Birokrasi Kaku Sebabkan Kegaduhan BPJS Kesehatan

hasbullahJakarta, PKMK. Kekakuan birokrasi yang mungkin terjadi di BPJS Kesehatan berpotensi memicu kegaduhan. Kekakuan tersebut merupakan sisa dari kultur kerja sebelum berlangsungnya BPJS Kesehatan. Profesor Hasbullah Thabrany, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, menyampaikan hal tersebut di Jakarta (8/10/2013).

Dulu petugas sering menolak pasien miskin karena perbedaan antara istilah Surat Keterangan Miskin (SKM) dengan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Hal itu tentu sangat merepotkan pasien yang bertempat tinggal di lokasi terpencil dan jauh dari rumah sakit. "Kalau di Jakarta, masih mending karena tinggal naik ojek atau kendaraan umum untuk mengurus surat baru," kata dia.

Lebih jauh ia mengatakan, ada lagi potensi ancaman bagi BPJS Kesehatan selain kekakuan birokrasi. Yakni, pertama, pola pikir petugas eks PT Askes yang masih seperti BUMN, bukan pola pikir pelayan publik.

Kedua, keberadaan "main mata" antara petugas dengan rumah sakit. Di samping itu, bisa juga nantinya industri farmasi meminta komisi ke penyedia layanan kesehatan. Ketiga, kompetensi manajer yang belum terlalu bagus. Hal ini bisa diatasi dengan perekrutan manajer secara terbuka.

Keempat, pengawasan terhadap BPJS Kesehatan yang mungkin tidak optimal. Satu contoh, keanggotaan di Dewan Jaminan Sosial Nasional otomatis diperpanjang tiap lima tahun. Saat ini, ada anggota dewan tersebut yang belum diganti sementara sudah meninggal dua tahun yang lalu. Kelima, pengawasan eksternal oleh lembaga swadaya masyarakat dan partai politik juga  berpotensi penuh  kepentingan. Kini, tingkat kepercayaan dari masyarakat masih rendah sementara waktu start pelaksanaan BPJS Kesehatan sudah dekat. "Ini adalah tantangan di tahap awal. Untuk mengatasi, tentu perlu upaya ekstra keras," kata Hasbullah.

 

 

Berita Tekait

Policy Paper