WORKSHOP:
Strategi Penyusunan Agenda Kebijakan ke Berbagai Pihak Eksekutif dan Yudikatif: Apakah Akan Yudicial Review ataukah Legislative Review? Sesi 2
TOR
Pengantar
Pada 31 Maret 2017 telah dilaksanakan workshop sesi 1 tentang strategi penyusunan agenda kebijakan. Beberapa poin dijelaskan diantaranya yaitu untuk suatu isu dapat masuk dalam suatu kebijakan formal sangat dipengaruhi oleh para pengambil keputusan, memberikan gambaran prosedur untuk merubah peraturan perundang-undangan dan berbagai tantangan yang harus dihadapi dalam melakukan perubahan/perbaikan kebijakan sepertinya tingginya tekanan politik dalam pelaksanaan agenda kebijakan serta naskah akademik juga sangat menentukan keberhasilan dalam mengusulkan perubahan. Sehingga dibutuhkan strategi atau langkah taktis dalam strategi penyusunan agenda kebijakah, manakah yang lebih efektif? Apakah yuducial review ataukan legislative review?
Tujuan
- Membahas tentang tingkatan regulasi yang perlu direview
- Membahas tantangan dalam mengajukan perubahan/perbaikan kebijakan (politik hukum kesehatan)
- Membahas tentang langkah selanjutnya dalam strategi penyusunan agenda kebijakan
Peserta
- Anggota Community of Practice JKN dan Kesehatan
- Peneliti, praktisi, dan akademisi
Agenda
Diskusi ini akan diselenggarakan pada hari Rabu, 14 Juni 2017 ; pukul 12:30 – 14.30 WIB; bertempat di Ruang Leadership, Gedung IKM Lama lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Bapak/ Ibu/ Sdr yang tidak dapat hadir secara tatap muka dapat tetap mengikusi diskusi webinar melalui link registrasi berikut
https://attendee.gotowebinar.com/register/855011411088116994
Webinar ID: 872-748-035
Arsip diskusi bersama Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui website http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/ dan website http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/
Pemateri
- Rimawati, SH., M.Hum
- Shita Listyadewi, MM., MPP., PhD
Pembahas
- Asih Eka Putri (DJSN)
- P2JK Kemenkes
- BPJS Kesehatan Pusat
Susunan Acara
Waktu |
Materi |
Pemateri/Pembahas |
12.30 - 12.40 |
Pembukaan |
Moderator |
12.40 – 13.00 |
Sesi 1: Membahas tentang tingkatan regulasi yang perlu direview
|
Shita Listyadewi, MM., MPP., PhD |
13.00 – 13.20 |
Sesi 2: Membahas tantangan dalam mengajukan perubahan/perbaikan kebijakan (politik hukum kesehatan)
|
Rimawati, SH., M.Hum |
13.40 – 14.00 |
Sesi 4: Pembahasan & |
Pembahas Kanit Hukum, Komunikasi Publik, dan Kepatuhan BPJS Kesehatan Cabang Yogyakarta |
14.20 - 14.30 |
Penutup |
Moderator |
Reportase
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (PKMK FK UGM) pada hari Rabu, 14 Juni 2017, mengadakan sebuah worshop via webinar. Isu tentang masalah sistem pembiayaan dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi topik utama yang dibahas. Secara lebih khusus, ditambahkan pula kaitan dengan review terhadap regulasi terkait JKN yang masih memiliki pertanyaan apakah yang dibutuhkan adalah review pada level eksekutif ataukah legislatif.
Materi diawali dari pemaparan ibu Shita Listyadewi.,MM.,MPP.,PhD dari PKMK FK UGM, yang meyampaikan terkait aliran dana untuk sistem JKN ini bersumber dari banyak hal, tetapi dalam pengelolaannya masih banyak masalah yang ditemui. Salah satu isu menarik yang diangkat adalah aliran dana PBI yang dibiayai dari pemerintah banyak mengalami permasalahan dan terdapat mismatch dari sistem jaminan kesehatan nasional. Dari permasalahan ini, terdapat beberapa cara/alternatif solusi untuk dapat mengefektifkan sistem iuran baik dari PBI (dana pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah) ataupun iuran mandiri untuk yang Non PBI, yaitu dengan menetapkan paket dasar dan membatasi manfaat, mereview BPJS dengan kebijakan single pool, serta penggunaan batas atas. Hal lain yang perlu dipahami dalam hal ini adalah benefit package JKN yang besar hanya dapat dinikmati oleh mereka yang dapat mengakses fasilitas kesehatan dengan mudah. Berdasarkan hal ini, usulan yang diajukan adalah adanya paket dasar yang dapat dinikmati oleh semua peserta JKN. Kemudian, untuk review terhadap kebijakan single pool, lebih baik diterapkan untuk yang tidak mampu. Tetapi bagi masyarakat yang mampu, dapat keluar dari sistem BPJS Kesehatan dan mencari asuransi kesehatan lainnya. Atau, hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah BPJS Kesehatan perlu membuat adanya kelas standar yang berlaku untuk semua peserta JKN. Namun hal ini harus diimbangi dengan perhitungan aktual untuk besaran yang ditanggung dalam kelas BPJS Kesehatan. Yang diharapkan dari perbaikan sistem ini adalah menghilangkan ciri asuransi kesehatan komersial dari BPJS Kesehatan.
Opsi selanjutnya, sistem JKN ini bisa tetap single pool dan ada kelas-kelas peserta. Namun, untuk iuran kelas 1,2,3 itu harus dihitung betul, dan tidak boleh naik kelas sama sekali. Keuntungannya adalah, tetap single pool tetapi ada kompartemenisasi yang jelas. Uangnya jelas dikumpulkan kelas 1, 2, 3 sendiri-sendiri. Hal ini menjadi upaya pembatasan adanya aliran dana dari peserta PBI yang masuk dipakai oleh peserta Non PBI, dan tetap ada premi regional yang dibedakan dan diperhitungkan kembali.
Opsi terakhir adalah menggunakan batas atas untuk pelayanan kelas 1 dan 2, dan mengidentifikasi standar minumum package yang disediakan oleh BPJS Kesehatan. Sehingga jika yang dikeluarkan oleh peserta JKN adalah diatas batas, mereka harus membayar sendiri. Batas atas akan disesuaikan dengan kemampuan daerah dalam menyediakan pelayanan kesehatan. Bagi daerah yang kurang berkembang, dapat digunakan sistem kompensasi dari BPJS Kesehatan untuk membantu mencapai minimun package. Opsi ini sebenarnya memiliki nilai lebih karena dapat sekaligus membantu koordiasi pencegahan penyakit dan memotivasi pengendalian biaya pelayanan kesehatan di daerah masing-masing.
Masuk pada materi kedua, disampaikan oleh ibu Rimawati, SH.,M.Hum yang membahas tentang tingkatan regulasi yang perlu direview. Dalam presentasinya, beliau memaparkan bahwa revisi regulasi dapat dilakukan berdasarkan identifikasi permasalahan yang jelas. Identifikasi ini dapat dibantu melalui sistem monitoring dan evaluasi yang berkala. Jika ada pemasalahan pada regulasinya, apakah yang diperlukan adalah executive review, legislative review, atau yudicial review. Tentunya harus dipahami bahwa melalukan review regulasi ini adalah regulasi yang memang potensial untuk mengurangi masalah JKN. Di sisi lain, setiap lembaga memiliki kewenangan, juga untuk membuat suatu regulasi, termasuk untuk melakukan review terhadap regulasinya. Untuk legislative review mutlak ada di DPR. Sedangkan untuk executive review, ini bisa dilakukan setiap saat kalo dirasa produk regulasinya bertentangan dengan regulasi lain atau tidak efektif untuk mengatur lagi, seperti peraturan pemerintah, undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan peraturan daerah.
Berkenaan dari materi pertama, Ibu Rima memberikan contoh, misalnya ditemukan masalah pada batas atas rumah sakit. Hal ini disarankan untuk menggunakan global budget. Nantinya, semua pelayanan yang diluar dari apa yang sudah dibayarkan BPJS Kesehatan, maka rumah sakit harus melengkapi jumlah yang belum tercover. Hal ini diharapkan agar rumah sakit bisa membenahi manajemennya dalam mengelola dana dan pengeluarannya. Regulasi mana yang harus diubah, ini tergantung dari opsi mana yang mau diambil.
Terakhir, pemaparan dari Bapak Adrian Djaja, Kepala Hukum dan Kepatuhan, sebagai pembahas dari BPJS Kesehatan Yogyakarta, menyatakan bahwa komitmen JKN untuk mencapai cakupan semesta di tahun 2019 memang masih mengalami banyak kendala. Bahkan ada mismatch dana yang terjadi. Hal ini memerlukan penyelesaian masalah yang tidak hanya oleh BPJS Kesehatan namun perlu didukung “gaung” nya oleh kementerian/lembaga yang lain, dan juga dari pemerintah daerah. Proses penyesuaian sistem yang disampaikan dalam materi dirasa menjadi masukan yang sangat bermanfaat bagi BPJS Kesehatan.
Sebagai penutup, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini telah menjadi komitmen nasional yang tidak dapat pemerintah mundur. Pada dasarnya, sebuah keputusan memang sebaiknya dapat diputuskan melalui evidence based yang mumpuni. Sayangnya, program JKN ini dulu dirasa ditetapkan dengan evidence based yang masih kurang, sehingga dalam prosesnya masih banyak hal yang harus diselesaikan di setiap tahun berjalannya. Penyelesaian masalah ini pun harus secara sistemik. Perbaikan ini memerlukan integrasi dari semua pihak dan mengutamakan prinsip sustainability dan sebaiknya perbaikan sistem JKN ini perlu dilakukan oleh pihak yang independen agar lebih ada bukti secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes