BPJS Dituding Rugikan Rakyat dan Dokter

ANTRE-Sejumlah warga antre mendapatkan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Jakarta Pusat, Selasa (18/2). Lembaga BPJS membuat program Prosedur Pendaftaran Cepat (PPC) melalui website dan bekerjasama dengan bank untuk mengatasi membludaknya antrean peserta BPJS yang akan mendaftar.

JAKARTA - Berbagai kritikan tidak puas masyarakat, utamanya kalangan rakyat miskin dan dokter mulai merebak, setelah hampir 2 bulan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai pelaksana dari Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945 (GNP 33 UUD 1945) dalam aksinya di depan kantor Kementerian Kesehatan RI di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Rabu (19/2), menilai dokter dan rakyat sama-sama dirugikan oleh sistim ini.


Aksi yang memacetkan separoh jalan Rasuna Said, dan kebanyakan dihadiri oleh ibu-ibu itu menuntut pemerintah segera mencabut UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).
 
“UU SJSN dan UU BPJS sangat melenceng jauh dari prinsip pelayanan kesehatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan Pancasila,” kata Setio Ajiono, dari GNP 33 UUD 1945 ketika dihubungi SH, Rabu .
 
Menurut Setio Ajiono, sejak diterapkan per 1 Januari 2014 lalu, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang mengacu pada UU SJSN dan UU BPJS, telah menyebabkan orang miskin tidak bisa mengakses layanan kesehatan.
 
“Sejak tanggal 1 Januari lalu, GNP 33 UUD 1945 membuka posko untuk menampung aspirasi dan keluhan masyarakat terkait penerapan JKN ini. Rata-rata mereka mengaku dipersulit dalam mendapatkan layanan kesehatan,” katanya.
 
Menurutnya BPJS menggunakan diskriminasi dalam layanan kesehatan, misalnya pembedaan peserta antara Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang tergolong fakir miskin dan non-PBI yaitu golongan ‘mampu’ dan kaya yang diwajibkan membayar iuran klas I sebesar Rp 59.500/bulan,  klas II sebesar Rp 42.500/bulan dan klas III sebesar  Rp 25.500/bulan.
 
Selain iuran, pasien PBI atau non PBI, kalau sakit tetap harus membayar sendiri sisa biaya yang tidak ditanggung oleh BPJS.
 
“Dana yang terkumpul ternyata bukan untuk membayar penuh pelayanan kesehatan tetapi untuk membayar gaji direksi, manajemen dan karyawan, pengadaan gedung dan fasilitasnya serta biaya operasional BPJS,” tukas Ajiono.
 
Seharusnya menurutnya dana yang besar itu dipakai untuk membayar penuh pelayanan kesehatan, obat, dokter dan alat kesehatan. Selain untuk menambah fasilitas kesehatan berupa rumah sakit dan puskesmas di daerah-daerah perbatasan, tertinggal dan terpencil.
 
Beda Kompensasi

Secara terpisah calon dokter spesialis jantung Erta Priadi Wirawijaya di Bandung, menjelaskan bahwa kebijakan yang diciptakan untuk menopang JKN justru mendorong dokter untuk bekerja di perkotaan. Dengan sistem kapitasi yang memukul rata kompensasi yang diberikan hanya akan mendorong dokter bertugas di kota, karena disitulah zona nyaman manusia.
 
Sistem Ina CBG (Case-Base Group) yang dipakai dalam JKN membedakan kompensasi yang didapat rumah sakit berdasarkan kelasnya. Hanya rumah sakit besar diperkotaan yang akan makmur dan berkembang. Rumah Sakit kecil akan dibayar murah dan akan kesulitan menangani pasien. 

“Akibatnya lagi-lagi dokter akan memilih untuk bekerja di rumah sakit besar yang umumnya hanya ada di perkotaan,” jelasnya ketika dihubungi SH, Rabu (19/2).
 
Saat ini rumah sakit di Indonesia masih banyak yang kekurangan dokter, kekurangan alat medis, kekurangan obat. Program Jamkesmas yang belakangan dikelola PT ASKES menyisakan hutang yang menggunung hingga Rp 1.8 Triliun belum terlunasi hingga kini. Sehingga saat ini banyak rumah sakit yang mengalami kesulitan pendanaan hingga harus beroperasi dalam keterbatasan.
 
“Diberbagai pelosok Indonesia kebanyakan  puskesmas dibiarkan terbengkalai tanpa tenaga dokter,” jelasnya.

Dokter Indonesia menurutnya mendambakan sistem kesehatan yang baik sehingga bisa bekerja menolong orang secara maksimal.
 
“Kami tidak akan pernah mendukung sebuah sistem yang memaksa kami bekerja dalam keterbatasan sehingga pelayanan kesehatan tidak diberikan sesuai standar medis. Jangan lagi-lagi rakyat yang akan menjadi korban” tegas dokter yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu (DIB) itu.

sumber: sinarharapan.co

Berita Tekait

Policy Paper