat dan Makanan)
  • Toni Samosir (Ketua Umum Pasien Cuci Darah Indonesia)

h2 sesi 1

Sesi ini dibuka dengan pengantar diskusi oleh Profesor Budi Hidayat yang menjelaskan tentang beban biaya cukup besar yang dialami JKN untuk membiayai pasien Gagal Ginjal Tahap Akhir (End-Stage Renal Disease). Hal ini disebabkan oleh prevalensi pasien ESRD yang semakin meningkat serta cukup besar nya biaya untuk pemberian terapi pengganti ginjal, salah satu yang paling banyak adalah hemodialisa atau cuci darah. Prof Budi menyampaikan bahwa, berdasarkan hasil kajian Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK), cuci darah lewat perut atau yang dikenal dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) merupakan pilihan yang cost-effective jika dibandingkan dengan hemodialisa biasa.

dr. Aida Lydia, SpPD-KGH dari Pernefri kemudian menjelaskan tentang gambaran epidemiologi penyakit gagal ginjal di Indonesia serta pelayanan apa yang mereka dapatkan berdasarkan data register Nefrologi Indonesia. Dikatakan bahwa jumlah penderita gagal ginjal yang mendapatkan terapi pengganti ginjal (hemodialisa, CAPD, maupun cangkok ginjal) semakin meningkat tiap tahunnya, terutama pada awal diberlakukannya JKN pada tahun 2014. Menanggapi tentang pilihan untuk menjadikan CAPD sebagai pilihan pertama terapi, dr.Aida mengatakan bahwa memang proporsi pasien yang mendapatkan terapi ini masih sedikit, hanya sekitar 5%. Beberapa kendala yang kemungkinan terjadi adalah tentang ketersediaan cairan CAPD, ketersediaan tenaga medis yang terlatih, serta perlu adanya layanan home care yang masih terbatas.

Menanggapi ulasan tersebut, dr. Ni Made dari BPJS Kesehatan Serta dr. Mala dari Kementerian Kesehatan sepakat untuk mendorong hasil rekomendasi KPTK. Kemenkes sendiri secara khusus sedang melakukan uji coba penerapan CAPD sebagai pilihan utama di beberapa Rumah Sakit di Jawa Barat. Diharapkan dengan uji coba ini, akan didapatkan skema yang bisa diterapkan secara luas di seluruh Indonesia. Sementara itu, Dr. Rizka menanggapi bahwa BPOM siap untuk mendukung kebijakan ini dengan membuat alur registrasi penyedia cairan CAPD yang lebih efisien, tanpa mengurangi jaminan kualitas dan keamanan produk yang nantinya akan didistribusikan secara luas. Selain itu, diharapkan juga adanya penyertaan modal dalam negeri agar ketersediaan produk-produk tersebut tidak hanya tergantung dari impor.

Terakhir, Pak Toni menyampaikan beberapa permasalahan-permsalahan yang dialami oleh rekan-rekan pasien cuci darah di Indonesia. Salah satunya adalah mengenai pemberian terapi-terapi tambahan seperti eritropoetin untuk mengurangi risiko anemia serta vitamin-vitamin tulang untuk mencegah osteoporosis yang terkadang tidak didapatkan oleh para pasien. Hal tersebut ditengarahi karena tarif InaCBGs untuk hemodialisa yang tidak mencukupi tertanggungnya obat-obatan tersebut, terutama di RS kelas D atau klinik-klinik hemodialisa. Mengenai rencana kebijakan penerapan CAPD sebagai pilihan pertama terapi, Pak Toni menanggapinya secara positif, asalkan ketersediaan cairan dapat dipastikan serta adanya pusat pelyanan yang tersebar merata.

Sesi 2

Would JKN Improve Cancer Survival in Indonesia?

Reporter : Giovanni van Empel


budiSesi ini dimoderatori oleh Prof Budi Hidayat dari CHEPS UI dengan mengundang panel dari dr Nafsiah Mboi (Menteri Kesehatan periode 2010-2014), Dr. Prastuti Soewondo dari TNP2K, dan Aryanthi Baramuli dari Cancer Information and Support Center. Sesi ini bermaksud mengumpulkan berbagai perspektif dengan harapan untuk menghasilkan policy recommendation.

Prof Budi Hidayat membuka sesi dengan memberikan informasi JKN yang telah berjalan hampir 5 tahun masih tergolong muda, masih banyak kekurangan. Meskipun demikian, ada perbaikan di persoalan akses bagi masyarakat serta proteksi finansial dari kejadian katastropik. Dari evaluasi 4 tahun terakhir, penderita kanker termasuk yang menyedot pengeluaran BPJS dari tahun ke tahun. Terutama bagi kelompok pasien yang datang dengan kondisi sudah stadium lanjut. Hal ini wajar dari perspektif biaya. Namun pertanyaan menariknya, apa strategi yang bisa dilakukan untuk melakukan pencegahan bahkan deteksi dini untuk menekan biaya?

Panel pertama mengundang dr Nafsiah Mboi Sp.A, MPH.. Paparan Nafsiah mengenai latar belakang dan kondisi Non Communicable Diseases (NCDs) di Indonesia. Dari paparannya, Indonesia memang masih cukup tinggi dalam hal NCD untuk penyebab kematian periode 2006 - 2016. Namun, dalam rentang waktu tersebut ada penurunan beban penyakit untuk diare, TBC, dan ISPA. Sementara untuk penyakit NCDs seperti kardiovaskular, diabetes, kanker mengalami kenaikan. Faktor resiko yang telah diidentifikasi adalah aktivitas fisik, merokok, dan diet. Untuk itu kembali penekanan adalah pada program preventif dan promotif yang menyasar kelompok penyakit ini.

Di sesi selanjutnya, Aryanthi sebagai survivor kanker yang memberikan perspektif pasien. Ada kekhawatiran mengenai biaya tidak langsung yang dapat membebani masyarakat tidak mampu. Seperti transportasi, biaya tinggal di rumah sakit, dan sebagainya. Ada hal penting mengenai supply side readiness yang dapat dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Diperlukan suatu strategi dan inovasi mekanisme pembiayaan untuk memperluas akses dan memberikan layanan berkualitas bagi penderita kanker.

Di sesi terakhir, Prastuti Soewondo memaparkan suatu refleksi menarik mengenai langkah kebijakan yang perlu diambil. Pertama adalah isu sustainabilitas yang juga menyasar supply side readiness. Akses yang terjangkau ini penting agar penderita penyakit kronik, termasuk kanker dapat secara lengkap mengikuti treatment. Ini dapat menjadi masalah bagi penderita dengan setting informal, ketika opportunity cost adalah hilangnya pemasukan harian untuk menghidupi keluarga. Kedua, isu planning kebijakan pengadaan obat. Dari penelitian empirisnya, tim TNP2K berhasil melihat perbedaan antara Rancangan Kebijakan Obat (RKO) dengan e-order atau pemesanan yang dilakukan pada tahun tersebut. Untuk beberapa obat kanker, ada e-order yang melebihi perencanaan, sementara ada juga beberapa obat yang pemesanannya jauh di bawah yang sudah direncanakan. Untuk itu isu capacity building untuk perencanaan menjadi penting. Sebab ini juga mampu mengurangi persoalan obat kosong di pasaran.

Sebagai penutup, Prof Budi mengingatkan perlunya rekomendasi kebijakan untuk melakukan inisiatif preventif dan promotif. Salah satu yang disampaikan adalah  Nafsiah agar dapat menyampaikan kepada Kemenkes terkait data terbaru dan dapat melakukan intensifikasi di aktivitas preventif. Menurut  Prastuti Soewondo, meskipun pengeluaran kesehatan mengalami kenaikan hampir 2x lipat, dana - dana Kemenkes untuk preventif dan promotif tidak lebih dari 10%, sementara BPJS hanya mengeluarkan kurang dari 1 persen untuk deteksi dini, screening dan  sebagainya.

Sesi 3

Moving to a native grouper for CBGs

  • Prof. Ric Marshall (Imperial College)
  • John Langenbrunner (USAID)
  • dr. Andi Afdal, MM (BPJS Kesehatan)
  • Dr. Atik Nurwahyuni, SKM, MKes (Universitas Indonesia)
  • dr. Kalsum Komaryani (P2JK Kementerian Kesehatan)
  • Moderator : Dr.Sc.Hum Budi Aji, SKM, MSc (Universitas Jenderal Soedirman)

Kontributor: dr. Muhammad Fikru Rizal, M.Sc

h2 sesi 2 fikru

Pembayaran JKN ke rumah sakit yang menggunakan sistem CBGs pada awalnya ditujukan untuk efisiensi. Namun, dalam pelaksanaannya, banyak tantangan yang dihadapi. Salah satunya isu keadilan pembayaran ke tenaga kesehatan serta kemungkinan terjadinya fraud di rumah sakit. Sesi ini membahas tentang implementasi CBGs di Indonesia serta pandangan internasional terkait reformasi skema pembayaran untuk pemberi layanan kesehatan.

dr Andi Afdal dari BPJS Kesehatan menyatakan bahwa dalam 4 tahun, JKN sudah mengeluarkan Rp 251T dengan 80% diantaranya untuk pembiayaan RS. Dari sudut pandang provider, banyak yang tidak mau dan harapannya pelan - pelan menerima. Akan tetapi, ternyata ada beberapa pemahaman yang belum sama seperti bagaimana tarif itu dibuat, casemix, dan lain - lain. Tantangan selanjutnya ialah memperbaiki sistem grouper dengan mengakomidasi kebutuhan lokal. Hal tersebut dirasa penting karena CBGs tidak hanya ditujukan untuk kepentingan pembayaran ke provider namun juga kepentingan data penggunaan layanan kesehatan di FKTRL. Kelemahan - kelemahan CBGs yang ada saat ini diantaranya adalah kurangnya insentif untuk meningkatkan performa dan untuk peningkatan efisiensi. Selain itu, perlu dilakukan data utilisasi obat kurang. One group for all outpatient cases.

Sementara itu, peneliti dari Universitas Indonesia, Dr. Atik Nurwahyuni mengingatkan kembali bahwa DRG adalah upaya untuk mengelompokkan pasien berdasarkan kemiripan jenis penyakit dan anatomi serta fisiologi. Struktur DRG dari kelompok penyakit, medical/surgical, jenis atau adjacent DRG, dan ujungnya di severity berdasarkan penggunaan sumber daya. Di negara - negara lain, DRG/CBG diperbaharui secara berkala untuk merespon perkembangan teknologi kesehatan. Dari studi yang dilakukan pada kasus - kasus obstetrik dan ginekologi dan kasus - kasus kardiovaskular, ditemukan adanya kemungkinan misklasifikasi pada system grouper. Hal ini mengakibatkan beberapa kasus overpaid dan beberapa yang lain underpaid. Hal ini ditengarai memunculkan kemungkinan tindakan fraud dari rumah sakit untuk tujuan mendapatkan overpaid.

Professor Ric Marshall menambahkan bahwa diperlukan adanya Refinement cycles yang terus menerus. Untuk melakukan hal tersebut, diperlukan pengelolaan aliran data yang baik, meliputi activity data, laporan klinis, costing study agar dapat dilakukan analisis dan pemodelan yang lebih sempurna. Melanjutkan pemaparan materi, dr. Kalsum Komaryani menyampaikan bahwa dalam konteks skema pembayaran dalam Jaminan Kesehatan Nasional, tim di Kemenkes terbagi menjadi tim tarif untuk kapitasi di FKTP dan tim INA CBGs di FKTRL. Prinsip dari pembiayaan ini adalah sistem casemix, di mana penyakit - penyakit dikelompokkan berdasarkan kesamaan - kesamaan penyakit. Selain CBGs, ada juga pembiayaan tambahan seperti spesial CMG (contohnya obat kemoterapi) dan fee for service untuk tindakan - tindakan tertentu.

Tarif, secara umum terdiri dari tarif rumah sakit, cost weight, dan faktor penyesuai (adjustment factor). Secara berkala, besaran tarif selalu diperbaharui untuk menyesuaikan dengan perubahan pada faktor - faktor tersebut. Contohnya, ada temuan dari tim Kemenkes tentang perbedaan tarif INA CBGs dengan tarif rumah sakit. Sistem grouper baru sedang dikembangkan oleh tim INA CBGs Kemenkes dengan melibatkan RS, asosiasi dokter, dan tim teknis untuk mengatasi keadaan tersebut. Proses sedang berlangsung sejak akhir 2016 dan ditargetkan selesai tahun ini untuk kemudiam diujicobakan pada 2019 - 2020.

Pemateri terakhir yaitu John Langerburner menyatakan bahwa keputusan Indonesia untuk menggunakan pembayaran dengan sistem casemix DRGs merupakan hal yang tepat. Sesuai dengan perkembangan model pembiayaan kesehatan yang diterapkan oleh hampir semua negara maju dan mulai banyak diterapkan juga oleh negara - negara berkembang. Akan tetapi, Indonesia juga harus mengembangkan sistem grouper sendiri.

Sesi 4

Indonesia National Health Account

dr. Kalsum Koemaryani – Kepala P2JKN Kemenkes RI

kalsumIndonesia merupakan negara besar dengan jumlah penduduk besar, selain itu banyak memiliki ribuan pulau yang tersebar hingga perbatasan kepulauan. dan bagaimana dengan status kesehatan kita?. Bagaimana dengan status kesehatan masyarakat kita. Status kesehatan selalu berhubungan program – program kesehatan yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan program kesehatan akan selalu berhubungan dengan perencanaan dan penganggaran. Sehingga NHA ini menjadi bagian penting dan menjadi dasar dari perencanaan dan penganggaran.

Tujuan dibuatnya National Health Account (NHA) ini untuk memperkuat dasar perencanaan dan penganggaran program kesehatan. NHA ini dibuat di tingkat pusat dan daerah. Kebutuhan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program kesehatan juga dapat dilihat dari health account ini. Sistem kesehatan nasional di Indonesia tidak hanya dari 6 blok sistem, namun ada 7 blok dengan menambahkan pada sistem pemberdayaan masyarakat. Pembiayaan kesehatan seharusnya dialokasikan secara cukup, adil dan merata dan pemanfaatannya yang efektif dan efisien. Di era JKN dengan memanfaatkan data BPJS Kesehatan maka bisa diketahui penyakit katastropik yang paling tinggi. Data dari BPJS Kesehatan ini perlu diketahui untuk mejadi dasar perencanaan dan penganggaran tingkat nasional dan daerah. Adanya Gerakan Masyarakat Sehat dan program PIS PK memerlukan ketersediaan anggaran yang cukup. Health Account ini merupakan data yang menggambarkan pembiayaan kesehatan dengan metodologi yang semakin diperbaiki dan baik dengan mengetahui dimana anggaran tersebut dibelanjakan, siapa yang membelanjakan, apa yang dibelanjakan dan siapa penerima manfaat dari program.

Heath Account ini juga memiliki dasar hukum yang kuat untuk pelaksanaannya. Namun, pelaksanaan di lapangan memang sangat komplek, karena melibatkan banyak sektor. Kompleksnya aliran dana untuk kesehatan, dari level pusat,Kemenkeu, Kemenkes, dan kementerian lain membutuhkan upaya yang besar untuk melengkapi datanya. Dana APBN disalurkan ke daerah baik ke kabupaten/ kota ke provinsi juga dapat dideteksi dan dikumpulkan dari metodologi health account ini.

Kesimpulannya bahwa sumber data health account membutuhkan data realisasi atau serapannya. Dari perjalanan National Health Account Indonesia pada 2016, dana kesehatan 144 triliun berasal dari out of pocket dari total dana kesehatan 414 triliun belanja kesehatan. Untuk gambaran data kesehatan perpenyakit juga sudah didapatkan dan dilaporkan. Data health account ini bisa di gabungkan dengan data dari BPJS Kesehatan sebagai dasar perencanaan dan penganggaran kesehatan.

Sesi 5

Cost Effectiveness of Diabetes Mellitus Treatment

Dr. Erna Kristin, Apt. M.Si

erna kristinPenelitian ini merupakan penelitian Diabetes Melitus (DM) yang menyebabkan kematian banyak K2 atau ke - 3 dari penyelenggaraan JKN. JKN ini sangat membantu masyarakat penderita DM

Dengan perkembangan obat untuk DM. Metode pengobatan dan obatnya sendiri mengalami perakembangan terus - menerus. Di lingkunan mayarakat, perilku pembatasan ini biasanya dikenal dengan nama diet dan exercise yang tidak terlihat. Kebiasaan apa yang selalu dilakukan di tempat kita. Itu yang dijalankan oleh masyarakat kita.

Pertanyaan penelitian yaitu apakah linagliptin terapi pada metromin yang diterapkan pada pasien cost effective atau tidak? Penelitian ini menggunakan literatur review dari berbagai penelitian dengan pertanyaan yang sama. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan randomis control trial pada berbagai literatur yang ditemui. Dengan menggunakan batasan – batasan tertentu yang digunakan untuk melakukan searching ke jurnal yaitu Pubmed dan Embasse dengan detail dan limitasi searching.

Selain itu penelitian ini juga melakukan uji klinik untuk memastikan keberhasilan pemilihan sampel. Untuk menyeleksi beberapa literatur review perlu dilakukan skoring dengan model Jadad. Uji klinik yang dilakukan yang memenuhi syarat yaitu skor 5 dan 6. Pengumpulan data untuk menemukan bukti efisiensi terhadap 2 pengobatan terhadap pasien yaitu menggunakan Metromin + Linagbitin dan Metromin + Sulfonyurea. Hasilnya sebagian pasien yang ditemukan adalah laki-laki atau bapak-bapak dengan usia lebih dari 50 tahun. Semua responden adalah outpatient. Dari data outpatien terdapat rawat inap. Ditemukan bahwa lebih dari 50%. DM yang usianya 50 tahun ada penyakit penyertanya. Hasil atau Outcomes yaitu bahwa sebagain pasien yang menurut HBA1C nya tinggi sejumlah 50%. Untuk menurunkan HBA1C dibutuhkan 70 juta per tahun per orang.

Reportase: M. Faozi Kurniawan

Sesi 6

Integrating End-stage HTA with MCDA :

Decision-Oriented Evidence in Adopting Health Technology and Procurement

Sesi ini dimoderatori oleh Prastuti Soewondo dari TNP2K. Sesi ini memfokuskan pada pertanyaan pertimbangan apa yang perlu diperhatikan ketika memutuskan suatu obat atau teknologi masuk ke dalam formularium atau daftar obat.

Sesi ini dimulai oleh Dr. Mohammed Gad, dari Imperial College Londonyang memberikan pengantar mengenai apa itu Health Technology Assessment. Dr Gad memaparkan HTA adalah metode sistematis untuk menentukan suatu produk dinyatakan cost-effective atau tidak. Metode ini berusaha memberikan analisis dengan mempertimbangkan berbagai aspek penting seperti evaluasi ekonomi. Persoalan lain adalah, siapakah yang akan mendapatkan manfaat, bagaimana cara alokasi manfaat ini, dan apakah cocok dengan preferensi masyarakat sehingga produk akan digunakan secara optimal?.

Isu alokasi ini mengakibatkan tidak terhindarkannya pertimbangan etis dalam menentukan keputusan. Misalnya suatu obat A memberikan 100 benefit sementara obat B memberikan manfaat 85. Namun ada kriteria lain seperti derajat keparahan penyakit, apakah tersedia alternatif pengobatan/teknologi di pasaran, dan sebagainya. Sehingga ketika kriteria - kriteria ini digunakan dan dihitung potensi manfaatnya, obat A tidak serta merta lebih baik daripada obat B. Padahal manfaat obat A secara klinis misalnya lebih besar daripada obat B. Dimensi HTA juga penting untuk melihat tidak hanya manfaat dari mendapatkan suatu treatment. MIsalnya ada biaya yang perlu dikeluarkan ketika harus menunggu mendapatkan treatment.

Disinilah pentingnya memasukkan kriteria multiple yang dapat mengakomodir banyak perspektif dan pertimbangan.

Reporter : Giovanni van Empel

Reportase lainnya

the-8th-indonesian-health-economist-association-inahea-biennial-scientific-meeting-bsm-2023The 8th Indonesian Health Economist Association (InaHEA) Biennial Scientific Meeting (BSM) 2023 25-27 Oktober 2023 InaHEA BSM kembali diadakan untuk...
gandeng-ugm-dinas-kesehatan-dan-keluarga-berencana-kabupaten-sampang-adakan-pendampingan-tata-kelola-program-kesehatan-di-kabupaten-sampang Kamis, 6 April 2023, Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Kabupaten Sampang bersama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM...
diseminasi-buku-petunjuk-pelaksanaan-layanan-hiv-aids-dan-infeksi-menular-seksual-ims-dalam-skema-jknReportase Diseminasi Buku Petunjuk Pelaksanaan Layanan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) dalam Skema JKN 22 Desember 2022 dr. Tri Juni...