Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, pernah mengungkapkan jika iuran tidak naik maka BPJS Kesehatan bisa colaps. Hal ini lantaran defisit BPJS Kesehatan terus membengkak setiap tahunnya.
"Bisa kolaps? Iya," ujarnya tegas di Forum Merdeka Barat, Jakarta, Senin (7/10/2019) kala itu.
Menurutnya, layanan untuk para peserta tidak mungkin dihentikan apalagi masalah kesehatan sangat penting. Oleh karenanya kebijakan kenaikan iuran dinilai cara paling tepat.
"Begini, kami tidak ingin pelayanan berhenti. BPJS Kesehatan sendiri mendapat sanksi, dihukum kalau telat bayar rumah sakit, itu 1% dari setiap klaim yang masuk," jelasnya.
Dengan denda itu, maka kerugian akan ditanggung oleh negara melalui suntikan dana. Ini tentunya terus merugikan negara.
"Kami laporkan ke Kementerian Keuangan berapa denda yang harus dibayar, yang mana denda itu membebani negara dan APBN. Jadi kita harap ini cepat diselesaikan," tambahnya.
Lanjutnya, saat ini banyak yang memanfaatkan pelayanan BPJS Kesehatan yang tidak mungkin dihentikan. Seperti perawatan katarak hingga operasi melahirkan secara caesar.
"Soal pemanfaatan, itu soal katarak dan caesar bayi itu pernah kami lihat soal utilisasinya, tapi respons publik dan stakeholder itu luar biasa. Sehingga tidak mudah sesuaikan. Itu jawaban kalau kenaikan tidak terjadi," tegasnya.
Fahmi mengatakan jika tidak ada kebijakan seperti kenaikan iuran maka BPJS Kesehatan bakal makin parah. "Yang terjadi tahun ke tahun defisit akan makin lebar," katanya.
Berikut rincian perkiraan defisit BPJS Kesehatan dimulai dari 2019 :
- 2019 : Rp 32,8 triliun
- 2020 : Rp 39,5 triliun
- 2021: Rp 50,1 triliun
- 2022: Rp 58,6 triliun
- 2023 : Rp 67,3 triliun
- 2024 : Rp 77 triliun
"Harapannya dengan perbaikan fundamental iuran, persoalan di sini dapat diselesaikan," tegas Fahmi.
Untuk diketahui, Mahkamah Agung (MA) ternyata mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS yang ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai 1 Januari 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak yakin BPJS Kesehatan akan berkelanjutan (sustain). Pasalnya defisit BPJS Kesehatan sudah besar, apalagi dengan dibatalkannya kenaikan iuran.
"Ya ini kan keputusan yang memang harus liat lagi implikasinya kepada BPJS gitu ya. Kalau dia secara keuangan akan terpengaruh ya nanti kita lihat bagaimana BPJS Kesehatan akan bisa sustain," tegas Sri Mulyani di Istana Negara, Senin (9/3/2020).
Menurutnya, BPJS Kesehatan memiliki tugas mulia. Sayangnya memang dari sisi keuangan merugi.
Bahkan sampai akhir Desember 2019, BPJS Kesehatan sudah defisit Rp 13 triliun. Ini pun setelah disuntik kembali Rp 15 triliun.
"Dari sisi memberikan untuk jasa kesehatan kepada masyarakat secara luas. Namun secara keuangan mereka merugi, sampai dengan saya sampaikan dengan akhir Desember, kondisi keuangan BPJS meskipun saya sudah tambahkan Rp 15 triliun dia masih negatif, hampir sekitar Rp 13 triliun," kata Sri Mulyani.
BPJS Kesehatan akhirnya angkat bicara terkait pembatalan kenaikan iuran yang dibatalkan Mahkamah Agung (MA).
BPJS Kesehatan sampai saat ini belum menerima salinan putusan Mahkamah Agung terkait dengan pemberitaan yang beredar, bahwa Mahkamah Agung mengabulkan judicial review terkait Perpres 75 tahun 2019.
"Sampai saat ini BPJS Kesehatan belum menerima salinan hasil putusan Mahkamah Agung tersebut, sehingga belum dapat memberikan komentar lebih lanjut, " kata Iqbal, Senin (09/03).
Iqbal menambahkan, saat ini BPJS Kesehatan belum bisa mengkonfirmasi kebenaran isi putusan MA tersebut dan mempelajari hasilnya jika sudah diberikan. Apabila hasil konfirmasi sudah didapatkan dan teruji kebenarannya BPJS Kesehatan akan melakukan koordinasi dengan kementerian terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku
"Pada prinsipnya BPJS Kesehatan akan mengikuti setiap keputusan resmi dari Pemerintah," tandas Iqbal.