Perlunya Lembaga Mediasi Independen untuk JKN

Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah program pemerintah yang bertujuan mulia guna menjawab UUD. 1945 dalam melindungi dan mensejahterakan rakyat Indonesia. Sejak diimplementasikan program Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN ) bagian dari SJSN yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS ) Kesehatan sejak 1 Januari 2014 mendapat sambutan beragam oleh rakyat Indonesia baik yang ingin segera mendaftar menjadi anggota JKN karena sudah sakit-sakitan sehingga merasa urgent kebutuhannya, hal ini terlihat dari betapa panjangnya antrian masyarakat yang mengurus kartu pendaftaran. Namun ada yang menanggapi dengan kurang antusias bahkan dengan sedikit kekawatiran karena selama ini mereka sudah mendapatkan jaminan kesehatan yang baik dan  nyaman dari tempat kerjanya, sehingga ada kekawatiran apakan JKN bisa tetap memiliki cita rasa JPK sebelumnya ?, dan segmen masyarakat seperti ini lebih defensive menerima JKN, segmen ini umumnya adalah masyarakat pekerja formal yang telah discover Jaminan Pemeliharaan Kesehatannya  ( JPK ) yang baik oleh pemberi kerja di sector Industri-industri besar atau BUMN. Dan sebagian masyarakat yang telah membeli asuransi kesehatan komersial merasa bahwa mereka telah terlindungi jaminan kesehatannya, dan harapannya JKN Coordination of Benefit ( COB ) dengan asuransi komersial yang dimilikinya sehingga kenyamanan dan benefit yang didapatkan lebih baik.

Sebenarnya dengan kebijakan bertahap yang ditetapkan dalam roadmap JKN yang ditetapkan oleh DJSN dan didukung beberapa kementrian sudah tepat, mengingat pengalaman di Negara-negara lain tentang jaminan sosial juga bertahap hingga puluhan tahun. Namun dengan terbitnya Perpres 111 tahun 2013 dimana mendesak agar semua sector Industri besar, menengah, kecil dan BUMN harus mendaftar sekarang dan paling lambat 1 januari 2015. Persoalan menjadi semakin mendesak semuanya sebagai implikasinya, termasuk persiapan-persiapan yang harus disiapkan oleh BPJS dan pemerintah.

Hal yang mendesak perlu disiapkan oleh BPJS dan pemerintah salah satunya adalah unit kerja tentang mutu layanan oleh BPJS kesehatan dan lembaga mediasi yang independen oleh pemerintah, mengapa hal ini perlu ?. Mengingat Jaminan sosial adalah hajatnya pemerintah dan wajib hukumnya bagi seluruh penduduk untuk ikut, maka konsekewnsinya pemerintah dalam bertujuan melindungi rakyatnya atau peserta JKN perlu juga mefasilitasi keberadaan Lembaga Mediasi yang independen, sesuai pasal 50 UU.24 tahun 2011 tentang BPJS. Hal ini menurut penulis penting karena dalam JKN yang menerapkan prinsip – prinsip asuransi managed care, melibatkan adanya provider ( klinik dan Rumah Sakit.) serta perlunya adanya perlindungan terhadap peserta. Walaupun tindakan kecurangan ( fraud) bisa terjadi pada BPJS, Provider dan peserta. Hal – hal yang bisa terjadi dalam dispute antara BPJS dengan provider ( klinik-Rumah Sakit) missal : tuntutan peserta yang tidak diberikan haknya, masih dipungutnya biaya cost sharing dari peserta oleh provider, penanganan kasus yang under treatment oleh provider pada peserta,  pembayaran layanan yang tidak dibayar dengan alasan yang kurang jelas, , peserta yang tidak eligible untuk dijamin, dll

Sebagaimana kita belajar dari asuransi komersial disana ada Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yang berfungsi untuk memberikan mediasi antara asuradur dan peserta manakala ada masalah (dispute) atau aduan terhadap tuntutan peserta. Beberapa waktu yang lalu penulis berkunjung bersilahturahmi ke BMAI yang diterima oleh pimpinan BMAI, dan penulis menanyakan apakah BMAI juga menangani kasus-kasus dari ranah JKN –BPJS kesehatan. ? jawabannya adalah sesuai peraturan OJK bila BPJS masuk sebagai anggota asuransi yang diawasi OJK maka BMAI otomatis akan menangani kasus tersebut, karena BMAI dibentuk untuk industri asuransi, dan dahulunya PT. ASKES, PT. JAMSOSTEK, PT, JASA RAHARJA, termasuk yang kita tangani sebagai asuransi sosial, tambahnya.

Sementara dari sisi lain saat ini sedang menjadi perdebatan apakah BPJS termasuk asuransi yang harus diawasi OJK ( Otoritas Jas Keuangan ) sehinga harus membayar iuran ke OJK, atau BPJS kesehatan bukan sebagai asuransi hanya ditafsirkan sebagai pelaksana jaminan sosial yang bukan “Risk Taker” namun hanya sebagai juru bayar Provider dan collecting premi peserta, sehingga OJK tidak layak mengawasi BPJS dan membayar iuran OJK. Apapun keputusannya nanti terhadap hal itu, menurut penulis yang paling penting adalah bagaimana pemerintah yang punya hajat SJSN juga memberikan  perlindungannya kepada peserta JKN dan jaminan SJSN lainnya dengan menyediakan lembaga mediasinya. Apakah akan dimasukkan ke BMAI atau membentuk lembaga Mediasi baru ?. Yang jelas keberadaan Lembaga mediasi menjadi penting dan menedesak karena juga menjadi harapan bagi lembaga lain seperti lembaga perlindungan konsumen atau perlindungan peserta, Asosiasi provider ( klinik dan rumah sakit), Dan Lembaga Mediasi tersebut perlu didukung oleh SDM yang memahami asuransi managed care baik praktisi maupun akademisi agar proses mediasi cepat dan keputusannya fair. Untuk itu Organisasi profesi bidang asuransi seperti PAMJAKI ( Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan Kesehatan Indonesia ) dan AMAI yang memberikan sertifikat gelar profesi AAK ( Ahli Asuransi Kesehatan ) dan (Ahli Asuransi Jiwa Indonesia) bisa diperankan untuk mendapatkan SDM yang dibutuhkan.

Tulisan ini semoga menjadi masukan bagi instansi yang terkait, walau waktu saat ini adalah tahun politik dan usia kabinet saat ini tinggal beberapa bulan, namun tak ada salahnya kita memberi masukan untuk menjadi pertimbangan pemerintah saat ini maupun pasca pemilu, demi kepentingan penduduk Indonesia yang diwajibkan ikut JKN.

sumber: kompasiana

Berita Tekait

Policy Paper