Siaran Pers


Potret JKN

Besar pasak daripada tiang: pemerintah lakukan buka tutup lubang untuk menutup defisit BPJS Kesehatan

  • JKN dirancang untuk menjamin seluruh penduduk mendapat layanan kesehatan sesuai kebutuhannnya (universal health coverage) terlepas dari kondisi keuangan penduduk. Perwujudan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat. Hampir 70 th setelah Merdeka, baru dimulai. Terlambat. Tetapi, lebih baik daripada tidak.
  • Pemerintah mulai memenuhi amanat UU No 36/2009 tentang Kesehatan, Anggaran Kesehatan APBN sebesar 5% total APBN, baru mulai Tahun 2016. Alhamdulillah. Tetapi, belum menyelesaikan masalah Pendanaan JKN.
  • Memasuki tahun ke-3, pelaksanaan JKN diprediksi masih akan mengalami defisit hingga Rp 9 Triliun dan Mutu Layanan JKN masih inforior, belum bagus. Mengapa? Akar masalahnya ada pada besaran iuran dan (karenanya) bayaran ke fasilitas kesehatan (kapitasi dan CBG) belum memenuhi nilai keekonomian.
  • Penyesuaian JKN akar permasalahan membutuhkan pemahaman utuh oleh semua pihak (Pemerintah, Pekerja, Pemberi Kerja, Tenaga Kesehatan, dan Masyakat umumnya sebagai pengawas). Pengawasan masih sangat lemah.

Ilustrasi seorang pasien peserta JKN. Matanya tampak sembab dan rambut berantakan. Keberuntungan masih berpihak padanya. Setelah antri sejak satu malam sebelumnya, pada esok harinya akhirnya ia mendapat urutan pertama pendaftar peserta JKN. Saat antri, beredar kabar, meski antri sejak malam, bisa saja dapat nomor besar karena urutan awal sudah diperoleh para calo. Lelaki setengah baya itu, rela bermalam di teras sebuah RS untuk mendapatkan nomor antrian agar orang tuanya yang sudah lanjut usia atau lansia dapat berobat.

Satu jam sebelum azan subuh, aktivitas antrian sudah terlihat di pintu. Cara antriannya pun terlihat cukup unik. Para pengantri berinisiatif sejak pukul 04.00 WIB sudah meletakkan helm atau sandal, topi, map, botol minuman, dan tas di lantai sebagai tanda pemiliknya mengantri, kemudian disusul pengantri berikutnya.

Jika saja orang miskin ditakdirkan Tuhan tidak bisa sakit, maka tentu tak ada orang antri nomor berobat seperti di rumah sakit itu. Orang miskin biasa susah. Antri untuk mendapatkan kebutuhannya sudah biasa. Yang tidak miskin? “Apa ini JKN!! Buruk sekali. Aku sudah sakit, disiksa lagi dengan menunggu berjam-jam untuk konsultasi. Bayar saja sendiri, atau beli asuransi lain lah!” Ini potret kesimpulan sebagian orang tentang JKN.

Kisah seperti ilustrasi diatas sudah sangat umum sejak JKN dijalankan 2 tahun yang lalu di negara kita tercinta. Akankah terus demikian? Apa saja yang jadi masalah dalam pandangan para akdemisi, pengamat, pakar, pemerintah, pengelola, pengawas, dan penduduk? Adakah solusi? Sebagian orang menyalahkan konsep JKN sebagai pemadam kebakaran, hanya mengobati, maka dana iuran tidak akan pernah cukup. “Seharusnya upaya preventif yang dijalankan, nanti tidak perlu JKN”. Benarkah? Tidak pernah terjadi di seluruh dunia. Tetapi,…memang banyak orang belum faham betul apa yang terjadi dan apa solusi yang tepat. Masalah kesehatan, di seluruh dunia, tidak pernah terselesaikan. Setiap sistem kesehatan memiliki masalahnya sendiri dan karenanya solusi harus terus dicari. Solusi selalu mencari perbaikan, dari sebelumnya. Tetapi, masalah baru selalu muncul sejalan dengan perubahan kebutuhan, ketersediaan, selera publik, dan pandangan petinggi negeri—dimana saja di dunia. Belajar dari dan ke pihak lain sepanjang hidup menjadi kebutuhan dunia. Forum seminar, kongres, diskusi, media sosial, publikasi/jurnal ilmiah cetak maupun elektronik; akan dan perlu terus dikembangkan sampai mayoritas penduduk merasa puas. Tidak pernah terjadi seluruh (100%) penduduk puas akan sistem kesehatan atau sistem apakan di suatu negara, yang paling kaya dan paling makmur sekalipun.

Kongres ke-3 InaHEA (Perkumpulan pakar ekonomi kesehatan) mencoba menggali masalah secara obyektif dan mencari potensi solusi. Jurnal Ekonomi Kesehatan diluncurkan agar berbagai permasalahan, potensi solusi, dan ide-ide lain untuk perbaikan terus menerus JKN diketahui semua pemangku kepentingan.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yogyakarta, 29 Juli 2016 - Indonesian Health Economics Association (InaHEA) kembali menyelenggarakan kongres yang ke-3 dengan tema “The Economics of Preventive Health Programs, Tobacco, and Health Equity under JKN Policy, di Yogyakarta pada tanggal 28 – 30 Juli 2016. Kongres ini merupakan forum pertukaran informasi bagi para pakar dan pengelola kesehatan Indonesia dan internasional yang mencakup peneliti ekonomi kesehatan, praktisi, dan akademisi, pengeloa JKN, pengelola fasilitas kesehatan, yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Hasil “berbagi/sharing ilmu/” dalam kongres ini diharapkan dapat memberikan masukan bermakna bagi pemerintah, BPJS Kesehatan, dan pimpinan fasilitas kesehatan dalam upaya perbaikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan perkembangan ilmu ekonomi kesehatan di Indonesia.

Naiknya anggaran belanja negara di bidang kesehatan

Sejak UU Kesehatan disahkan Tahun 2009 hingga 2015, belanja pemerintah untuk sektor kesehatan secara relatif naik-turun bervariasi antara 3,1 – 3,7 % dari APBN. Anggaran APBN tertinggi terjadi di tahun 2014 sebesar 3,7% dengan nilai nominal Rp 67,5 Triliun.   Pada APBN 2015 belanja kesehatan pemerintah mencapai sebesar Rp 71,1 Triliun tetapi prosentasenya turun menjadi 3,5% dari total APBN yang mencapai Rp 2.039,5 triliun.

Untuk pertama kalinya pada tahun ini, 2016, pemerintah menaikkan anggaran belanja negara di sektor kesehatan memenuhi amanat UU Kesehatan yaitu 5% APBN untuk fungsi kesehatan. Diperkirakan total belanja negara Tahun 2016 mencapai angka Rp 2.200 triliun. Dengan demikian belanja kesehatan pemerintah 5% APBN mencapai akan mencapai Rp 110 Triliun yang tesebar di Kementrian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Bdan POM, BKKBN, pemerintah daerah, dan lembaga negara lain. Artinya perkiraan belanja kesehatan pemerintah di tahun 2016 naik Rp 30 – 40 triliun dari belanja kesehatan pemerintah tahun 2015. Berita baik dan tren menggembirakan.

Dalam JKN, belanja pemerintah diwujudkan dalam bentuk bantuan iuran bagi penduduk berpendapatan rendah (bukan hanya yang miskin) yang tahun 2016 mencapai 92,4 juta jiwa dengan bantuan iuran sebesar Rp 23.000 per orang per bulan. Dengan demikian jumlah total bantuan iuran oleh Pemerintah (pusat) yang disalurkan kepada BPJS Kesehatan, melalui anggaran Kementrian Kesehatan adalah sekitar Rp 25,5 Triliun. Atau kurang dari 25% belanja fungsi kesehatan Pemerintah yang Rp 110 Triliun. Artinya, belanja kuratif Pemerintah bukanlah yang terbesar. Namun, apakah belanja sisanya merupakan belanja preventif? Seharusnya demikian.

Tetapi, kenaikan iuran PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan iuran bukan peserta PBI belum akan menyelesaikan masalah JKN. JKN memang telah mampu meningkatkan akses, khsusnya bagi mereka yang sebelumnya menderita penyakit kronis yang mahal biaya pengobatannya seperti Kanker, gagal ginjal, dan penyakit jantung. Sebelum JKN berjalan, sebuah studi ASEAN Cost in Oncology (ACTION) yang di Indonesia dilaksanakan oleh FKMUI menemukan bahwa lebih dari 70% pasien kanker tidak mampu meneruskan pengobatan ataupun mengalami kesulitan ekonomi rumah tangga. Dua pertiga pasien kanker menjadi lebih miskin, karena untuk berobat, mereka harus terpaksa berhutang atau menjual harta bendanya. Selain karena biaya berobat, sebaran fasilitas yang mampu mengobati penyakit berat seperti kanker masih sangat terbatas sehingge menimbulkan beban transportasi dan akomodasi pasien berpendapatan rendah. Pusat penanganan kanker di Indonesia terbatas hanya pada rumah sakit besar yang terletak di kota-kota besar. Jumlah dokter spesialis kanker dan peralatan medis yang terbatas menyebabkan penyediaan terapi kanker, penyakit jantung, dan gagal ginjal, masih sangat terbatas, meskipun kini JKN menjamin biaya pengobatannya.

Prof Laksono Trisnantoro, Chairman Indonesian Health Policy Network menyatakan bahwa akibat tidak seimbangnya fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia kesehatan antar daerah, maka terjadi peningkatan ketidakadilan. Oleh karena itu Kemenkes hendaknya meningkatkan anggaran negara untuk membantu investasi sarana dan prasarana kesehatan di kab/kota dan provinsi dengan kemampuan ekonomi lemah. Gaji untuk tenaga kesehatan di daerah terpencil dinaikkan. Kemenkes berkewajiban menjamin pemerataan dan mengurangi ketimpangan pelayanan kesehatan. Disamping itu BPJS diharapkan segera menjalankan kebijakan kompensasi untuk daerah-daerah yang kekurangaan fasilitas dan tenaga kesehatan.

Financial sustainability dari sistem JKN

Pelaksanaan JKN telah mencapai keberhasilan dalam meningkatkan jumlah penduduk yang dijamin yang kini mencapai hampir 170 orang. Inilah sebuah sistem jaminan kesehatan terbesar didunia yang dikelola oleh satu badan, BPJS Kesehatan. Namun, besarnya jumlah peserta tidak menjamin kesinambungan. Kesinambungan JKN tergantung dari kecukupan dana terus menerus, kualitas layanan yang baik, dan kepatuhan peserta membayar iuran. Kualitas layanan yang baik dan kecukupan dana saling mempengaruhi. Dalam JKN, dana yang tahun ini diperkirakan menghabiskan Rp 75 Triliun, telah secara tepat dikendalikan melalui pembayaran kapitasi dan CBG. Hanya saja, besaran kapitasi ke dokter praktik swasta (baik praktik sendiri ataupun bersama di klinik) yang sampai saat ini hanya Rp 8.000 per orang per bulan, belum memadai. Sebagian besar tarif CBG ke RS swasta juga belum memadai, sehingga banyak RS berupaya mengakali (baca makalah prof Budi Hidayat dalam Jurnal EKI yang dibagikan soft copynya). Akibatnya kualitas layanan belum diterima baik, khususnya oleh pembayar iuran pekerja swasta maupun pegawai negeri.

Terjadinya defisit dua tahun berturut-turut dan diperkirakan akan terjadi lagi tahun ini, disebabkan kerena penetapan iuran oleh Pemerintah yang tidan memadai. Karena iuran yang tidak memadai, Pemerintah (Kemenkes) terpaksa juga menetapkan bayaran yang tidak memenuhi harga keekonomian untuk banyak layanan di RS swasta. Hal itu berdampak pada persepsi bruruk layanan JKN. Persepsi buruk layanan JKN akan menimbulkan ketidakpuasan peserta dan akan mengancam kepatuhan peserta membayar iuran. Siklus ini merupakan ancaman terbesar kesinambungan (sustainabilitas JKN). Oleh karenanya perlu digali sumber dana lain, yang paling layak dan siap tersedia adalah dari mobilisasi dana cukai rokok (baca artikel Hasbullah Thabrany, dalam soft copy Jurnal EKI yang dibagikan). Potensi dana cukai rokok untuk menutup JKN mencapai Rp 70 Triliun setahun.

Upaya menjamin efisiensi telah juga dilaksanakan dengan sistem pengadaan obat, yang menjadi komponen terbesar kepuasan peserta, melalui e-catalog dan e-purchasing. E-catalog dan e-purchasing merupakan terobosan bagus untuk mendapatkan obat dengan harga murah. Sayangnya, proses tender elektronik tersebut hampir seluruhnya mengandalkan harga termurah. Banyak peserta JKN masih meragukan Kualitas obat. Diharapkan, kedepan tender elektronik mempertimbangkan dimensi lain, seperti kualitas obat, reputasi perusahaan, jaminan pasokan dll. Penggunaan penilaian multi kriteria (bukan hanya harga) sudah dilakukan di China dan Viet Nam dan bagus untuk jadi contoh Indonesia.

"Butuh teroboson Presiden untuk memobilisai cukai rokok untuk guna menutup defisit dan SEKALIGUS memperbaiki kualitas JKN. Presiden berjanji dalam Nawa Cita untuk menaikan cukai rokok 200%" kata Guru Besar Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany.

Belanja JKN hanya 14% dari belanja kesehatan SELURUH rakyat (baik belanja pemerintah, iuran JKN, belanja kesehatan perusahaan, maupun belanja langsung –out of pocket-penduduk, yang diperkiran mencapai Rp 380 Triliun lebih. Padahal jumlah penduduk yang menjadi peserta JKN sudah mencapai 60% di tahun 2015. Idealnya, 60% penduduk peserta JKN menghabiskan minimal 40% belanja seluruh penduduk agar kualitas layanan JKN baik. Jadi, masih terjadi selisih relatif 26% agar JKN dapat membayar fasilitas kesehatan milik pemerintah dan milik swasta dengan harga keekonomian. Jika fasilitas kesehatan milik swasta sudah dibayar dengan harga keekonomian, maka seluruh fasilitas kesehatan milik swasta kan senang hati melayani peserta JKN dan antrian peserta JKN akan jauh lebih pendek.

 

Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit

Hasbullah Thabrany menekankan, upaya promotif dan preventif harus dilaksanakan khususnya oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Jika tidak, klaim JKN akan terus naik. Tantangan terbesar adalah menurunkan konsumsi rokok, khususnya pada anak, melalui upaya promotif-preventif yang gencar-terus menerus dan menaikan cukai rokok. Dana tersedia besar sekali. Seperti dikemukan diatas, dana APBN yang sekitar Rp 110 Triliun, hanya Rp 25,5 Triliun untuk JKN. Sisanya harus bisa digunakan pemerintah untuk upaya promotif-preventif yang masih sangat lemah. Selain itu, ada dana Pajak Rokok daerah yang tahun ini besarnya mencapai Rp 14 Triliun. “Pemda harus menggunakan dana pajak rokok ini untuk meningkatkan upaya promotif-preventif”, ujar Hasbullah Thabrany

Kembali ditekankan oleh Prof Laksono Trisnantoro, Chairman Indonesian Health Policy Network, bahwa kenaikan anggaran kesehatan di APBN harus dialokasikan dengan baik terutama kepada upaya pemerintah dalam promosi kesehatan, dan pencegahan penyakit.

 

Rekomendasi Kongres InaHEA ke-3

  1. Revisi besaran kontribusi; baik bagi PBI, maupun pekerja dengan berdasarkan analisa dan perhitungan dan proyeksi yang tepat. Jika Pemerintah belum percaya bahwa dana JKN kini masih belum memadai, sebaiknya Pemerintah membentuk Tim Kajian khusus yang terdiri dari pejabat kementrian keuangan, kementrian kesehatan, IDI, PDGI, PERSI, IAI, IAKMI, dll. Tujuannya adalah agar iuran dan bayaran ke fasilitas kesehatan swasta mencapai harga keekonomian yang dinamis.
  2. Efisiensi dan prioritas pengelolaan dana JKN harus terus dilakukan dengan memperkuat sistem kendali mutu dan kendali biaya yang masih lemah. Moral hazard dan fraud harus dideteksi terus menerus, dilakukan penegakan hukum, dan diumumkan ke publik. Untuk tekonologi baru, penerapan Health Technology Assessment harus dipercepat dan diperkuat. Pemerintah, khususnya Kemenkes, dan pemda harus terus menerus melakukan upaya promotif-preventif publik (penguatan Upaya Kesehatan Masyarakat) agar rakat produktif.
  3. Untuk menutup kesenjangan pasokan dokter, tempat tidur, dan kelengkapan lainnya, Pemerintah dan pemda harus meningkatkan investasi pembangunan infrastruktur, termasuk fasilitas diagnosa dan terapi secara merata. Dana kesehatan pemda hendakanya difokuskan pada pembangunan infra struktur kesehatan dan besaran bayaran CBG dan kapitasi hendaknya ditetapkan dengan mempertimbangkan insentif investasi di daerah dengan memperhitungkan besaran insentif investasi sebesar 20-30% dari besaran bayaran kapitasi/CBG.
  1. Investasi pada peningkatan kapasitas dokter untuk meningkatkan kualitas terapi dapat disediakan Pemerintah melalui beasiswa dan ikatan dinas dan menjamin dokter, dokter gigi, apoteker, dan nakes lain mendapat take home income yang layak, baik dari sumber dana JKN, dana Pemerintah, dana swasta, maupun dana pemda.

=== selesai ===

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD
Chairman Indonesian Health Policy Network:


Equity in Health Insurance

Fakultas Kedokteran UGM
Jalan Farmako Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH
Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Gedung G, Lt 3, Ruang 311, Kampus UI, Depok
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

__________________________________________________________________________________

Referensi:

  1. ACTION Study, The George Institute for Global Health (2015)
  2. Informasi APBN 2016, Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Kesehatan
  3. http://print.kompas.com/baca/2015/04/08/Pemanfaatan-Cukai-Rokok-Berdampak-Banyak
  4. http://www.antaranews.com/berita/493060/kisah-antrean-pasien-bpjs
  5. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/04/13/131500926/Defisit.BPJS.Kesehatan.Diprediksi.Mencapai.Rp.7.Triliun.Tahun.Ini
  6. http://www.republika.co.id/berita/koran/publik/16/04/15/o5o3od23-defisit-bpjs-kesehatan-sulit-dihindari
  7. http://doa-bagirajatega.blogspot.sg/2016/04/rokok-dan-nawacita-hasbullah-thabrany.html

pendaftaran-alert

regulasi-jkn copy

arsip-pjj-equity

Dana-Dana Kesehatan

pemerintah

swasta-masy

jamkes

*silahkan klik menu diatas

Policy Paper

Link Terkait

jamsosidthe-lancet