Modul 2. Konsep Equity dalam Pembiayaan Kesehatan

(Equity in Health Financing)

Pengantar

Modul ini merupakan pengantar dari modul-modul selanjutnya yang membahas mengenai pemerataan dalam pembiayaan kesehatan. Dalam modul kedua ini, beberapa konsep dasar mengenai equity in financing akan dibahas. Kerangka pelatihan modul kedua adalah:

  1. Konsep equity in financing, income re-distribution for health care
  2. Dimensi equity dalam pembiayaan kesehatan
    1. Indeks Rasio Konsentrasi (Concentration Index)
    2. Distribusi dalam pembiayaan kesehatan

Modul kedua ini akan membahas secara umum konsep equity dalam pembiayaan kesehatan. Konsep ini penting untuk dipelajari secara mendalam karena merupakan kelanjutan dari konsep yang telah dipelajari dari modul pertama. Pada akhir modul kedua ini, peserta pelatihan diharapkan dapat:

  1. Menggunakan konsep Rasio Konsentrasi sebagai alat ukur ketimpangan dalam distribusi pembiayaan kesehatan terhadap masyarakat
  2. Memahami berbagai dimensi equity dalam bidang pembiayaan kesehatan

Hasil penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa kurangnya pemerataan pendapatan adalah salah satu faktor pada masalah kesehatan yang muncul, meskipun hal tersebut bukan satu-satunya faktor penyebab utama, karena kurangnya pendapatan mempengaruhi keterbatasannya mengakses pelayanan kesehatan yang memadai. Kurangnya kemampuan orang yang berpendapatan rendah memanfaatkan sikap ramah tamah, teknologi, dan kondisi layak seperti bagi orang yang berpendapatan tinggi, sehingga perlakuan social ini membuat mereka semakin termarginalisasi. Oleh karena itu, pemerintah turun tangan dan mengintervensi untuk melindungi akses orang miskin terhadap pelayanan kesehatan dasar (WHO, World Health Report 2003).

Kebijakan menentukan bagaimana uang, kekuasaan dan sumberdaya mengalir ke masyarakat, sehingga menjadi salah satu faktor determinan kesehatan. Advokasi kebijakan kesehatan publik semakin menjadi strategi yang penting yang dapat kita gunakan sebagai panduan dalam penentuan status kesehatan. Meskipun agenda kebijakan merupakan bagian dari strategi politik dengan kepentingan yang berbeda-beda, sistem pembiayaan dan legislasi pelayanan kesehatan yang tersedia bagi orang miskin adalah strategi pendekatan utama untuk mencapai pemerataan kesehatan (Rosen S. 2002).

Kontribusi dari pendapatan pemerintah yang digunakan untuk kesehatan pada tahun 2002 untuk setiap propinsi, sangat bervariasi, yaitu antara 5%-10% dari total anggaran belanja pemerintah atau hanya sekitar 2%-3% dari rata-rata PDRB daerah (National Health Account, Ministry of Health, 2002-2008). Hal ini sangat dirasakan keterbatasan sumber daya biaya untuk kesehatan. Secara ideal, pembiayaan kesehatan pemerintah ini sekurang-kurangnya adalah 5% dari PDRB daerah atau kurang lebih 15% dari anggaran pemerintah daerah, APBD (Forum Asosiasi Dinas Kesehatan, 2000)  

Perbedaan anggaran kesehatan di tingkat daerah akan mengakibatkan perbedaan distribusi subsidi pemerintah untuk pelayanan kesehatan. Perbedaan distribusi subsidi akan membentuk pola yang variatif apabila dilakukan komparasi antar daerah. Anggapan umum mengemukakan bahwa, subsidi pemerintah akan terdistribusi secara lebih besar di daerah yang mempunyai proporsi masyarakat miskin lebih besar. Sehingga kebijakan yang diambil merupakan kebijakan untuk melindungi orang miskin. Variasi dalam pengeluaran subsidi akan mengakibatkan dampak distribusi yang berbeda pula. Hal ini terlihat pada komparasi distribusi penduduk miskin yang dilakukan oleh WHO, tahun 2003

Hasil dari penelitian Equitap mengenai pemerataan pendanaan kesehatan di Indonesia antara tahun 2000-2007 memberikan dampak situasi yang positip. Kebijakan pembiayaan kesehatan tahun 2000-2007 telah berhasil memperbaiki kemerataan sosial ekonomi. Sebelum krisis, rumah sakit pemerintah maupun swasta cenderung digunakan oleh kalangan masyarakat ‘mampu’. Sebagian besar masyarakat miskin, belum atau bahkan tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan dikarenakan oleh keterbatasan sumber daya. Dapat disimpulkan bahwa berbagai kebijakan Jaminan pendanaan seperti Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan, Askeskin, Jamkesmas, Jamkesda ataupun yang berbasis program seperti Jampersal berhasil mengurangi hambatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan non-rumah sakit lainnya.

Sementara itu, kebijakan pendanaan saat ini, sepert Jamkesmas mengijinkan rumah sakit pemerintah dan swasta untuk melayani pasien dari kalangan masyarakat miskin atau hampir miskin. Hal tersebut meningkatkan akses bagi masyarakat miskin atau hampir miskin di perkotaan dan di pulau Jawa untuk mendapat perawatan rumah sakit pemerintah dan swasta dan pelayanan kesehatan yang berbiaya tinggi. Manfaat pengobatan yang didapat bersifat luas, termasuk yang berteknologi tinggi, akan mempunyai implikasi biaya perawatan kesehatan yang besar. Diproyeksikan bahwa alokasi biaya untuk kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional akan banyak dipergunakan oleh kelompok masyarakat di perkotaan dan di dekat rumahsakit-rumahsakit berteknologi tinggi.

Pengukuran Equity dalam Pembiayaan Kesehatan

Ide dasar diperlukannya pengukuran intervensi dalam pembiayaan kesehatan adalah;

  1. Masyarakat miskin biasanya tidak mempunyai akses dalam hal pembiayaan kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
  2. Para pembuat kebijakan ingin mengetahui kemajuan yang terjadi dalam rangka pembiayaan kesehatan yang sudah dilakukan dengan melihat dampak utama dalam memperkecil kesenjangan serta melihat bagaimana hasilnya dibandingkan antar waktu dan antar wilayah.
  3. Menggunakan data survey yang diutamakan menggunakan analisis data distribusi kelompok berdasarkan tingkat pendapatan masyarakat atau data sosial ekonomi lainnnya (quintile atau persentile)
  4. Dengan menggunakan kelompok berdasarkan tingkat pendapatan masyarakat ini, bisa dianalisis pada tingkatan yang mana, kelompok tersebut mendapatkan porsi pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan. Indikator yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan indeks rasio konsentrasi.

Indikator Kesenjangan

Salah satu indikator untuk melihat ketimpangan adalah dengan mengguakan indeks rasio konsentrasi (Concentration Index). Indeks Rasio Konsentrasi didefinisikan sebagai sebagai angka yang menunjukkan besarnya pemanfaatan suatu barang dan jasa oleh kelompok berdasarkan tingkat pendapatan secara kumulatif. Dalam teori ekonomi, indeks ini digambarkan dalam bentuk kurva, yang dikenal sebagai kurva konsentrasi (Concentration Curve).

contoh-konsentrasisumber: Bank dunia

Sebagai contoh lain, pemanfaatan rumah sakit umum, harusnya dimanfaatkan secara berimbang oleh masyarakat. Tetapi hasil penelitian menunjukkan, bahwa pelayanan Rumah Sakit hanya digunakan sebagian besar oleh masyarakat mampu.

kasus-kesenjangansumber: Bank dunia

Indeks matematis yang digunakan dalam pengitungan derajat pemerataan ini adalah menggunakan indeks rasio konsentrasi (Concentration Index) untuk melihat kekuatan arah kesenjangan pengguna pelayanan kesehatan sektor publik untuk setiap grup pendapatan (mendekati 0 berarti seimbang/equal dan positif berarti tidak seimbang/kesenjangan sempurna jika nilai CI=1). Dalam teori ekonomi kurva yang menunjukkan distribusi pendapatan terhadapa distribusi populasi seperti contoh diatas disebut sebagai Kurva Lorenz, dan Indeks income redistibutionnya disebut sebagai Indeks Koefisien Gini (Gini Indeks). Jadi Indeks Gini ini melihat ketimpangan dalam strata ekonomi sosial masyarakat dihitung berdasarkan prosentasi pendapatan kumulatif masyarakat dalam redistribusi pendapatan suatu wilayah.

Selain itu juga ada turunan dari Indeks Rasio Konsentrasi ini yaitu Indeks Kakwani (KI) untuk melihat kecenderungan pemberian biaya subsidi pelayanan kesehatan sektor publik, dengan mengadopsi penelitian yang pernah dilakukan oleh O’Donnel dan Van Dorslaer (2003). Kakwani Indeks dihitung melalui metode sederhana yaitu:

 Kakwani Indeks = 1 – Koefisien Gini

Koefisien Gini disini menunjukkan angka indeks distribusi pengguna pelayanan kesehatan per-grup pendapatan masyarakat (Income-Group re-distribution Index). Angka koefisien negatif menunjukkan bahwa manfaat subsidi untuk pelayanan lebih banyak diterima oleh kaum miskin (equality increasing) demikian juga sebaliknya bila indeks menunjukkan angka positif, maka utilitas untuk pelayanan kesehatan publik digunakan oleh kaum mampu/kaya (pro-rich or equality reducing).

 


 

Penugasan Modul 2

Dalam konteks Indonesia menuju cakupan semesta jaminan pelayanan kesehatan (Universal Health Coverage);

  1. Dalam konteks Jaminan Kesehatan, jika mendapatkan hasil bahwa proporsi masyarakat yang mendapatkan jaminan kesehatan lebih banyak untuk orang miskin, bagaimana analisisnya?
  2. Bagaimana analisis bapak/ibu tentang kondisi pembiayaan kesehatan Indonesia saat ini dan masa mendatang pasca diberlakukannya SJSN 2014, apakah system yang ada saat ini sudah adil dan merata?
  3. Berikan contoh (minimal 3), hal-hal terkait dengan kesehatan yang memang harus secara dibiayai secara equal untuk seluruh lapisan masyarakat dan memang harus ada in-equal, karena spesifikasi kebijakannya menyasar/target kepada populasi tertentu.

 


Tugas dikirimkan ke Pengelola Pelatihan pada email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.  


 

 

Bahan Bacaan Utama

O’Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2008, Who Pays for Health Care in Asia Pacific, Journal of Health Economics.

Bahan Bacaan Tambahan

- VDoorslaer et al Lancet 2006;
- Culyer OREP 1989
;
- Balarajan & al.Lancet 2011
;
- Effect of payments 2006

- Who pays for health care in Asia 2008