Kurikulum Penelitian

II. A. Telaah Pustaka

1. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Perlu dilakukan telaah pustaka mengenai UU BPJS dan UU SJSN; perkembangan sejarah pembiayaan dan aspek social politik/ekonomi masyarakat, perbandingan dengan luar negeri, dan kebijakan terbaru BPJS. Pasal demi pasal UU SJSN dan UU BPJS perlu ditelaah

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Seluruh rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali. Program jaminan sosial yang diprioritaskan untuk mencakup seluruh penduduk terlebih dahulu adalah program jaminan kesehatan. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Implementasi program ini diharapkan bahwa seluruh rakyat Indonesia dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut atau pensiun.

SJSN diselenggarakan dengan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas dan portabilitas dengan kepesertaan bersifat wajib, dana amal dan hasil pengelolaan jaminan social dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta jaminan.Untuk melaksanakan jaminan sosial sesuai undang-undang diperlukan badan penyelenggara jaminan sosial yang harus dibentuk dengan Undang-Undang. Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial yang dimaksud adalah :

  1. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK)
  2. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN)
  3. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI)
  4. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES)

Untuk menyelenggarakan sistem Jaminan Sosial Nasional dibentuklah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dimana Dewan ini bertanggungjawab terhadap presiden yang berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Nasional. Dewan Jaminan Sosial bertugas:

  1. Melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial
  2. Mengusulkan kebijkan investasi Dana Jaminan Sosial Nasional
  3. Mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada pemerintah.

Dewan jaminan sosial dalam hal ini berwenang melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan jaminan sosial. Dalam menjalankan tugasnya DJSN beranggotakan 15 (lima belas) orang, yang terdiri dari unsur pemerintah, tokoh dan/atau ahli yang memahami bidang jaminan sosial, organisasi pemberi kerja dan organisasi pekerja. Dalam melaksanakan tugasnya, DJSN dapat meminta masukan dan bantuan tenaga ahli. Salah satu tugas wajib DJSN yaitu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Jaminan Sosial setiap 6 (bulan) dan melaporkan hasilnya kepada pihak terkait termasuk kepada BPJS.

Kepesertaan dan Iuran dalam Jaminan Sosial Nasional dibebankan kepada Pemerintah, Pemberi Kerja dan Individu. Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program Jaminan sosial yang diikuti. Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Penerima Bantuan Iuran yang dimaksud adalah fakir miskin dan orang tidak mampu.

Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 ini diatur penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang meliputi jaminan kesehan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui iuran wajib peserta. Program-program jaminan sosial tersebut diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara ini merupakan transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan sosial.

2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Pembentukan BPJS menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT TASPEN (Persero) dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban. Undnag-Undang ini membentuk 2 (dua) BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Terbentuknya dua BPJS ini diharapkan secara bertahap akan memperluas jangkauan kepesertaan progam jaminan sosial.

BPJS mempunyai tugas sesuai Undang-Undang yaitu:

  1. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta
  2. Memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja
  3. Menerima bantuan Iuran dari Pemerintah
  4. Mengelola dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta
  5. Mengumpulkan dan mengelola data peserta program Jaminan Sosial
  6. Membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program Jaminan Sosial
  7. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada peserta dan masyarakat

Dalam melaksanakan kewenangannya, BPJS berhak untuk memperoleh dana operasinal untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial dari DJSN setiap 6 (enam) bulan.

BPJS memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN. Pelaksanaan BPJS di bawah pengawasan lembaga eksternal dan internal. Pengawasan internal BPJS dilakukan oleh Dewan Pengawas dan satuan pengawas internal. Pengawasan eksternal BPJS dilakukan oleh DJSN dan lembaga pengawas independen. DJSN melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial. Lembaga pengawas independen adalah Otoritas Jasa Keuangan.

3. Sistem Kesehatan Nasional

Sistem kesehatan merupakan jaringan penyedia pelayanan kesehatan (supply side) dan orang-orang yang menggunakan pelayanan tersebut (demand-side) di setiap wilayah, serta negara dan organisasi yang melahirkan sumber daya tersebut, dalam bentuk manusia maupun material. Sistem kesehatan juga bisa mencakup sektor pertanian dan sektor pendidikan yaitu universitas dan lembaga pendidikan lain, pusat penelitian, perusahaan konstruksi, serta organisasi yang memproduksi teknologi spesifik seperti produk farmasi, alat dan suku cadang.

Definisi sistem kesehatan dari WHO yaitu seluruh kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, maka yang tercakup di dalamnya adalah pelayanan kesehatan formal dan non-formal seperti pengobatan tradisional, pengobatan alternatif, dan pengobatan tanpa resep. Selain itu, ada juga aktivitas kesehatan masyarakat berupa promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, peningkatan keamanan lingkungan dan jalan raya, dan pendidikan yang berhubungan dengan kesehatan.

Sistem Kesehatan menurut WHO adalah semua kegiatan yang tujuan utamanya untuk meningkatkan, mengembalikan dan memelihara kesehatan (WHO,2009). Tujuan utama sistem kesehatan ada tiga,yaitu:

  1. Peningkatan status kesehatan
  2. Perlindungan resiko terhadap biaya kesehatan, universalcoverage
  3. Kepuasan publik

Berdasar konsep WHO tahun 2009 blok-blok bangunan sistem kesehatan (The building blocks of the health system): tujuan dan atribut-atribut. Blok-blok sistem terdiri dari:

  1. Penyediaan pelayanan (Service delivery)
  2. Tenaga kesehatan (Health workforce)
  3. Informasi (Information)
  4. Produk-produk kedokteran, vaksin, dan teknologi (Medical products, vaccines and technologies)
  5. Pembiayaan (Financing)
  6. Kepemimpinan/Tata Kelola (Leadership/governance)

Blok-blok sistem tadi memberikan cakupan akses (access coverage) dan Jaminan kualitas (quality safety) untuk tujuan secara umum, yaitu:

  1. Meningkatkan status kesehatan (level dan pemerataan)
  2. Ketanggapan (Responsiveness)
  3. Proteksi terhadap risiko sosial dan keuangan (Social and financial risk protection)
    Meningkatkan efisiensi (Improved eficiency).

4. Health Equity

Equity kesehatan sering kali dipahami sebagai keadilan dan pemerataan untuk pelayanan kesehatan. Fokus equity kesehatan ini pada kemudahan akses dan pemerataan pelayanan kesehatan dan memperoleh pelayanan dengan starndar mutu yang telah ditetapkan. Perlu dipelajari mengenai equity geografis dan equity sosial-ekonomi. Mengapa berbagai negara melakukan pengembangan jaminan dengan fokus pada masyarakat miskin perlu dibahas dengan teliti

Tiga dimensi equity dalam kesehatan dapat dibagi menjadi:

  1. Equitydalam status kesehatan

Sebagai contoh adalah perbedaan tingkat kematian maternal antara populasi. Di Provinsi Yogyakarta, angka kematian ibu (AKI) adalah 125 kematian per 100.000 kelahiran hidup, sementara di Provinsi Papua, AKI mencapai angka 362 per 100.000 kelahiran hidup. Perbedaan ini tidak adil dan dapat dihindari.

  1. Equity dalam penggunaan layanan kesehatan

Penggunaan layanan kesehatan seringkali dijadikan perbandingan dalam melihat ketimpangan antar populasi. Masyarakat yang hidup di DKI Jakarta dapat dengan mudah mengakses layanan kesehatan, dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di Provinsi NTT misalnya.

Contohnya, persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di DKI Jakarta mencapai cakupan 98%, sementara ibu-ibu melahirkan di Provinsi Maluku Utara hanya mendapat cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan sebanyak 23% (SDKI, 2007).

Apakah hal ini adil? Mengapa bisa terjadi ketimpangan yang tinggi ini? Apakah distribusi dokter dan fasilitas kesehatan juga merupakan suatuinequitytersendiri? Dan, apakah sistem kesehatan nasional Indonesia timpang?

  1. Equity dalam pembiayaan kesehatan

Kebijakan pembiayaan kesehatan tahun 2000-2007 telah berhasil memperbaiki pemerataan sosial ekonomi. Sebelum krisis, rumah sakit pemerintah maupun swasta cenderung digunakan oleh kalangan masyarakat ‘mampu’. Sebagian besar masyarakat miskin, belum atau bahkan tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan dikarenakan oleh keterbatasan sumber daya. Dapat disimpulkan bahwa berbagai kebijakan Jaminan pendanaan seperti Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan dan Askeskin berhasil mengurangi hambatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan non-rumah sakit lainnya. Adanya program perlindungan kesehatan bagi masyarakat (ASKESKIN, JAMKESMAS, JAMKESDA, dsb), mempunyai arah positif menuju semakin terlindunginya kaum miskin dan kaum rentan-miskin terhadap katastropik akibat pengeluaran kesehatan.

Akan tetapi data tentang akses, utlisasi dan kualitas kepelayanan dasar (puskesmas) dan pelayanan rujukan (rumah sakit) serta pemerataan sumber daya manusia, masih menunjukkan gejala ketidakmerataan secara horizontal. Jumlah rumah sakit dan dokter tidak terdistribusi secara merata di berbagai daerah dan kualitas pelayanan juga masih berbeda-beda. Keadaan ini perlu dipelajari oleh pemimpin di sektor kesehatan. Disini perlu untuk dipahami bagaimana teori equity berjalan di suatu daerah. Konsepsi ini perlu dikaji lebih lanjut sebagai dasar untuk pengembangan pemikiran untuk perencanaan strategis program Jaminan Kesehatan Nasional

Kebijakan menentukan bagaimana uang, kekuasaan dan sumberdaya mengalir ke masyarakat, sehingga menjadi salah satu faktor determinan kesehatan. Advokasi kebijakan kesehatan publik semakin menjadi strategi yang penting yang dapat kita gunakan sebagai panduan dalam penentuan status kesehatan. Meskipun agenda kebijakan merupakan bagian dari strategi politik dengan kepentingan yang berbeda-beda, sistem pembiayaan dan legislasi pelayanan kesehatan yang tersedia bagi orang miskin adalah strategi pendekatan utama untuk mencapai pemerataan kesehatan (Rosen S. 2002).

Analisis mengenai sebaran utilisasi pelayanan kesehatan di Indonesia antara tahun 2000-2007 memberikan gambaran situasi menarik, khususnya komparasi antar wilayah. Kebijakan pembiayaan kesehatan tahun 2000-2007 telah berhasil memperbaiki kemerataan sosial ekonomi secara umum/nasional, tetapi belum bisa memperbaiki kesenjangan antar wilayah. Rumah sakit di wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan (baca: Indonesia Timur) cenderung digunakan oleh kalangan masyarakat ‘mampu’. Sebagian besar masyarakat miskin, belum dapat atau bahkan tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan dikarenakan oleh keterbatasan akses menuju ke pelayanan kesehatan (Geographical Barrier).

Kondisi pembiayaan social saat ini yang dilakukan melalui berbagai skema jaminan kesehatan social seperti JPKM, ASKESKIN, dan JAMKESMAS belum berhasil/mengurangi hambatan akses bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan non-rumah sakit lainnya di wilayah terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Saat ini Jamkesmas mengizinkan rumah sakit pemerintah dan swasta untuk melayani pasien dari kalangan masyarakat miskin atau hampir miskin. Hal tersebut meningkatkan akses bagi masyarakat miskin atau hampir miskin di perkotaan dan di pulau Jawa untuk mendapat perawatan rumah sakit pemerintah dan swasta dan pelayanan kesehatan yang berbiaya tinggi. Tetapi salah satu kelemahan Jamkesmas adalah belum adanya biaya untuk akses ke pelayanan bagi kaum miskin. Sebagai contoh, di Kep Maluku Utara, mungkin biaya berobatnya gratis, tetapi biaya transport dari suatu pulau ke pulau yang yang tersedia layanan kesehatan, mungkin sampai jutaan rupiah. Hal ini menyebabkan biaya berobat menjadi semakin mahal, dan menyebabkan terjadi ketidakadilan geografis.

5. Monitoring Kebijakan oleh Lembaga Independen

Monitoring Kebijakan oleh pihak independen: Sebagai sebuah kebijakan besar, program SJSN oleh BPJS perlu dilakukan monitoring oleh pihak independen. Mengapa perlu dilakukan monitoring? Pelajaran penting yang harusnya sudah dilihat adalah pelaksanaan berbagai jaminan kesehatan dari tingkat pusat sampai jaminan kesehatan tingkat daerah yg sekarang masih berjalan. Peran serta pemerintah daerah juga menjadi bagian penting dalam pelaksanaan BPJS didaerah. Karena sebagian besar pelaksanaan BPJS ada di daerah.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyatakan bahwa pengawasan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan di lakukan oleh lembaga internal dan eksternal. Lambaga internal sendiri terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional dan satuan pengawas internal. Lembaga eksternal sesuai Undang-Undang dalam penjelasannya dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas Jasa Keuanganadalahlembaga negarayang dibentuk berdasarkan UU nomor 21 tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. OJK didirikan untuk menggantikan peranBapepam. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

  1. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
  2. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
  3. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang:

menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

  1. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
  2. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
  3. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
  4. melakukan penunjukan pengelola statuter;
  5. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
  6. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
  7. memberikan dan/atau mencabut:
    1. izin usaha;
    2. izin orang perseorangan;
    3. efektifnya pernyataan pendaftaran;
    4. surat tanda terdaftar;
    5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
    6. pengesahan;
    7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
    8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Sebagai sebuah kebijakan besar, program SJSN oleh BPJS perlu dilakukan monitoring oleh pihak independen. Mengapa perlu dilakukan monitoring? Pelajaran penting yang harusnya sudah dilihat adalah pelaksanaan berbagai jaminan kesehatan dari tingkat pusat sampai jaminan kesehatan tingkat daerah yg sekarang masih berjalan. Peran serta pemerintah daerah juga menjadi bagian penting dalam pelaksanaan BPJS di daerah. Karena sebagian besar pelaksanaan BPJS ada di daerah.

6.    Collecting Revenue, Pooling and Purchasing

Negara sangat perlu untuk memobilisasi sumber daya–nya. Hal ini dibutuhkan untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan bagi masyarakat yang tidak mampu membayar untuk pelayanan kesehatan, melindungi masyarakat miskin atas biaya pelayanan kesehatan. Negara melakukan hal tersebut melalui suatu kebijakan eksplisit dalam 3 fungsi pembiayaan yaitu mengumpulkan pendapatan, pengumpulan resiko, dan pembelian barang dan jasa.

Pembiayaan kesehatan sendiri mencakup fungsi dasar dari mengumpulkan pendapatan, pengumpulan resiko, dan pembelian barang dan jasa (WHO 2000 cit ). Fungsi ini seringkali melibatkan interaksi yang kompleks antar beberapa pelaku dalam sektor kesehatan (gambar 1). Pengumpulan pendapatan bisa dilakukan dengan mengumpulkan uang dari rumah tangga, area bisnis perusahaan, dan sumber eksternal lain. Pooling/pengumpulan ini berkaitan dengan akumulasi dan manajemen pendapatan dimana peserta/anggota mengumpulkan dan membagi resiko. Hal ini dapat melindungi peserta/anggota dari pengeluaran kesehatan yang tidak terduga. Penggabungan pooling dan prabayar jika disatukan memungkinkan terbentuknya asuransi dan reditribusi pembiayaan kesehatan antara individu dengan resiko tinggi dan resiko rendah (subsidi resiko) dan individu yang berpenghasilan rendah dan penghasilan tinggi (subsidi ekuitas).

Perspective kebijakan menunjukkan fungsi dasar pembiayaan umumnya diwujudkan dalam 3 gaya model sistem pembiayaan kesehatan:

  1. Pelayanan kesehatan nasional: cakupan semesta, pembiayaan pendapatan nasional, dan kepemilikan pemerintah untuk sektor kesehatan.
  2. Asuransi sosial: cakupan universal dibawah skema asuransi sosial dengan sistem pembiayaan bagi pegawai dan kontribusi pegawai untuk dana nonprofit asuransi, kepemilikan sektor publik dan swasta
  3. Asuransi swasta: basis pegawai atau pembeli individu dari asuransi kesehatan swasta dan kepemilikan swasta untuk sektor kesehatan.

Walaupun model tersebut memberikan kerangka kerja untuk mengelompokkan sistem kesehatan dan fungsi pembiayaan, model tersebut tidak menggunakan dari detil perspective kebijakan, dikarenakan semua sistem kesehatan memiliki model yang berbeda. Isu penting kebijakan kesehatan yang didiskusikan adalah seperti apakah pemerintah menggunakan pendapatan umum atau pajak gaji, pendapatan diperbesar namun peningkatan pendapatan tersebut apakah dilakukan dengan efisien, adil dan berkelanjutan. Isu penting lain adalah apakah sistem yang berjalan menjamin akses, pemerataan, dan efisiensi.

Pengumpulan pendapatan dan Pembiayaan Pemerintah untuk Pelayanan Kesehatan

Pemerintah menggunakan berbagai mekanisme finansial dan nonfinansial untuk melaksanakan fungsi mereka. Fungsi sektor kesehatan mengharuskan secara langsung memberikan pelayanan, pembiayaan, mengatur, dan mewajibkan penyediaan layanan, serta memberikan informasi (Musgrove 1996 cit.) Isu fiskal bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yaitu untuk sistem pembiayaan mereka, baik pemerintah maupun swasta, untuk memobilisasi sumber daya yang cukup untuk membiayai pelayanan publik dan pelayanan kesehatan individu tanpa menggunakan pinjaman sektor publik yang berlebihan (dan penciptaan utang luar negeri yang berlebihan ), untuk meningkatkan pendapatan secara adil dan efisien, serta sesuai dengan standar internasional (Tanzi dan Zee 2000 cit).

Dari perspektif keuangan publik, semua pajak (pendapatan dan sumber pendapatan lain) memiliki kriteria (kriteria IMF dan Word Bank 2005 cit.):

  1. Kecukupan dan stabilitas pendapatan: pajak harus meningkatkan pendapatan, relatif stabil, dan kemungkinan besar akan meningkat dari waktu ke waktu.
  2. Efisiensi: pajak harus meminimalkan distorsi ekonomi.
  3. Ekuitas: pajak harus memperlakukan kelompok pendapatan yang berbeda cukup.
  4. Kemudahan mengumpulkan: adminitrasi pajak harus sederhana
  5. Akseptabilitas politik: harus ada transparansi, penyebaran yang luas, dan kejelasan tentang penggunaan pajak untuk mempromosikan akseptabilitas.

Negara dengan berpenghasilan rendah dihadapkan pada permasalahan seperti penerimaan yang kecil, keterbatasan sumberdaya, jumlah sektor informal lebih banyak, dan keterbatasan pengembangan pada struktur administrasi. Beberapa negara menunjukkan skema asuransi sosial bahwa kontribusi peserta atau premi relatif kecil, sehingga hal ini menjawa mengapa skema asuransi sosial tersebut disubsidi dari pendapatan umum. Pengembangan asuransi sosial melibatkan banyak faktor, termasuk kontribusi peserta untuk menjamin keuangan jangka panjang dan keberlanjutannya.

Perbedaan penting lainnya antara negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dan negara-negara berpenghasilan tinggi adalah ketergantungan yang relatif lebih besar relatif pada pajak langsung (pajak atas penghasilan dan harta, seperti pajak penghasilan pribadi dan perusahaan, capital gain, warisan, kematian, kekayaan).

Pengumpulan resiko, perlindungan keuangan, dan kesetaraan

Tujuan pembiayaan kesehatan yaitu seperti mengurangi ketimpangan, mencegah orang jatuh ke dalam kemiskinan sebagai akibat dari biaya pengobatan, dan melindungi dan meningkatkan status kesehatan individu dan populasi dengan memastikan akses keuangan bagi kesehatan masyarakat dan individu, dan yang penting juga adalah menyediakan "barang publik" untuk intervensi publik.