Pre Kongres

3rd INDONESIAN HEALTH ECONOMIC ASSOCIATION (InaHEA)

Yogyakarta, 29 Juli 2016

Pre Kongres 1

HEALTH TECHNOLOGY ASSESMENT

Reporter : Tiwi

border-page

PKMK-Jogja. Pada Kamis, 28 Juli 2016 telah diselenggarakan Pre Congress I yang merupakan bagian dari serangkaian kegiatan Congress 3rd Indonesian Health Economic Association (InaHEA) bertempat di Hotel The Alana, Jl Palagan Tentara Pelajar Yogyakarta. Topik Health Technology Assesment (HTA) yang disajikan oleh dr. Jarir At Thobary, MD, Dphram, PhD dari Divisi Farmakoepidemiologi dan Farmakoekonomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada pada sesi yang pertama serta Auliya Suwantika, Apt, PhD dari Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran pada sesi yang kedua.

Peningkatan usia elderly di Indonesia mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit dan peningkatan biaya pelayanan kesehatan. Perkembangan teknologi yang lebih bervariasi juga meningkatkan biaya kesehatan. Hal tersebut menjadikan perlunya Health Technology Assesment (HTA). Menurut Jarir, HTA dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti aspek sosial, epidemiologi, ethical consequences, aspek organisasi, costs dan financing, pengetahuan mengenai medis dan biologis, clinical effectiveness. HTA merupakan multidimensi ilmu yang melakukan studi terhadap pengembangan, disfusi dan pemanfaatan teknologi kesehatan.
Diskusi Health Technology Assesment

Cost effectiveness terdiri dari empat hal yang sangat penting, yaitu Quality, Efficacy, Safety, efficiency. Di Indonesia pada umumnya kajian-kajian masih terbatas sampai pada tahap safety. Hal tersebut sangat berbeda negara maju dan negara tetangga, misalnya Thailand. Dalam penentuan decision making untuk obat maka Indonesia ketinggalan sekali dari Thailand. Di negara maju, obat yang baru agar bisa masuk ke decision making harus dilakukan kajian HTA-nya terlebih dahulu. Jarir menambahkan, akan tetapi saja juga obat yang tidak perlu dikaji misalnya vaksin karena dari sisi harga yang murah dan dampaknya juga besar. Negara yang maju akan sangat memperhitungkan society perspective untuk decision making. Untuk melakukan penghitungan harus kerjasama antara akademisi, medis, BPJS Kesehatan yang mempunyai data yang lengkap perihal pembiayaan pada pasien, serta industri farmasi. Tujuannya adalah agar policy dibuat sesuai dengan evidence-nya.

Pada sesi yang kedua dengan pembicara Auliya Suwantika, Apt, PhD menyampaikan materi tentang Economic modelling. Measurement hasilnya tidak bisa secara mentah dapat diambil untuk decision making. Decision analytic model menggunakan sintesis data, ketidakpastian dari input data, pemilihan decision yang tepat, clinical vs decision. Decision modelling merupakan hal yang penting di dalam evaluasi ekonomi dan pengambilan keputusan. Pada intinya tidak ada model yang sempurna, akan tetapi apabila dibuat dengan konsep dan desain yang baik akan sangat bermanfaat di dalam pengambilan keputusan dan dapat mengurangi uncertainty dan variability.

 

Pre Kongres 3

PLANNING THE UTILISATION OF DISTRICT TOBACCO TAX IN INDONESIA /

LANGKAH PEMANFAATAN DANA PAJAK ROKOK DAERAH UNTUK BIDANG KESEHATAN

border-page

Kebijakan dan Implementasi Pajak Rokok Daerah
(Drs. Matheus Agus Kristianto)

Peningkatan kekuatan perpajakan daerah bertujuan meningkatkan kemampuan daerah dalam menyediakan pelayanan publik, khususnya pelayanan kesehatan. Salah satu pajak daerah yang bisa dimanfaatkan adalah pajak rokok yang merupakan pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah sebesar 10% dari cukai rokok. Penyetoran penerimaan pajak rokok ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Provinsi dilaksanakan secara triwulanan berdasarkan jumlah penduduk yang tercatat di Disdukcapil dan kemudian dibagikan ke kabupaten/kota sebesar 70% dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi. Dalam pasal 31 UU No. 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa penerimaan pajak rokok baik di provinsi dan kabupaten/kota,dialokasikan untuk mendanaipelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang minimal 50%.Sisa penggunaan Pajak Rokok akan digunakan untuk tahun anggaran berikutnya. Maka, diperlukan monitoring evaluasi terhadap pembagian dan penyetoran pajak rokok, alokasi penggunaan penerimaan pajak rokok, pelaksanaan pedoman teknis penggunaan pajak rokok untuk kegiatan bidang pelayanan kesehatan.

 

Panduan Umum Penggunaan Dana Pajak Rokok untuk Pembangunan Daerah
(Theresia irawati, SKM, M.Kes) 

Perubahan beban penyakit di Indonesia tahun 2010 menunjukkan angka Penyakit Tidak Menular (PTM) mencapai 58%, berbanding terbalik pada tahun 1990 dimana penyakit menular yang mendominasi sebesar 56%. PTM merupakan penyebab utama beban penyakit di Indonesia pada tahun 2015 (57%). Merokok, diet kurang serat, kurang aktivitas fisik, dan alkohol merupakan faktor risiko PTM. Data Global Report on Non Communicable Disease (NCD) menunjukkan bahwa prosentase kematian akibat PTM termasuk akibat rokok menempati proporsi sebesar 63% (WHO 2010). Indonesia merupakan negara dengan perokok laki-laki terbanyak di dunia (68,8%). PTM meningkat dengan penyebab terbesar akibat rokok, hal ini diakibatkan kurangnya kegiatan promotif dan preventif terkait kurangnya dana. Pemanfaatan dana pajak rokok dalam pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain pembangunan/ pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan sosialisasi tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok. Pada pelaksanaannya, masih adadaerah yang belum memahami penggunaan pajak rokok untuk bidang kesehatan, beberapa daerah belum bisa memanfaatkan dana Pajak Rokok, serta koordinasi antara provinsi dengan kabupaten/kota dalam pemanfaatan pajak rokok masih kurang.

Dampak Pajak Rokok Terhadap Kapasitas Fiskal Daerah
(Abdillah Ahsan, SE, MSE)

Prevalensi merokok mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, perlu upaya signifikan untuk mengurangi jumlah perokok karena beban ekonomi tahunan untuk tiga penyakit utama terkait produk tembakau mencapai Rp 39.5 triliun. Diperkenalkannya pajak rokok dalam UU No.28 tahun 2009 memperkuat kewenangan fiskal daerah dalam desentralisasi fiskal di Indonesia, secara umum akan meningkatkan kapasitas fiskal daerah karena pajak rokok bagian dari PAD dan secara khusus akan meningkatkan belanja kesehatan. Penerimaan cukai rokok pada tahun 2013 sebesar Rp. 104,7T, provinsi yang menerima dana pajak terbesar adalah Jawa Barat yaitu Rp. 1,8T (18,1%). Jumlah perkapita yang diterima tiap wilayah provinsi pada esensinya sama yaitu Rp.44.074. Kapasitas fiskal daerah secara rata-rata meningkat, provinsi sebesar Rp. 95,1 M dan kabupaten/kota sebesar Rp. 12,8 M. Kapasitas Fiskal mengalami penurunan meskipun tidak terlalu besar sesudah adanya pajak daerah.

 

Pre Kongres 3

DIAGNOSIS CLASSIFICATION IN DRG PAYMENT

border-page

Pre-congress III tentang klasifikasi DRG dalam pembayaran DRG ini merupakan rangkaian acara dari Kongres Indonesia Health Economic Association pada hari pertama. Prof. Supasit Pannarunothoi dari Center for Health Equity Monitoring Foundation, Thailand menjadi pembicara pertama pada sesi panel pre-congress ini, dengan moderator dr. Luthfan Lazuardi, MD, MPH, Ph.D dari Simkes UGM. Pada sesi ini Prof. Supasit menjelaskan mengenai sejarah DRG, dimana DRG pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977 dari Yale, dengan nama Yale’s DRG version, lalu pada tahun 1983 mulai diaplikasikan pada program medicare. Setelah tahun tersebut DRG dikenal juga di Australia dan di negara-negara Nordic. Latar belakang dipakainya cara pembayaran provider dengan DRG karena pembayaran provider dengan sistem Fee For Service terlalu mahal, serta pembayaran dengan metode kapitasi cenderung menimbulkan pemberian pelayanan yang kurang. Terbukti pada tahun 1998 Socio Security Act milik Thailand menggunakan metode kapitasi untuk pembayaran provider-nya dengan hasil rendahnya admisi (sekitar 3%).

Melalui kesempatan ini Prof. Supasit juga memaparkan mengenai pengembangan DRG di Thailand, yang disebut dengan TDRG. Thailand memulai studi mengenai DRG pada tahun 1993 melalui DRG pada kecelakaan dan kedaruratan, yang menghasilkan 100 DRG. Lalu pada tahun 1995 riset dilakukan pada seluruh pasien, menghasilkan 500 DRG, pada tahun 2003 DRG versi ke 3 diluncurkan dengan 12.000 DRG, dan pada tahun 2010 DRG versi 5 diluncurkan yang meliputi kasus akut dan sub akut serta kasus psikiati. Sistem DRG di Thailand ini merupakan single payer sytem pada multiple fund ( Social Security Scheme, Universal Coverage, dan Civil Servant Medical Benefit Scheme).

Menurut Prof. Supasit, hambatan dan kelemahan pengembangan DRG di Thailand yaitu masalah akuransi koding data, akuransi data mengenai biaya, kalibrasi, kumpulan data dari masing-msing MDC, sumber daya mencakup kompetensi dan jumlah pengelola, serta adanya kebijakan pembiayaan yaitu mengenai global cap. Sedangakan kunci sukses pada TDRG adalah adanya dana untuk riset yang berkesinambungan, adanya masukan dari kancah internasional, adanya orang-orang yang serius menggeluti bidang ini di berbagai aspek (finansial, koding program, dan audit), adanya pengendalian biaya dan efisiensi, teknologi informasi yang murah, terintegrasi, dan lebih cepat, melibatkan rumah sakit pendidikan dalam proses sosialisasi kepada masyarakat. Prof. Supasit memaparkan tantangan INA-CBG di Indonesia yaitu kurangnya pemahaman provider mengenai DRG, perlu adanya native grouper, lemahnya kapasitas tim Ina CBG’s. Serta adanya fraud< dan perlunya standardisasi pelayanan kesehatan dan pengendalian biaya.

Sesi kedua diisi oleh Dr. Atik Nurwahyuni, SKM, M.Kes mengenai Re-classification dan pengembangan INA-CBGs kedepannya. Terdapat beberapa hirarki dalam pengklasifikasian INA-CBGs, tahapan tersebut meliputi pengumpulan data dan perbaikan data-data yang diteruma, menyusun major diagnostic categories (MDC), selanjutnya mengelompokkan kasus-kasus pada dua kelompok besar (surgical dan medication), lalu melakukan adjacent DRG, selanjutnya tahapan DRG, proses yang terakhir yaitu analisis statistik. Melalui kesempatan ini, Dr. Atik juga memaparkan hasil penelitiannya yang berimbas pada penentuan besaran tarif. Terdapat pertanyaan menarpik dari moderator, dr. Luthfan , mengenai apakah negara kita berada pada track yang benar, Dr. Atik menjawab dengan bijak bahwasannya negara kita berada dalam jalan yang benar, yaitu mengadopsi sistem DRG, dan harusnya kita juga mengembangkan DRG dari hasil adopsian itu melalui penelitian-penelitian. Berkaca pada TDRG , yaitu kesuksesan Thailand diraih karena adanya riset-riset yang masif.

Pre Kongres 4

HEALTH ECONOMICS EVALUATION ON DRUGS

border-page

Prof Hasbullah memulai Pre-congress ke-V dari rangkaian sesi paralel di hari pertama seminar Nasional InaHEA ke-3 yang bertempat di Hotel Alana Ruang Yudistira, Yogyakarta. Sesi ini dimulai dengan perkenalan bersama peserta yang datang dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Materi yang disampaikan oleh Prof. Hasbullah berjudul “Basic Concept of Health Economics”, Hasbullah menjelaskan tentang konsep dasar ilmu ekonomi sebelum ke sesi latihan pada sesi berikutnya, karena menurutnya, “kita harus perlu mengetahui suatu hal dimulai dengan “mengapa” kemudian baru dilanjutkan dengan “kenapa” kita perlu melakukan evaluasi ekonomi dalam kategori obat maupun bukan obat.

Menurut Hasbullah, beberapa kunci dari evaluasi ekonomi adalah informasi dan harga sebelum membuat decision making. Kesulitan yang masih sering dihadapi adalah sulitnya mencari informasi yang akurat dari sumber yang terpercaya. Mindset yang masih berkembang di masyarakat adalah harga mahal dari suatu barang merupakan kategori produk yang bagus (dalam hal ini obat) dan konsumen akan lebih loyal kepada dokter yang sudah terbiasa memberikan pelayanan kesehatan kepadanya. Menurut Hasbullah, health care tidak mengikuti prinsip ekonomi pasar, dimana dalam health care terdapat kompleksitas, dari segi kesulitan dalam mencari informasi; tidak ada kebebasan memilih oleh konsumen sebagai contoh ketika pasien diminta untuk melakukan operasi sehingga mau tidak mau konsumen akan memilihnya dan sedikit yang akan menolak anjuran tersebut; dan ketika kebutuhan keuangan tidak mencukupi dan JKN memberikan solusi dari masalah ini tapi muncul masalah baru dimana ketika semuanya telah ditanggung, konsumen akan memilih produk yang lebih mahal, sehingga dibutuhkan evaluasi ekonomi untuk membuat keputusan kebijakan ke depannya yang sesuai dengan kebutuhan.

Dari belanja obat di Indonesia pada tahun 2012 yang bernilai U$ 31,3/kapita/tahun, terlihat perbedaan jauh yang lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, karena pada prinsipnya nilai yang lebih tinggi menunjukkan komitmen yang lebih besar dari suatu negara tersebut. Pembiayaan obat di Indonesia dikelola oleh Jaminan Kesehatan Nasional sebagai public finance. Jadi menurut Hasbullah yang perlu diperhatikan adalah metode dalam mendapatkan informasi yang akurat karena pemerintah mengaharapkan penggunaan e-catalog dalam pengadaan obat bisa memberikan kualitas obat yang baik dengan harga yang murah sehingga dibutuhkan kerja sama dengan BPOM dalam pengawasan kualitas obat.

Menurut Prof. Hasbullah, diharapkan kedepannya ketika dari segi pembiaayan baik dari pembiaayaan obat maupun di luar obat setelah dikontrol dengan menggunakan evaluasi ekonomi, kemudian dapat digunakan oleh konsumen yang berhak mendapatkannya agar uang publik bisa digunakan bersama-sama dengan penerima yang tepat.

Sesi terakhir dilakukan dengan tanya jawab, salah satu pertanyaan dari peserta yang bekerja di BPJS menanyakan tentang mengapa belanja kesehatan di Amerika sangat tinggi tapi health status yang dimiliki tidak tinggi. Menurut Hasbullah, “Amerika menggunakan asuransi komersial (asuransi pasar) yang mana sangat boros”. Berbeda dengan Indonesia dan negara lainnya yang menggunakan asuransi sosial dan/atau asuransi nasional yang bersumber dari pajak negara.

Sesi kedua dilaksanakan pada 10.23 Wib - 12.00 Wib dipresentasikan oleh Dr. drg. Mardiati Nadjib, MS dengan judul “Health economics evaluation methods”. Menurut Mardiati, evaluasi ekonomi sangat luas dan dalam melakukan evaluasi ekonomi harus melihat dari perspektif yang berbeda sesuai dari sisi mana kita akan menilainya. Ada tiga perspektif, yakni: perspektif dari segi pemerintah melalui Kemenkes dalam paket manfaat JKN, Perspektif RS dalam mengambil kebijakan untuk kepentingan rumah sakit, persepktif akademisi ketika melakukan studi evaluasi ekonomi.

Masalah yang dihadapi di Indonesia adalah proses HTA di Indonesia masih terpisah-pisah, berbeda dengan negara lain yang sudah terintegrasi. Menurut Mardiati, “studi efektifitness sudah banyak dilakukan diluar negeri sehingga kita bisa mengambil contoh-contoh ynag sudah ada untuk Indonesia”. Terdapat tipe-tipe ekonomi, yakni parsial jika hanya menghitung cost-consequences. Dalam panduan Kemenkes tentang HTA, ukuran yang dipakai HTA dalam banyak negara adalah utilitas karena berhubungan dengan pasien. Indonesia belum memiliki value set dan setiap negara memiliki value set yang berbeda sehingga dibutuhkan penghitungan untuk mendapatkan value set untuk Indonesia. Indonesia memiliki pandangan yang berbeda dengan kondisi kesehatannya, ketika sakit tapi masih bisa beraktivitas maka dianggap masih sehat padahal jika dihitung berdasarkan value utility adalah rendah. Langkah awal yang perlu dilakukan untuk evaluasi ekonomi adalah dimulai dengan menetapkan tujuan evaluasi, kemudian diakhiri dengan pengambilan keputusan apakah produk tersebut memberikan efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan produk yang lama.

Menurut Mardiati, tujuan dari memberikan paket manfaat adalah keberlangsungan sehingga dibutuhkan perhitungan dan pemodelan yang lebih kompleks dengan menggunakan model makrov. Kesimpulannya bahwa untuk menciptakan keberlangsungan jaminan kesehatan nasional melalui Kementrian Kesehatan tidak dapat berjalan sendiri karena setelah dilakukan penilaian berdasarkan evaluasi ekonomi kemudian diharapkan hasil dari evaluasi ekonomi dapat memberikan keluaran terakhir yakni “linking to policy” sehingga tidak ada lagi fragmentasi contohnya dalam HTA dan ini masih menjadi pekerjaan rumah untuk Kemenkes.

Pada sesi ketiga yang dimulai pukul 13.15 Wib -16.15 Wib berjudul “Cost and outcome (theory and cased base practical)” oleh Septiara Putri, SKM, MPH. Dalam sesi ini, dilakukan pelatihan dengan menggunakan metode simple “decision tree”. Peserta diberikan materi untuk melakukan pelatihan sehingga di akhir pelatihan diharapkan peserta dapat melakukan analisis sederhana untuk menghitung efetivitas biaya mengguanakan pohon keputusan.

pendaftaran-alert

regulasi-jkn copy

arsip-pjj-equity

Dana-Dana Kesehatan

pemerintah

swasta-masy

jamkes

*silahkan klik menu diatas

Policy Paper

Link Terkait

jamsosidthe-lancet