Quick Win Strategy bagi BPJS Kesehatan

Kemal Iman Santoso

BPJS Kesehatan menerapkan pola managed care dalam memberikan jaminan bagi peserta. Peserta harus mengikuti prosedur managed care, di antaranya harus berobat ke fasilitas kesehatan (Faskes) Tingkat I (Puskesmas atau Klinik Swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan) terlebih dahulu dan selanjutnya apabila diperlukan akan dirujuk kepada faskes lanjutan (rumah sakit)

Harian KOMPAS terbitan tanggal 21 September 2015 memberitakan bahwa BPJS Kesehatan akhirnya “membekukan” Peraturan BPJS Kesehatan No 2/ 2015 (selanjutnya dituliskansebagai Peraturan) yang mengatur jumlah kapitasi dan tuntutan atas kwalitas layanan pada Fasiltas Kesehatan Tingkat Pertama (Faskes I).

Peraturan tersebut memberikan “angin segar” bagi peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang membutuhkan peningkatan kwalitas layanan di Faskes I dan juga mengarah pada pengelolaan biaya kapitasi yang lebih transparan, dan memberikan kesempatan lebih kepada Faskes I swasta , sehingga peserta memiliki pilihan yang lebih banyak dan dapat membandingkan kwalitas layanan antara Faskes I (milik Pemerintah, Swasta, BUMN,BUMD dll) .

Seperti diketahui bahwa Faskes I menerima Biaya Kapitasi yang bersifat pembayaran dimuka, berjumlah tetap tidak bergantung kepada jumlah peserta yang datang. Diperkirakan biaya kapitasi yang dibayarkan oleh BPJS (Badan Pengelola Jaminan Sosial) Kesehatan mencapai Rp 8 Triliun di tahun 2015.

Peningkatan kwalitas layanan Faskes I juga merupakan bagian dari rekomendasi KPK (Komisi Pembarantasan Korupsi) berkaitan Jaminan Pelayanan Kesehatan Primer. Pada hakikatnya, terbitnya Peraturan BPJS Kesehatan No 2 tersebut merupakan langkah strategis menuju suatu sistem yang lebih transparan, dan taat azas serta prudent dalam mengelola biaya kapitasi dan risiko.

Namun disayangkan bahwa Peraturan tersebut kemudian dibekukan. Apapun alasannya, tentunya Peserta mengharapkan pembekuan adalah pilihan terbaik yang diambil BPJS Kesehatan.

Tulisan berikut ini mengulas dilema yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan (dalam pengelolaan biaya kapitasi) dan peran serta masyarakat untuk dapat bersama membangun sistem JKN sesuai dengan harapan dan prinsip prinsip jaminan sosial.

Kwantitas & kwalitas Faskes I vs Jumlah Biaya Kapitasi

Peraturan No 2 /2015 menyebutkan bahwa fasilitas kesehatan merupakan fasilitas kesehatan yang menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah dan/atau swasta.

Berdasarkan definisi diatas, maka sebenarnya BPJS Kesehatan telah membuka kesempatan kepada semua pihak untuk bekerja sama sehingga suplai infrastruktur layanan kesehatan dapat mengimbangi lonjakan permintaan (demand) yang terjadi akibat adanya JKN. Prinsip portabilitas dalam JKN dipenuhi dengan terbitnya peraturan tsb .

Menambah suplai, meningkatkan kwalitas layanan dan menjamin portabilitas (semua yang diharapkan peserta) tampaknya sudah terpenuhi.

Namun, yang terjadi adalah ketidak siapan infrastruktur Faskes I (milik Pemerintah) untuk memenuhi persyaratan , (yang bisa berakibat turunnya pendapatan kapitasi dibandingkan dengan yang selama ini mereka terima). BPJS Kesehatan berubah pikiran, kemudianmembekukan Peraturan yang belum genap 2 bulan. Tidak terdengar suara yang sama dari Faskes milik swasta / BUMN/BUMD (yang nota bene ,tidak mendapatkan pendanaan APBN dalam operasionalnya)

Ada dua pertanyaan terkait dengan hal di atas. Pertama, dimana kepentingan Peserta diletakkan dalam konteks ini? Ini berhubungan dengan hak untuk mendapatkan layanan yang lebih baik, serta tingkat kontak dengan Faskes I yang lebih intens.

Kedua, kemana komitmen BPJS Kesehatan untuk memperoleh peningkatan manfaat dari biaya kapitasi (sekitar Rp. 8 triliun/tahun) yang uangnya berasal dari Iuran Peserta?

Akibat pembekuan tersebut, maka sebenarnya Peserta kehilangan pilihan, kehilangan kesempatan untuk memperoleh perbaikan layanan, kesempatan untuk dilayani dengan cepat dan nyaman. Karena ketidaksiapan terjadi pada Faskes I milik Pemerintah, sementara swasta akan lebih lincah dan cepat dalam memenuhi persyaratan yang diminta, tanpa mereka harus meminta pendanaan APBN (sepanjang secara perhitungan komersial Pendapatan dari Kapitasi dapat menutup biaya operasional).

Dalam menyiasati kondisi demikian, seyogyanya BPJS Kesehatan tetap menerapkan peraturan dengan memberikan masa transisi (misalnya maksimum satu tahun) sementara terus membuka diri untuk bekerja sama dengan Faskes milik BUMN,BUMD, dan swasta.

Faskes I milik Pemerintah yang belum mampu memenuhi persyaratan seperti pada Peraturan No 2 , tetap memperoleh jumlah Biaya Kapitasi yang selama ini mereka dapatkan (diluar dana APBN yang telah diperoleh), namun harus memiliki rencana yang jelas dalam mencapai persyaratan yang ditentukan.

Dengan demikian, yang terjadi adalah “win win solution”: Peserta memiliki kesempatan mendapatkan peningkatan akses dan layanan Faskes I, Puskesmas Pemerintah tetap memperoleh jumlah kapitasi yang selama ini telah diterima, sementara BPJS Kesehatan menunjukkan komitmen atas pengelolaan biaya kapitasi yang lebih transparan.

Dalam proses menuju perbaikan, memangtidak dapat dihindari bahwa mekanisme pasar (kompetisi layanan) akan terjadi. Namun semua ini untuk kepentingan bersama dan menjamin pengelolaan JKN yang fair dan transparan.

Portabilitas jaminan vs ketersediaan / kelengkapan infrastruktur Faskes

Salah satu prinsipSJSN adalah Portablitas, yaitu jaminan secara berkelanjutan dalam wilayah NKRI walaupun Peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal. Dalam konteks ini, apakah peserta memiliki hak untuk memilih Faskes I? Seharusnya diberikan hak tersebut, dan saat ini BPJS Kesehatan memberikan keleluasaan bagi Peserta untuk berpindah Faskes I.

Apabila peserta dihadapkan pada adanya pilihan Faskes I, tentu mereka akan memilih Faskes I yang memenuhi persyaratan (yang ideal seperti pada Peraturan No 2 tersebut). Kenyataannya sebagian Peserta tidak mengetahui alasan kenapa mereka didaftarkan pada suatu Faskes I dan tidak pada yang lain.

Kriteria domisili Peserta merupakan salah satu alasan yang logis yang digunakan BPJS Kesehatan saat ini. Namun, pertanyaannya, apakahPeserta diperkenankan memilih Faskes I lainnya yang memberikan layanan lebih baik? Ini dengan catatan walaupun letak Faskes I tersebut secara geografis lebih jauh dan peserta mau membayar “harga” (jarak lebih jauh) yang lebih tingi untuk mendapatkan kwalitas layanan .

Lalu, bagaimana kebijakan BPJS Kesehatan terhadap Faskes I yang tidak memiliki komitmen kinerja? Atau tidak melakukan mitigasi resiko yang lebih rinci ? Sementara Biaya Kapitasi terus dikucurkan dan Peserta dituntut terus membayar iuran tanpa mengetahui arah kemana uangnya akan digunakan (yang seharusnya kearah peningkatan akses, kwalitas layanan, kelengkapan layanan). Padahal, terlambat membayar Iuran pun peserta akan terkena denda.

Dengan adanya sejumlah pertanyaan tersebut, komunikasi yang jelas kepada peserta mutlak dilakukan. Dipublikasikan saja, misalnya, Faskes I tempat dimana peserta didaftarkan sedang dalam tahap perbaikan. Bahkan kalau perlu rencana kerja sebuah Faskes I tersebut ditempelkan dengan ukuran besar pada dinding ruang tunggu Faskes dan pada website BPJS Kesehatan sehingga Peserta dapat selalu memantau progresnya.

Selain itu, ada baiknya peserta dilibatkan dalam memantau kinerja Faskes I dan upaya manajemen Faskes I untuk meningkatkan kwalitas layanan, melakukan mitigasi resiko dan bentuk akuntabilitas sebagai penerima biaya kapitasi.

Hak hak Peserta vs Keterbatasan Infrastruktur Faskes I

Secara umum jaminan (coverage) yang diberikan oleh BPJS Kesehatan jauh lebih baik dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh asuransi komersial pada umumnya. Namun, coverage yang ditawarkan/ dijanjikan tersebut sulit diperoleh

Ibarat kata dalam bahasa komersial, “Barangnya baik, relatif murah, namun sulit didapat”. JKN melalui BPJS Kesehatan menciptakan lonjakan demand, namun tidak memiliki kendali langsung atas suplai. Janji yang sulit untuk dipenuhi, sementara kewajiban peserta untuk membayar iuran terus berjalan

Dengan kondisi belum meratanya standar layanan pada Puskesmas, di sisi lain BPJS Kesehatan dan masyarakat menuntut suatu standar tertentu, maka terjadi “mismatch

Mitigasi risiko dengan menerapkan prosedur credentialing (seleksi atas pemilihan Faskes I) berakibat menekan suplai Faskes I. Yang terjadi adalah harga meningkat. “Harga” yang harus dibayar oleh peserta (dalam bentuk waktu antri, dan ketidaknyamanan) menjadikan JKN belum memenuhi harapan Peserta,

Keluhan peserta terutama kelompok peserta yang sebelumya merupakan peserta PT Askes merupakan refleksi dari “harga” yang meningkat. Selain itu, kelompok peserta penerima upah (pekerja sektor formal BUMN & swasta) maupun pemberi kerja juga merasakan hal ini. Seringkali pemberi kerja harus memberikan ijin/ cuti bagi karyawannya untuk berobat di Faskes Tingkat I (produktifitas karyawan menurun).

Harapan peserta tidak terpenuhi, sementara mereka adalah sumber iuran yang produktif. Mereka perlu dikelola dengan cermat untuk menjamin “revenue stream” bagi BPJS Kesehatan dan kelangsungan JKN tanpa menambah beban bagi pemerintah.

“Quick Win Strategy”

Memperhatikan dilema yang dihadapi BPJS Kesehatan, sementara peserta menuntut quick action, maka beberapa strategi (yang dalam wilayah kewenangan) dapat dilakukan BPJS Kesehatan. Kebijakan yang dapat segera ditempuh, antara lain:

  1. Secara terbuka dan masif BPJS Kesehatan mengundang berbagai pihak (BUMN,BUMD,swasta, organisasi masyarakat) untuk bekerjasama menjadi provider BPJS Kesehatan sebagai Faskes Tingkat I sepanjang mereka dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan.
  2. Secara terbuka mengkomunikasikan besaran biaya kapitasi kepada publik, sehingga dapat meningkatkan minat semua pihak menjalin kerjasama menjadi Faskes I.
  3. Meningkatkan kecepatan operasional BPJS Kesehatan dalam melakukan proses credentialing sehingga supply FaskesTingkat Imeningkat secara signifikan dan peserta nyaman datang ke Faskes Tingkat I.
  4. Peserta dianjurkan untuk memberikan penilaian atas kwalitas layanan yang diberikan oleh Faskes Tingkat I dan berhak untuk berpindah kepada Faskes Tingkat I lainnya yang dianggap dapat melayani dengan lebih baik. Dalam hal ini akan terjadi persaingan sehat diantara Faskes Tingkat I. Dengan jumlah peserta yang lebih banyak, Faskes Tingkat I dapat menikmati pendapatan kapitasi yang lebih.
  5. Faskes Tingkat I dapat dianjurkan untuk menggunakan sistem antrian elektronik (e-registration) untuk meningkatkan kenyamanan dan menekan waktu antri.
  6. Call Center BPJS Kesehatan memiliki data dan informasi yang akurat mengenai keberadaan Faskes Tingkat I, bahkan Call Center BPJS Kesehatan dapat digunakan sebagai pusat reservasi apabila peserta ingin berobat ke Faskes Tingkat I.
  7. Pembayaran Kapitasi kepada Faskes Tingkat I yang bersifat tetap dan kredibilitas BPJS Kesehatan dapat bermanfaat bagi Faskes Tingkat I (terutama swasta) apabila mereka membutuhkan pembiayaan bank.Dalam hal ini BPJS Kesehatan dapat memberikan rekomendasi (bukan memberikan jaminan) kepada bank (dimana dana BPJS Kesehatan ditempatkan) untuk memberikan fasilitas kredit dengan skema yang menarik kepada FaskesTingkat I swasta.

Dari telaah tersebut di atas, kita semua sepakat bahwa penerapan managed care dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional menuntut peran serta semua pihak, bukan hanya BPJS Kesehatan dan Pemerintah saja.

Namun pihak swasta, masyarakat dan organisasi masyarakat juga harus dapat berkontribusi menciptakan sistem JKN yang berkelanjutan (sustainable) dan meningkatkan kredibilitas BPJS Kesehatan.

Oleh: Kemal Iman Santoso, Praktisi Asuransi

* Tulisan ini merupakan pendapat profesional pribadi dan tidak mewakili suatu organisasi atau institusi tertentu.

sumber: swa.co.id

Berita Tekait

Policy Paper