Pembahasan Iuran BPJS Pekerja Formal Masih Alot

Jakarta - Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), Ali Gufron Mukti, mengatakan belum ada penetapan berapa besaran iuran BPJS Kesehatan untuk pekerja sektor formal. Pasalnya, antara pihak pemberi kerja dan pekerja masih belum mencapai kata sepakat. Menurutnya, hal itulah yang menyebabkan Perpres No.12 tahun 2013 tentang Jamkes tak memuat ketentuan soal iuran.

Padahal, sebelumnya iuran ituakan dimasukkan ke dalam Perpres Jamkestersebut. Mengingat belum ada kesepakatan antar pemangku kepentingan di tengah batas waktu penerbitan peraturan yang diamanatkan UU SJSN itu berakhir, Perpres Jamkes diterbitkan tanpa mengatur iuran. Namun iuran tersebut akan diatur dalam peraturan pelaksana khusus yang saat ini masih dalam tahap pembahasan.

Ali mengatakan pada awalnya serikat pekerja menolak untuk membayar iurankarena program Jaminan Pemeliharan Kesehatan (JPK) Jamsostek yang berlaku selama ini ditanggung oleh pemberi kerja. Namun, lewat pembahasan yang dilakukan di LKS Tripnas, Ali menilai pekerja sepakat untuk mengiur. Saat ini sedang ditindaklanjuti perwujudan kesepakatan lainnya yang nanti bakal dituangkan dalam Perpres Iuran. “Tinggal berapa besaran iurannya (yang dibebankan kepada pemberi kerja dan pekerja,-red), kata dia dalam diskusi di Jakarta, Rabu (27/3).

Secara umum, Ali mengatakan pemerintah berkomitmen untuk melaksanakan BPJS sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan yang ada. Mengacu hal itu dia optimis pada 2014 nanti BPJS Kesehatan akan berjalan sesuai rencana. Walau begitu, pemerintah tak menutup mata bahwa ada persiapan yang perlu dimatangkan dalam menyelenggarakan BPJS. Misalnya, peraturan pelaksana dan fasilitas kesehatan.

Pada kesempatan yang sama, anggota LKS Tripnas dari perwakilan pengusaha, Hariyadi Sukamdani, membenarkan belum adanya kesepakatan tentang besaran iuran BPJS Kesehatan untuk pekerja formal. Dari serangkaian pembahasan yang dilakukan di LKS Tripnas dihasilkan setidaknya empat alternatif iuran. Pertama, iuran sebesar 5 persen, pada periode 2014–2015 pemberi kerja menanggung 4 persen dari jumlah tersebut dan pekerja 1 persen. Setelah periode itu berlalu, pemberi kerja dibebani 3 persen dan pekerja 2 persen.

Alternatif iuran kedua, Hariyadi melanjutkan, besarnya iuran untuk pekerja lajang yaitu 3 persen dengan komposisi 2 persen ditanggung pemberi kerja dan 1 persen pekerja. Sedangkan pekerja yang berkeluarga iurannya diusulkan 6 persen. Usulan ketiga, besaran iuran 4 persen dengan rincian periode 2014–2015 sebanyak 3 persen diiur pemberi kerja dan 1 persen pekerja. Lalu di tahun 2016 antara pemberi kerja dan pekerja menanggung iuran yang sama yaitu 2 persen.

Usulan keempat, besaran iuran 4 persen, dari jumlah itu 3 persen ditanggung pemberi kerja dan 1 persen pekerja atau usulan itu hanya berlaku untuk periode 2014–2015. Setelah periode tersebut maka masing-masing dibebankan iuran sebesar 2 persen. Namun, Hariyadi menekankan pengusaha mengharapkan besaran iuran sebesar 3 persen dengan beban untuk pemberi kerja sebesar 2 persen dan pekerja 1 persen. Menurutnya, pembagian beban iuran untuk pemberi kerja dan pekerja itu selain amanat UU SJSN juga menekankan agar masing-masing pihak serius menjaga kesehatannya.

Selain itu Hariyadi mengkritik pemerintah dalam menyiapkan pelaksanaan BPJS. Misalnya, iuran dan jumlah peserta penerima bantuan iuran (PBI), sebelumnya antar kementerian dan DJSN sepakat untuk jumlah iuran Rp22.200/orang/bulan. Namun, melihat perkembangan terakhir, mengacu usulan Kementerian Keuangan, antar lembaga itu mengubah besaran iuran PBI menjadi Rp15.500/orang/bulan dengan jumlah peserta PBI 86,4juta orang.

Hariyadi mengatakan, jika dampak dari pengurangan iuran itu dibebankan kepada swasta, pengusaha menolaknya. “Kalau swasta diminta tambahan, ya kami tidak mau. Makanya harus dihitung serius (besaran iuran PBI,-red),” ujarnya.

Menurut Hariyadi, pemerintah dinilai tak seimbang menempatkan perhitungan iuran untuk pekerja formal dan PBI. Misalnya, perubahan besaran iuran untuk pekerja formal bisa ditinjau setahun sekali sesuai perkembangan upah pekerja. Sedangkan, iuran PBI hanya ditinjau dua tahunan dan tak dihitung berdasarkan presentase, tapi absolut.

Persiapan Pelaksanaan BPJS
Terkait persiapan pelaksanaan BPJS Kesehatan, Ali mengatakan selain peraturan pelaksana, pemerintah mempersiapkan juga fasilitas untuk BPJS Kesehatan. Misalnya, pemerintah akan meningkatkan standar fasilitas kesehatan mulai tingkat dasar seperti Puskesmas, klinik dan RS Pratama. Menurutnya, hal itu dilakukan dalam rangka mewujudkan amanat pelaksanaan BPJS yaitu memberi pelayanan kesehatan terbaik untuk seluruh rakyat. Jika fasilitas itu kurang baik, Ali mengatakan berpotensi besar menghambat pelaksanaan BPJS.

Contohnya, pelaksanaan program kesehatan di Jakarta, Ali melihat fasilitas kesehatan dasar yang ada belum siap melayani masyarakat. Akibatnya, masyarakat yang butuh pelayanan kesehatan lari ke RS sehingga RS tak mampu menampung jumlah pasien yang membludak itu. Mengingat hal tersebut berpotensi mengakibatkan penolakan dari RS untuk melayani calon pasien, maka Ali menegaskan fasilitas kesehatan dasar harus diperkuat.

Sejalan dengan itu, pemerintah pusat siap untuk membangun RS Pratama di daerah kepulauan, terpencil dan pedalaman. Syaratnya, pemerintah daerah harus menyiapkan lahan untuk pembangunan RS itu. Menurutnya, pemerataan fasilitas kesehatan ke seluruh wilayah di Indonesia perlu dilakukan untuk mendukung terlaksananya BPJS Kesehatan dengan baik. Misalnya, Jakarta mengalami pembangunan yang pesat sehingga jumlah tempat tidur untuk RS berlebih, padahal daerah lainnya kekurangan.

Begitu pula dengan jumlah dokter umum. Ali mencatat jumlah dokter umum saat ini berjumlah 88,309 orang sedangkan kebutuhannya mencapai 101,040 orang. Menurutnya jumlah tersebut untuk memenuhi kebutuhan ideal antara banyaknya dokter dan penduduk yaitu 1:2,500. Hal serupa juga dihadapi dalam pemenuhan tenaga dokter spesialis. Oleh karenanya Ali mengatakan peraturan yang mengatur tentang pendidikan dokter khususnya spesialis akan direvisi dalam rangka mengejar kekurangan tenaga dokter.

Ali menegaskan, BPJS sangat penting untuk kemajuan Indonesia. Pasalnya, dalam menghadapi era globalisasi, salah satu hal utama yang harus dipenuhi adalah hak atas jaminan pelayanan kesehatan. “Kebutuhan dasar masyarakat harus dipenuhi dulu kalau Indonesia mau bergerak maju,” ucapnya.

Sementara, Ketua Umum Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI), Yaslis Ilyas, mengingatkan ketika BPJS beroperasi harus diwaspadai kemungkinan terjadinya tindak kecurangan (fraud). Menurutnya kecurangan itu dapat dilakukan berbagai pihak dalam mata rantai pelayanan kesehatan untuk mendapat keuntungan tertentu. Misalnya, tagihan atau kwitansi palsu, klaim asuransi palsu, iklan menyesatkan dan pencurian identitas peserta.

Mengacu penyelenggaraan asuransi kesehatan di Amerika Serikat tahun 1992, sebagian besar tindak kecurangan itu dilakukan oleh provider atau RS dan sisanya dilakukan peserta. Untuk kecurangan yang dilakukan RS misalnya, seorang peserta harus dioperasi kecil. Namun, pihak RS mengklaim ke badan penyelenggara asuransi jika tindakan medis yang dilakukan adalah operasi besar yang biayanya lebih mahal ketimbang operasi kecil. Mengacu hal itu maka badan penyelenggara asuransi dirugikan oleh RS.

Untuk kecurangan yang berpotensi dapat dilakukan peserta asuransi yaitu ketika identitas peserta digunakan oleh orang lain. Alhasil, yang mendapat manfaat dari pelayanan BPJS bukan si peserta. Mengingat dana yang bakal dikelola BPJS jumlahnya sangat banyak dan milik publik, maka pengawasan harus dilakukan secara ketat oleh semua pihak. Sejalan dengan itu dibutuhkan regulasi yang kuat agar mampu mencegah terjadinya kecurangan tersebut. “Menetapkan badan yang bertanggungjawab dalam monitoring dan evaluasi terhadap kemungkinan terjadinya fraud,” urainya.

sumber: http://www.hukumonline.com

Berita Tekait

Policy Paper