Iuran BPJS Kesehatan Naik Lagi, Wiwiek Yuliadewi: Kecurangan Kurang dari Satu Persen

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR – BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah Bali, NTT dan NTB menggelar sosialiasi Peraturan Presiden nomer 64 tahun 2020 bersama media se Bali, di Tampaksiring, Gianyar, Kamis (30/7/2020).

Hal yang disosialisasikan merupakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan per 1 Januari 2021.

Deputi Direksi BPJS Kesehatan wilayah Bali, NTT dan NTB, Beno Herman menjelaskan, BPJS Kesehatan kembali melakukan penyesuaian iuran peserta segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP), yang akan berlaku per 1 Januari 2021.

Dimana penyesuaian tersebut sebesar Rp 150 ribu untuk kelas I, Rp 100 ribu (kelas II) dan untuk jelas III sebesar Rp 42 ribu terdiri dari Rp 35 ribu dibayarkan oleh peserta, dan Rp 7.000 disubsidi pemerintah.

Kenaikan iuran tersebut, kata dia, untuk mejaga kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan. Sebab, kebijakan pendanaan  termasuk kebijakan iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara propolsional dan berkeadilan.

 Penyesuaian iuran tersebut juga supaya ekosistem JKN dapat berjalan berkesinambungan.

Ekosistem yang dimaksudkannya, satu di antaranya adalah pembayaran rumah sakit.

Kata dia,saat ini masih terjadi ketimbangan antara biaya yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan pada rumah sakit, dibandingan pendapatan dari iuran para peserta.

 “Salah satu faktor penyesuaian iuran, karena belum susuai antara pendapatan dan pelayanan kesehatan yang kita keluarkan untuk peserta,” ujarnya

Dalam acara tersebut, muncul pertanyaan yang mencurigai pembengkakan pembayaran klaim rumah sakit, akibat adanya permainan oknum RS dan petugas BPJS Kesehatan, yang menggelembungkan tagihan pasien, sehingga mengakibatkan keuangan BPJS Kesehatan tidak sehat.

Dan, untuk menutupi prakti tersebut, maka peserta lah yang dikorbankan dalam bentuk  penyesuaian iuran ini.

Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Kinerja Kantor Cabang Kedeputian Wilayah Bali Nusra, Nyoman Wiwiek Yuliadewi mengatakan, pihaknya memang harus memiliki kecurigaan terhadapat praktik-praktik seperti itu.

Setiap klaim (tagihan) yang diajukan, kata dia, harus dicurigai adanya potensi fraud (kecurangan).

Dari audit yang dilakukan, kecurangan yang terjadi selama ini kurang dari satu persen.

“BPJS ini adalah program yang sangat besar. Iuran terkumpul sangat besar. Namun pengawasan terhadap kami pun sangat luar bisa. Berbagai pihak melaksanakan audit tak henti-henti. Di BPJS kami melakukan audit internal, di eksternal ada BPK, BPKP, bahkan KPK. Memang ada fraud, tapi tidak besar. Angkanya kurang dari satu persen,” ujar Wiwiek.

Namun Wiwiek menegaskan, kecurangan tersebut dilakukan secara tidak sengaja, melainkan karena kesalaha akibat terlalu banyak regulasi.

 “Potensi fraud itu bukan karena memang disengaja. Tapi karena ketidak tahuan. Karena program ini baru dan banyak regulasi baru. Jika terjadi kelebihan pembayaran maka rumah sakit harus mengembalikan,” tandasnya. (*)

Berita Tekait

Policy Paper