Sesi Pleno Hari 3

3rd INDONESIAN HEALTH ECONOMIC ASSOCIATION

(InaHEA)

Yogyakarta, 30 Juli 2016

 

 

analytics, bars, chart, graph, presentation, statistic icon Plenary 3

Preventive Health Programs  in

Social Health Insurance

Reporter: Wisnu Damarsasi

border-page

Pleno 3 Hari 3

Kegiatan hari terakhir Kongres InaHEA yang ke-tiga, Plenary III dibuka oleh Dr. drg. Mardiati Najib, MS selaku moderator. Sesi ini akan diisi oleh empat pembicara dari berbagi sektor, yaitu dari Kementrian Kesehatan, WHO, instansi swasta (Muhammadiyah), dan dari perwakilan profesi (IAKMI). Direktur Penyakit Tidak Menular Kementrian Kesehatan, dr. Lili Sriwahyuni Susilowati,MM menyampaikan materi pertama mengenai Upaya Preventif dalam JKN. Awal dari presentasinya, dr. Lili menyebutkan bahwasanya pola epidemis penyakit pada tahun 2010 berubah dari tahun 1990, artinya penyakit-penyakit yang sekarang mendominasi yaitu penyakit tidak menular. Meningkatnya penyakit tidak menular ini dikarenakan oleh penghidupan lebih baik yang menimbulkan pola hidup yang tidak sehat. Kemenkes melakukan upaya dalam pencegahan penyakit tidak menular dengan pendekatan keluarga, Puskesmas memantau melalui Usaha Kesehatan Bersama Masyarakat (UKBM). Masyarakat sehat diharapkan secara bersama mengunjungi Posbindu, adanya deteksi dini, dan masyarakat yang beresiko difollow-up untuk mendapatkan perawatan yang lebih lanjut.

Raymond Hutubessy, M.Sc, PhD menjadi pembicara ketiga dalam plenary III dengan judul “The Role of Economic Evaluation for Universal Health Coverage”. Materi yang disampaikan oleh Raymond, M.Sc, PhD yaitu mengenai tantangan dalam vaksinasi, vaksin dalam kaitannya dengan kebijakan di Indonesia dalam mencapai UHC serta bagaimana peran dari evaluasi ekonomi, bagaimana evaluasi ekonomi berkontribusi dalam merancang perencanaan strategis Kementrian Kesehatan yang efektif. Hal yang perlu ditekankan pada materi kali ini yaitu bagaimana kesiapan pembiayaan Indonesia dalam menyediakan vaksin setelah terlepas dari donor luar negeri (Gavi). Menurut Raymond, WHO menyediakan bantuan teknis berupa dokumen panduan dan alat pembuat kebijakan terkait dengan pengenalan vaksin dan sektor perencanaan yang lebih luas serta penentuan prioritas.

Pembicara ketiga yaitu dr. Sudibyo Markus dari Muhammadiyah, yang menyampaikan materi mengenai “The Implementation of Promotive and Preventive Program in Tobacco Control’. Pertama-tama dr. Sudibyo membuka presentasinya dengan pertanyaan mengapa deklarasi Alma Ata gagal, dan disertai penjelasan dari pertanyaan tersebut dengan menekankan bahwasanya selama ini intervensi medis telalu mendominasi daripada aspek pencegahan. Pemaparan selanjutya yaitu industri rokok melihat rokok tidak hanya sebagai secara fisik, namun lebih kepada suatu bentuk gaya hidup , budaya, dan produk yang menyamankan (seperti efek dopamin). Terdapat beberapa peran Muhammadiyah dalam tindakan tobacco control, diantaranya yang terpenting adalah keluarnya Fatwa Haram merokok oleh Muhammadiyah, adanya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang didukung oleh majelis dan lembaga dari Muhammadiyah, adanya Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC). Program-program Muhammadiyah ini merupakan contoh peran privat sector dalam pengontrolan rokok di Indonesia, dan pemerintah sangat menyambut baik program-program tersebut.

Pembicara terakhir yaitu Dedi Supratman, SKM, MKM dari perwakilan profesi (IAKMI). Berdasarkan UU SJSN No.40/2004 Pasal 22, manfaat jaminan kesehatan tidak hanya berupa tindakan kuratiyf, namun juga promotif dan preventif. Hal yang perlu sangat menarik dalam materi kali ini yaitu apasajakah ranah BPJS dalam promotif dan preventif, lalu diharapkan kedepannya program-program BPJS terintegrasi dengan Kementrian Kesehatan. Seperti diketahui bahwasannya Kemenkes menyalurkan dana untuk kesehatan di bidang promotif preventif berbasis masyarakat melalui program-programnya. Usulan dalam pemaparan Dedi, SKM,MKM yaitu supaya kedepannya Puskesmas di seluruh Indonesia mempunyai tenaga fungsional dalam pelaksanaan promotif dan preventif. (PL)

video icon15, powerpoint icondr. Lili Sriwahyuni Susilowati,MM

video icon15, powerpoint iconRaymond Hutubessy, M.Sc, PhD

video icon15, powerpoint icondr. Sudibyo Markus

video icon15, powerpoint iconDedi Supratman, SKM, MKM

video iconDiskusi

analytics, bars, chart, graph, presentation, statistic icon Plenary 5

Toward Universal Health Coverage

Reporter: Wisnu Damarsasi

border-page

Pleno 4 Hari 3

Plenary pada sesi ke-4 dengan tema Toward Universal Health Coverage dimoderatori oleh Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH. Pembicara pertama oleh Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D yang membahas tentang innovative product to contribute to the national health insurance. Persepsi yang berkembang saat ini tentang formularium nasional yakni obat murah, obat generik, obat tidak lengkap, kualitas yang tidak bagus, dan sebagainya. Komponen dalam fornas yaitu kelas terapetik, sub kelas terapetik, item obat, dan dosis. Proses seleksinya yaitu proposal dari rumah sakit, kemudian seleksi administrasi, diskusi, dan akhirnya diskusi panel. Tantangan yang dihadapi selama ini yakni antara kebutuhan dan ketersediaan, antara mahal dan keharusan untuk kehidupan, antara ketersediaan dan penggunaan, tingkat kemanjuran untuk penyakit kronik. Dalam UU No. 40 Tahun 2004 dijelaskan bahwa daftar dan harga obat serta bahan medis habis pakai (BMHP) yang dijamin BPJS Kesehatan ditetapkan oleh pemerintah, serta jenis pelayanan yang tidak dijamin. Perpres No. 12 Tahun 2013 dijelaskan bahwa daftar, harga obat dan BMHP ditinjau kembali paling lambat 2 tahun sekali.

Pembicara kedua oleh Soonman Kwon, PhD Former Dean dari School of Publich Health, Seoul National University yang dilakukan melalui fasilitas webinar. Pajak langsung dari negara berkembang tidak progresif seperti negara maju. Equity dari tax-based pembiayaan pelayanan kesehatan pada negara berkembang tergantung dari ketersediaan dan kualitas. Permasalahan dari jaminan sosial yakni sulitnya dalam mengumpulkan premi dari sektor informal, serta mayoritas formal sektor merupakan industri kecil. Perbedaan antara single pool dan multiple pool yakni apabila single pooling memiliki kapasitas risk pooling yang lebih besar, rendahnya biaya administrasi, memiliki kekuatan untuk menawar yang lebih baik terhadap provider, contohnya yaitu di Indonesia, Korea, dan Filipina. Multiple pool yaitu minim perbedaan dalam paket manfaat dan sistem pembayaran ke provider yang sama.

Pembicara ketiga yakni Dr. Ajay Tandon dari World Bank yang membahas tentang monitoring Universal Health Coverage (UHC) in low- and middle-income countries. Pengertian UHC yang terbaru didefinisikan sebagai memastikan semua orang mendapatkan pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif sesuai dengan kebutuhan. Lebih dari 100 negara di dunia berkomitmen untuk penapaian Universal Health Coverage. UHC merupakan salah satu tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs) pada target ke-3 yaitu Good Health and Well-Being. WHO dan World Bank merekomendasikan indikator dalam monitoring UHC yakni untuk preventif dan promotif antara lain akses untuk kontrasepsi, cakupan ANC, akses sumber air, akses sanitasi. Treatment dilihat dari capaian ARV, pengobatan hipertensi, capaian pengobatan TB, capaian pengobatan diabetes. Finansial protection dilihat dari konsumsi masyarakat dalam out of pocket, tingkat kemiskinan masyarakat akibat pengeluaran out of pocket.

Pembicara keempat oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD yang membahas tentang JKN and equity. Prinsip dari asuransi dan keadilan yaitu penduduk yang kaya membantu penduduk yang miskin. Fenomena yang terjadi di Indonesia adalah subsidi yang salah target, karena rasio klaim tertinggi terjadi pada masyarakat yang kaya yang lebih dari 500%, sedangkan masyarakat miskin kurang dari 100%. Sistem pajak di Indonesia tidak progresif, sementara tingkat GDP tiap tahun mengalami kenaikan yang signifikan. Ketidakadilan terus meningkat dikarenakan oleh paket manfaat yang sangat banyak dan bisa dikatakan unlimited, serta premi yang saat ini terlalu rendah bagi masyarakat yang kaya atau dikenal dengan istilah PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah). Peningkatan pembangunan rumah sakit sangat pesat terjadi pada region 1 yang terdiri dari provinsi yang ada di Pulau Jawa, sedangka untuk region 5 yang merupakan provinsi di Indonesia Timur pembangunannya sangat lambat.

Pembicara terakhir oleh Prof. Barbara McPake, BA, Ph.D dilakukan menggunakan fasilitas webinar yang membahas tentang health workforce, equity and UHC. Mayoritas tenaga kesehatan pada negara-negara di Asia Pasifik memiliki rasio kurang dari 30 per 10 juta penduduk. Perbandingan tenaga kerja dengan penduduk telah ditetapkan oleh WHO pada tahun 2006 yakni 22,8 per 10.000 penduduk. ILO menggunakan standar yang lebih tinggi, perbandingannya 32 per 10.000 penduduk yang merupakan hasil benchmark di Thailand 313 penduduk untuk tiap tenaga kesehatan. Indonesia memiliki standar nasional tenaga kesehatan yakni 13,8 tenaga kesehatan per 100.000 penduduk, namun masih terdapat 8 provinsi yang di bawah standar nasional. Standar nasional untuk dokter spesialis 7,13 per 100.000 penduduk, namun mayoritas provinsi di Indonesia masih di bawah standar nasional, dan hanya 8 provinsi yang di atas standar nasional.

 


video icon15, powerpoint iconProf. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc.,  Ph.D

video icon15, powerpoint iconProf. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD

video icon15, powerpoint iconDr. Ajay Tandon

15, powerpoint iconSoonman Kwon

15, powerpoint iconProf. Barbara McPake, BA, Ph.D

video iconDiskusi


 

analytics, bars, chart, graph, presentation, statistic icon Plenary 6

Peran  Local Government dalam  Health Financing

Reporter: Wisnu Damarsasi

border-page

Pleno 5 Hari 3

Plenary discussion sesi ke-5 merupakan sesi yang paling terakhir dengan tema Peran Local Government dalam Health Financing dan moderator Prastuti Soewondo SE., MPH., PhD. Pembicara pertama oleh Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia dengan judul Peran Pemerintah dalam Mendorong Pertumbuhan Pelayanan Kesehatan Berkualitas di Indonesia. Perubahan ke-IV UUD 1945 pada tahun 2002 Pasal 28H ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapat pelayanan kesehatan, pada Pasal 34 ayat 2 negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat, serta pada pasal 34 ayat 3 negara bertanggung jawab dalam penyediaan fasilitas kesehatan. Sasaran pelaksanaan Program Indonesia Sehat RPJMN 2015-2019 dalam hal peningkatan pemerataan akses dan mutu pelayanan kesehatan salah satunya yakni minimal terdapat 1 Puskesmas yang tersertifikasi akreditasi pada tiap kecamatan dimana status awal 0 dan sasaran 2019 sebanyak 5.600. Indikator peningkatan perlindungan finansial dengan peningkatan jumlah penduduk yang menerima PBI melalui JKN dari status awal 86,4 juta dan sasaran 2019 107,2 juta. Peningkatan jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan dari 1.015 menjadi 5.600.

Pembicara kedua oleh Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D dengan judul Indonesia on its Path to Universal Health Coverage: A Success Story and Its Challenges. Situasi UHC di Indonesia beberapa dekade yang lalu yaitu masih minimnya penduduk yang tercover asuransi hanya sekitar 11% atau sekitar 22 juta, serta masih tingginya out-of-pocket sekitar 70%. Indonesia jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN, maka kondisinya yaitu kebijakan sudah baik namun rendahnya per kapita subsidi pemerintah untuk warga miskin hanya sekitar $6 per tahun. Tenaga kesehatan di Indonesia masih tergolong rendah untuk ketersediaannya jika dibandingkan dengan negara lain terutama negara ASEAN. Rekomendasi untuk Indonesia yaitu memfasilitasi studi banding untuk pembuatan kebijakan, menyediakan wadah untuk menampung keluhan masyarakat, memulai untuk mengcover PNS serta penduduk miskin dan sektor formal.

Pembicara ketiga oleh Ahmad Ansyori, SH., M.Hum, CLA anggota dari DJSN yang membahas tentang peran pusat dan daerah dalam pembiayaan JKN. Kabupaten Subang menyelenggarakan Jamkesda menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dimana penduduk dapat langsung mengakses ke rumah sakit dengan SKTM. Pembayaran kepada rumah sakit dengan fee for service, sehingga menyebabkan selisih antara Pemda dengan biaya yang harus dibayar dengan rumah sakit dan terjadi hutang sebesar Rp. 10 milliar. Hal ini disebabkan dengan sistem tersebut maka pembiayaan kesehatan sangat besar dan tidak dapat dikontrol. Fungsi gate keeper dan PPK I tidak optimal karena tidak ada sistem rujukan berjenjang. Jamkesda yang belum terintegrasi dengan JKN akan menghambat pencapaian UHC dan sustainabilitas program JKN. Perlu peran pemerintah pusat untuk membuat regulasi dalam implementasi JKN, serta membangun sistem seperti e-catalogue, serta percepatan pemberian NIK kepada seluruh penduduk Indonesia. Peran pemerintah daerah juga diperlukan seperti pendanaan UKM karena program JKN bersifat UKP, pembayaran iuran JKN bagi masyarakat miskin di daerahnya yang belum tercakup dalam PBI nasional, menyediakan dan mendistribusikan sarana dan pra-sarana fasilitas kesehatan dan SDM kesehatan di daerah. Pengaduan masyarakat tentang program JKN dapat dilakukan ke DJSN.

Pembicara terakhir oleh Bupati Kulon Progo yang diwakili oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo dr. Bambang Haryatno, M.Kes yang memaparkan tentang peran Pemda Kulon Progo dalam pembiayaan kesehatan. Penduduk Kabupaten Kulon Progo memiliki angka harapan hidup paling tinggi dalam Provinsi DIY yakni 74,9, sementara untuk rata-rata Provinsi DIY 74,50 dan secara nasional 70,59. Angka kematian ibu setiap tahun mengalami penurunan meski terdapat kenaikan pada tahun 2013, dan pada tahun 2015 secara angka absolut kematian ibu hanya 2 orang dan jumlah ibu bersalin 5.234 orang. Angka kematian bayi meski masih di atas target, namun mengalami penurunan setiap tahun dan angka absolut pada tahun 2015 terdapat 48 kasus kematian bayi dan jumlah kelahiran hidup sebesar 5.232 bayi. Alokasi dana untuk Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2015 baik dari APBN maupun APBD penyerapannya hampir 100%. Rata-rata pengeluaran rumah tangga per tahun untuk kesehatan mencapai Rp. 230,45 milliar, namun untuk rokok juga sangat tinggi mencapai Rp. 118,26 milliar. Cakupan peserta JKN di Kabupaten Kulon Progo tahun 2016 terbanyak yakni peserta PBI yang mencapai 59%.

video icon15, powerpoint iconProf. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc

video icon15, powerpoint iconAhmad Ansyori, SH., M.Hum, CLA

video icon15, powerpoint icondr. Bambang Haryatno Mkes

video icon15, powerpoint iconProf. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D

video iconDiskusi

 

pendaftaran-alert

regulasi-jkn copy

arsip-pjj-equity

Dana-Dana Kesehatan

pemerintah

swasta-masy

jamkes

*silahkan klik menu diatas

Policy Paper

Link Terkait

jamsosidthe-lancet