Reportase
Kerjasama Pusat dan Daerah dalam Jaminan Kesehatan
dalam Perspektif Keadilan Sosial
Yogyakarta, 22 Maret 2017
Kondisi missmatch anggaran JKN mengundang konsekuensi bahwa pengelolaan dana JKN bukan hanya peran pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah. Bahkan ada wacana agar penyelenggaraan JKN diberikan seluruhnya ke pemerintah daerah, sehingga pemerintah pusat hanya berwenang dalam hal manajemen pengawasan. Banyak faktor yang patut dipertimbangkan dalam menemukan formulasi yang tepat mengenai pembagian tugas antara pemerintah daerah dengan pusat. Sistem desentralisasi sekarang membuat daerah diharapkan turut mengawal pembiayaan kesehatan di daerahnya bersama-sama dengan BPJS Kesehatan. Tentunya diharapkan ada keselarasan peran dengan hasil yang optimal bagi upaya penyelenggaraan kesehatan masyarakat, termasuk dalam perspektif keadilan sosial.
Semangat gotong royong antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal pembagian peran dan tanggung jawab penyelenggaraan JKN merupakan isu yang perlu diperhatikan saat ini. Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pemerintah daerah cukup merespon positif bahkan turut mengambil peran dalam penyelenggaraan JKN di daerah. Contoh nyata peran pemerintah daerah adalah penyusunan regulasi terkait penyelenggaraan JKN di tingkat daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota sebagai bentuk turunan dari peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sehingga peraturan di tingkat pusat dapat diimplementasikan di daerah. Meskipun demikian, beberapa isu penting belum mendapatkan perhatian para pemerintah daerah, sebagai contoh adalah regulasi mengenai sisa dana kapitasi. Padahal, tidak sedikit daerah yang memiliki sisa dana kapitasi yang besar.
Studi tentang monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM juga menyimpulkan bahwa organisasi perangkat daerah belum banyak mengambil peran dalam penyelenggaraan program JKN. Pembinaan dan pengawasan belum dilakukan secara optimal, padahal pembinaan dan pengawasan merupakan hal yang cukup penting dalam penyelenggaraan JKN, terutama bagi puskesmas dan rumah sakit. Hal ini dibuktikan dengan hasil studi yang menunjukkan bahwa organisasi perangkat daerah belum banyak menyinggung mengenai landasan kebijakan penyelenggaraan JKN di tingkat daerah. Padahal sekali lagi, regulasi merupakan komponen yang sangat penting dalam implementasi JKN. Selain itu, beberapa komponen anggaran kesehatan bersumber dari pemerintah baik pusat maupun daerah serta swasta belum dimanfaatkan secara optimal. Peluang ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh daerah untuk mengatasi masalah infrastruktur dan SDM yang turut mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Dana tersebut harapannya juga dapat dimanfaatkan untuk peningkatan program preventif-promotif.
Isu lain yang perlu mendapatkan perhatian dalam penyelenggaraan JKN adalah isu keadilan sosial. Isu keadilan sosial dalam penyelenggaraan JKN pada kenyataannya masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia, sebagai contoh terjadi di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan penuturan dr. Stefanus Bria Seran, M.Kes. (Bupati Malaka), masyarakat yang seharusnya tercakup dalam JKN (PBI) di Kabupaten Malaka sapai saat ini belum semuanya ter-cover. Hal ini disebabkan karena lemahnya sistem pendataan siapa yang berhak dan tidak berhak mendapatkan bantuan iuran. Pada akhirnya, isu ketidakadilan muncul dan harus segera diatasi. Pemerintah Kabupaten Malaka mengambil kebijakan total coverage, dalam artian masyarakat yang tidak memiliki kartu asuransi namun berstatus sebagai penduduk Kabupaten Malaka, maka seluruh biaya pelayanan kesehatannya ditanggung oleh Pemkab Malaka melalui sistem klaim. Meskipun demikian, bukan berarti masalah serta merta selesai begitu saja. Pemkab Malaka dihadapkan pada masalah finansial, yaitu dana APBD yang dialokasikan tidak mencukupi untuk program tersebut. Selain itu, meskipun 2019 ditargetkan universal health coverage, pemerataan fasilitas dan SDM kesehatan merupakan isu yang masih akan muncul pasca-2019 terutama di DTPK. Oleh sebab itu, Bupati Malaka merekomendasikan beberapa hal, antara lain: adanya regulasi terkait keseimbangan alokasi dana untuk jaminan kesehatan di daerah termasuk pemerataan fasilitas dan SDM kesehatan di daerah, pembagian beban biaya kesehatan antara individu dengan pemda, adanya subsidi silang, sistem pendidikan kedokteran/kesehatan yang mencetak SDM kesehatan yang mau mengabdikan diri ke daerah, kolaborasi fasilitas kesehatan yang kecil dan besar, serta menggalakkan penelitian dalam rangka perbaikan sistem kesehatan.
Sementara itu, Asih E.P. Martabat (DJSN) berpendapat bahwa isu ketidakadilan merupakan isu klasik dalam penyelenggaraan JKN. Masalah lemahnya sistem pencatatan penduduk, pemerataan fasilitas dan SDM kesehatan, dan isu kepesertaan idealnya harus selesai sebelum JKN secara resmi diimplementasikan. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan bersama-sama dengan sektor lain. Sebagai contoh masalah pencatatan penduduk harusnya diselesaikan oleh sektor kependudukan sehingga tidak menghambat penyelenggaraan JKN. Selain itu, isu ketidakadilan dalam penyelenggaraan JKN juga disebabkan karena program JKN belum sepenuhnya menyentuh pasar, padahal JKN bekerja menggunakan sistem pasar. Lantas, di mana mekanisme pasar bekerja? JKN memberikan akses yang sama kepada fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dengan sistem kontrak. Dari sisi peserta, JKN memberikan kebebasan peserta untuk memilih fasilitas kesehatan berdasarkan koridor yang telah ditetapkan. Namun, mekanisme penyelenggaraan layanan untuk daerah terpencil (DTPK) rupanya masih menuai polemik. Oleh sebab itu, perlu beberapa solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Terkait dengan masalah akses layanan kesehatan, pemeritah dapat mengalokasikan dana kompensasi, sehingga mampu meningkatkan akses bagi masyarakat di daerah terpencil. Selain itu, sistem pembayaran kapitasi hendaknya tidak hanya mempertimbangkan faktor jumlah peserta saja, melainkan juga harus mempertimbangkan aspek geografis, kepadatan penduduk, jangkauan layanan kesehatan, dan sebagainya.
Pada kesempatan ini, Agus Priyanto (Bapel Jamkesos DIY) juga menyampaikan bahwa terkait dengan kerja sama pusat dan daerah dalam penyelenggaraan JKN, pemerintah daerah tidak hanya berperan dalam upaya penanggulangan isu miss match dana JKN saja, akan tetapi juga berupaya untuk meng-cover masyarakat yang belum terjamin dalam skema JKN. Hal ini disebabkan karena kenyataannya, masih banyak masyarakat yang seharusnya ter-cover dalam skema PBI JKN belum menjadi peserta sebagaimana terjadi di DI Yogyakarta. Oleh sebab itu, system buffer (penyangga) perlu dilakukan, misalnya seperti yang telah dilakukan oleh Bupati Malaka yang mengalokasikan sisa dana kapitasi untuk menjamin masyarakat yang belum terjamin. Sejalan dengan yang dilakukan oleh Pemda DIY yang masih mempertahankan Jamkesda untuk menjamin kelompok penduduk miskin yang belum ter-cover dalam skema JKN.
Sebagai penutup, Prof. Laksono Trisnantoro menyampaikan bahwa isu yang juga harus diperhatikan dalam penyelenggaraab JKN terakit dengan keadilan social adalah fenomena adverse selection. Fenomena subsidi terbalik ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di Vietnam. Vietnam juga mengalami fenomena subsidi terbalik antara daerah miskin dengan daerah kaya atau lebih dikenal dengan isu regional inequity. Oleh sebab itu, penggunaan kubus sistem pembiayaan kesehatan WHO saat ini harus hati-hati. Asumsi yang digunakan oleh Indonesia selama ini adalah sama rata (single pool). Padahal, pada kenyataannya Indonesia masih dihadapkan pada isu regional inequity. Jika hal ini tidak dipetakan, maka akan terjadi situasi yang menyesatkan. Dana PBI dikhawatirkan tidak akan terserap untuk penduduk yang berhak memanfaatkannya, misalnya dimanfaatkan oleh peserta dari regional 1 yang memilik akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih baik dibandingkan regional lain. Lebih lanjut mengenai isu regional inequity, asas portabilitas tidak serta merta mampu menyelesaikan kondisi ini. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah biaya untuk mengakses layanan kesehatan secara borderless tidak sedikit. Justru pasien yang mampu mengakses layanan ke luar daerah adalah mereka yang memiliki dana yang besar. Menghadapi hal ini, isu pemerataan harus menjadi bahan evaluasi. Pemerintah harus memastikan bahwa masyarakat miskin harus terlindungi. Pajak negara harus dialokasikan secara tepat.