Modul 4. Konsepsi Penerima Manfaat Pelayanan Kesehatan
(Benefit Incidence in Health Care Utilizations and Subsidy)
Pengantar
Modul ini merupakan bagian terakhir dari modul-modul yang membahas mengenai pemerataan dalam pembiayaan kesehatan. Dalam modul keempat ini, beberapa konsep dasar mengenai equity dalam distribusi pembiayaan untuk pelayanan kesehatan akan dibahas. Kerangka pelatihan modul kedua adalah:
- Konsep pembiayaan kesehatan oleh pemerintah, penerima manfaat pengeluaran kesehatan pemerintah serta penerima manfaat pelayanan dan subsidi pembiayaan kesehatan pemerintah, (Benefit Incidence in Health Care Utilizations and Health Care Subsidy)
- Dimensi equity dalam konsep penerima manfaat pembiayaan kesehatan pemerintah
- Indeks Rasio Konsentrasi (Concentration Index) untuk siapa penerima manfaat dari pelayanan kesehatan pemerintah
- Konsep pemerataan subsidi pembiayaan kesehatan oleh rumah tangga
Modul keempat ini akan membahas secara umum penerima manfaat pembiayaan kesehatan pemerintah. Konsep ini penting untuk dipelajari secara mendalam karena merupakan kelanjutan dari konsep yang telah dipelajari dari modul pertama, kedua dan ketiga. Pada akhir modul ini, peserta pelatihan diharapkan dapat:
- Menggunakan konsep rasio konsentrasi sebagai alat ukur rumah tangga penerima manfaat pelayanan kesehatan pemerintah.
- Memahami berbagai dimensi pemerataan subsidi bidang pembiayaan kesehatan
Pendahuluan
Kontribusi dari pendapatan pemerintah yang digunakan untuk kesehatan pada tahun 2002 untuk setiap propinsi, sangat bervariasi, yaitu antara 5%-10% dari total anggaran belanja pemerintah atau hanya sekitar 2%-3% dari rata-rata PDRB daerah (National Health Account, Ministry of Health, 2002). Hal ini sangat dirasakan keterbatasan sumber daya biaya untuk kesehatan. Secara ideal, pembiayaan kesehatan pemerintah ini sekurang-kurangnya adalah 5% dari PDRB daerah atau kurang lebih 15% dari anggaran pemerintah daerah, APBD (Forum Asosiasi Dinas Kesehatan, 2000) .
Perbedaan anggaran kesehatan di tingkat daerah akan mengakibatkan perbedaan distribusi subsidi pemerintah untuk pelayanan kesehatan. Perbedaan distribusi subsidi akan membentuk pola yang variatif apabila dilakukan komparasi antar daerah. Anggapan umum mengemukakan bahwa, subsidi pemerintah akan terdistribusi secara lebih besar di daerah yang mempunyai proporsi masyarakat miskin lebih besar. Sehingga kebijakan yang diambil merupakan kebijakan untuk melindungi orang miskin. Variasi dalam pengeluaran subsidi akan mengakibatkan dampak distribusi yang berbeda pula. Hal ini terlihat pada komparasi distribusi penduduk miskin yang dilakukan oleh WHO, tahun 2003.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh O'Donnell, O., E. Van Doorslaer, et al. (2005) menunjukkan bahwa standar pengeluaran kesehatan yang diterapkan oleh WHO ($1 dan $2 perhari) memiliki dampak terhadap tingkat kemiskinan. Semakin besar standar yang diterapkan, semakin besar penduduk yang akan menjadi ”miskin”. Hal ini terutama dinegara-negara yang mempunyai pendapatan perkapita yang relatif rendah, seperti Indonesia, India, Bangladesh, dan Nepal. Karakteristik yang demikian, juga menunjukkan bawah kaum miskin sangat rentan terhadap kesehatan (vulnerable). Sehingga dibutuhkan suatu skema subsidi untuk ”melindungi” mereka dari resiko kesehatan (O'Donnell, O., E. Van Doorslaer, et al.,2005).
Hasil Penelitian tentang Equity dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (PMPK FK-UGM 2009), menunjukkan adanya indikasi bahwa kebijakan subsidi kesehatan Indonesia masih terlihat dinikmati oleh orang kaya (pro-rich) dan terjadi kesenjangan yang semakin besar (equality reducing), khususnya untuk pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Sedangkan untuk pelayanan lainnya, subsidi pelayanan kesehatan relatif sampai ke sasaran. Hal lainnya adalah, disparitas antar propinsi, dimana propinsi yang memiliki anggaran kesehatan yang besar, memiliki kecenderungan untuk melindungi masyarakat miskin melalui subsidi kesehatan semakin besar. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya (O'Donnell, O., E. Van Doorslaer, et al,2005) yang membandingkan kondisi pengguna fasilitas kesehatan pemerintah antar beberapa Negara di Asia Pasifik.
Analisis Benefit Incidence on Health Care dengan Indeks Konsentrasi
Metode matematis yang digunakan dalam pengitungan derajat pemerataan ini adalah menggunakan indeks konsentrasi (Concentration Index) untuk melihat kekuatan arah kesenjangan pengguna pelayanan kesehatan sektor publik untuk setiap grup pendapatan (mendekati 0 berarti seimbang/equal dan mendekati 1 berarti tidak seimbang/kesenjangan sempurna) dan Indeks Kakwani (KI) untuk melihat kecenderungan pemberian biaya subsidi pelayanan kesehatan sektor publik, dengan mengadopsi penelitian yang pernah dilakukan oleh O’Donnel dan Van Dorslaer (2003). Kakwani Indeks dihitung melalui metode sederhana yaitu:
Koefisien Gini disini menunjukkan angka indeks distribusi pengguna pelayanan kesehatan per-grup pendapatan masyarakat (Income-Group re- Distribution Index). Angka koefisien negatif menunjukkan bahwa manfaat subsidi untuk pelayanan lebih banyak diterima oleh kaum miskin (equality increasing) demikian juga sebaliknya bila indeks menunjukkan angka positif, maka utilitas untuk pelayanan kesehatan publik digunakan oleh kaum mampu/kaya (pro-rich or equality reducing). Sedangkan untuk penghitungan benefit subsidi untuk masing-masing grup, secara sederhana metode tersebut adalah:
Benefit for each group merupakan manfaat subsidi yang diterima oleh masing-masing grup per distribusi pendapatan (Income decile group). Utilization of Services merupakan penggunaan pelayanan kesehatan tiap rumah tangga. Net Unit Cost Services merupakan biaya kesehatan per unit pelayanan.
Dari manfaat atau benefit yang diterima oleh masing-masing grup tersebut kemudian dilihat Kakwani indeks-nya, apakah cenderung untuk grup rumah tangga yang mempunyai income tinggi (mempunyai konsentrasi indeks positif) atau rumah tangga yang mempunyai income rendah (mempunyai konsentrasi indeks negatif). Identifikasi dari analisis ini adalah apabila distribusi pelayanan kesehatan ditujukan untuk masyarakat miskin, maka mereka harusnya mendapatkan subsidi lebih banyak dibandingkan masyarakat kaya. Hal ini yang disebut sebagai penurunan ketimpangan atas ketidak setaraan (equality increasing), demikian pula sebaliknya apabila justru masyarakat kaya mendapatkan lebih banyak subsidi, maka yang terjadi adalah perbesaran ketidaksetaraan (equality reducing).
Benefit Incidence Analysis memberikan arahan untuk kebijakan dalam bentuk:
- Membuat subsektor lebih bersifat pro-poor atau tidak terlalu pro-rich, misal: melalui program yang bersifat meningkatkan demang (demand-side programs) seperti asuransi dan conditional cash transfers (CCT). Program semacam ini akan meningkatkan penggunaan layanan kesehatan oleh masyarakat miskin.
- Mengarahkan pembiayaan kesehatan ke sub-sektor yang lebih pro-poor
- Hasil analisis benefit-incidence akan memberikan gambaran bagaimana pembiayaan kesehatan yang pro-poor mengubah penggunaan/utilisasi intervensi kesehatan
Penugasan
- Bagaimana analisis bapak dan ibu setelah bisa memahami konsep modul 1 sampai dengan 3?
- Apakah kondisi nyata saat ini sudah tepat sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan? Dalam konteks pemerataan pelayanan dan pemerataan subsidi pelayanan kesehatan
- Visi dan Misi program kesehatan kita menyatakan bahwa kesehatan merupakan “hak’ setiap orang dan pelayanannya harus tepat sasaran, merata dan berkualitas. Mohon dijelaskan bagaimana kondisi saat ini (bisa dalam konteks daerah bapak/ibu) dengan menyatakan saat ini siapakah yang menerima manfaat dari pelayanan kesehatan dan subsidi pembiayaan kesehatan pemerintah, dan kaitkan dengan konteks modul 1 sampai dengan 4 ini (1 paragraf singkat)
Bahan Bacaan Utama
O’Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2007, The Incidence of Public Spending on Health Care; Comparative Studies among Asia Pacific Countries, World Bank Economic Review.
Bahan Bacaan Tambahan
Demery, L. (2000). Benefit incidence: a practitioner’s guide. The World Bank. Washington, DC.
Prakongsai, P., Palmer, N., & Tangcharoensathien, V. (2006). Benefit incidence analysis before and after universal coverage in Thailand. 69th Health Economists’ Study Group, 26-28.