Reportase PGF 2017

Plennary Session

Hari Pertama 20 Juli 2017
Thailand


 

Pembelajaran apa dari Thailand dan Malaysia dalam Kesinambungan Finansial untuk Universal Health Coverage?

Dr Wirat EungpoonsawatDr. Wirat Eungpoonsawat dari National Health Security Office Thailand memaparkan bagaimana sustainabilitas finansial dari penyelenggaraan UHC di Thailand. 

Berbicara tentang jaminan untuk masyarakat yang wajib diselenggarakan oleh negara, negara memiliki kewajiban untuk menjamin warganya, salah satunya dalam hal kesehatan. Memberikan jaminan kesehatan berarti memastikan masyarakat terjamin dalam hal akses pada kesehatan. 

Pengelolaan jaminan kesehatan di Thailand dipegang oleh NHSO, lembaga otonomi yang tidak berada di bawah kementerian kesehatan. Target dari NHSO di tahun 2021 yaitu mencapai compliance rate outpatient dan inpatient 80 dan 90%, kepuasan pasien lebih dari 90%, kepuasan provider mencapai 75%, serta meningkanya tingkat effective coverage. Dengan financing systems menargetkan total health expenditure di 2021 mencapai 4.6% - 5%, proporsi alokasi untuk sektor kesehatan terhadap total anggaran pemerintah 17-20%, turunnya pembiayaan untuk penyakit katastropik di bawah 2.3%, serta turunnya angka kemiskinan akibat permasalahan kesehatan di bawah 0.4%, meningkatnya pencapaian High Performance Organization  lebih dari 80%, dan indikator transparansi dan integritas lebih dari 90%. Satu hal yang menarik di Thailand yaitu proporsi alokasi anggaran untuk kesehatan terhadap GDP ‘hanya 4.6%, lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya tetapi out-of-pocket payment mencapai 11%; sementara negara lain dengan alokasi anggaran kesehatan 10% memiliki OOP lebih dari 30%. Dibandingkan dengan negara lainnya dengan proporsi alokasi anggaran untuk kesehatan yang lebih tinggi, angka kematian balita di Thailand terbilang relatif rendah. Ini mengindikasikan sistem pembiayaan kesehatan di Thailand cukup efisien dan efektif. Dalam hal cakupan, di Thailand saat ini terdapat 3 skema untuk jaminan kesehatan: UCS, SSS dan CSMBS dengan pencapaian coverage total 99.93% dan masing-masing: UCS 75%, SSS 16% dan CSMBS 7.5%. 

Namun demikian, dengan pencapaian yang baik ini, banyak tantangan yang mengancam sustainabilitas dari pelaksanaan UHC di Thailand, lanjut Wirat. Adanya disintegrasi dari skema jaminan yan berbeda-beda, ketidaksetaraan paket manfaat yang diterima peserta skema jaminan yang berbeda-beda, kualitas pelayanan yang masih senjang, serta belum tercapainya 100% cakupan. 

Terkait isu sustainabilitas, terdapat 5 masalah yang menjadi fokus di Thailand saat ini. Pertama terkait pengoptimalan pemanfaatan teknologi di bidang kesehatan serta obat-obatan. Saat ini di Thailand terdapat Health Interention and Technology Assessment Program (HITAP) serta National Drug Price Negotiation Committee yang memantau bagaimana biaya yang dikeluarkan untuk ketiga skema. Untuk merespon perubahan demografi dan epidemiology yang sangat pesat, pemerintah menaruh fokus pada promosi kesehatan dan upaya preventif, serta pemberdayaan masyarakat. Terkait amandemen undang-undang NHS, beberapa aspek yang ingin diperbaiki antara laing dengan melibatkan lebih banyak penyedia pelayanan kesehatan ke dalam board supervisor di tingkat nasional, mempertimbangkan pentingnya memasukkan seluruh populasi atau hanya penduduk Thai, serta perlu tidaknya memberlakukan co-payment untuk masing-masing pelayanan kesehatan. Saat ini Thailand mentargetkan dalam master plannya di tahun 2037 ketiga skema yang ada telah melebur untuk meningkatkan kesetaraan antar kelompok skema yang ada. 

Prof Syeh Mohamed EljunidProf Syeh Mohamed EljunidPembicara kedua, Prof. Syed Mohamed Eljunid dari Universiti Kebangsaan Malaysia, memaparkan pengalaman pembiayaan kesehatan di Malaysia. Di Malaysia terdapat 3 pilar kesehatan, yaitu pemerintah melalui kementerian kesehatan, kementerian pendidikan, kementerian pertahanan dan pemerintah lokal; lembaga swasta for-profit termasuk RS, apotek, klinik, perusahaan obat; serta swasta not-for-profit. Untuk mencapai Universal Health Coverage, lanjut Aljunid, memerlukan aspek-aspek meliputi teknologi, sistem informasi, SDM kesehatan, ketersediaan fasilitas kesehatan, kebijakan dan pemerintahan, serta dukungan politik. Beberapa tantangan untuk kesinambungan UHC yaitu meningkattnya NCD kronis serta semakin tingginya biaya untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan, ditambah dengan tetap tingginya penyakit infeksi yang bersifat emerging

Terkait kesinambungan finansial dari UHC, Eljunid menampilkan perbandingan antara negara maju dan berkembang, di mana di negara maju sumber pembiayaannya dari asuransi sosial, pajak, asuransi swasta, asuransi ketenagakerjaan serta compulsory savings, sementara untuk negara bekembang, sumber pembiayaannya hampir sama kecuali adanya pembiayaan berbasis masyarakat. Kelebihan dari sistem kesehatan di Malaysia yaitu kuatnya dukungan pada penyelenggaraan pelayanan kesehatan primer, adanya block funding dari pemerintah bersumber pajak, kebijakan kesehatan bersifat sentralistik dengan Kementerian Kesehatan sebagai aktor utama, serta adanya penguatan universitas sebagai lembaga peningkatan kapasitas SDM kesehatan. Pembiayaan kesehatan di Malaysia, 52% berasal dari pemerintah, dengan 60% di antaranya dari pajak langsung dan 40% dari GST. Sektor swasta berkontribusi 48% pada pembiayaan kesehatan, meliputi 39% out of pocket, asuransi swasta dan swasta lainnya 9%. Alokasi belanja kesehatan dari pemerintah mencapai 6.1%. Selain tingginya out-of-pocket, tantangan yang dihadapi Malaysia yaitu tingginya pengeluaran untuk penyakit katastropik, waktu tunggu yang lama di fasilitas milik pemerintah, keterbatasan stok obat-obatan di fasilitas pemerintah khususnya untuk obat penyakit kronis tidak menular, brain drain dokter spesialis ke sektor swasta sementara pendidikannya disubsidi oleh pemerintah, terlalu tingginya wastage obat, serta kurangnya monitoring untuk kualitas dan efisiensi. 

Sebetulnya reformasi di bidang pembiayaan kesehatan telah dilaksanakan 5 kali di Malaysia, yang terakhir adalah Hybrid Model di mana private insurance untuk masyarakat mampu dan top-up dari paket manfaat dasar, asuransi sosial untuk pekerja sektor formal dan informal, serta alokasi dari pajak untuk masyarakat miskin dan pengangguran. Sebagian dari pajak pun digunakan untuk pelayanan kesehatan preventif dan promosi kesehatan. Namun demikian model tersebut dianggap gagal, lanjut Eljunid. Mengapa gagal? Kontributor utamanya adalah kurangnya komitmen politik untuk memastikan reformasi berjalan sesuai tujuan, lemahnya kapasitas dari Kementerian Kesehatan dalam mereformasi, kurangnya transparansi dan konsultasi publik, korupsi, serta adanya group of interest tertentu dari penyelenggara asuransi swasta.

Apa yang dilakukan Malaysia saat ini yaitu merencanakan adanya non-profit health financial scheme berupa asuransi kesehatan sukarela (voluntary health insurance). Skema ini dilihat lebih akseptabel bagi masyarakat dibandingkan dengan skema private-for-profit, lebih mudah disusun daripada social health insurance, kebebasan lebih tinggi bagi para peserta, serta masih ada kemungkinan subsidi dari pemerintah.

Reportase lainnya

the-8th-indonesian-health-economist-association-inahea-biennial-scientific-meeting-bsm-2023The 8th Indonesian Health Economist Association (InaHEA) Biennial Scientific Meeting (BSM) 2023 25-27 Oktober 2023 InaHEA BSM kembali diadakan untuk...
gandeng-ugm-dinas-kesehatan-dan-keluarga-berencana-kabupaten-sampang-adakan-pendampingan-tata-kelola-program-kesehatan-di-kabupaten-sampang Kamis, 6 April 2023, Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Kabupaten Sampang bersama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM...
diseminasi-buku-petunjuk-pelaksanaan-layanan-hiv-aids-dan-infeksi-menular-seksual-ims-dalam-skema-jknReportase Diseminasi Buku Petunjuk Pelaksanaan Layanan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) dalam Skema JKN 22 Desember 2022 dr. Tri Juni...

pendaftaran-alert

regulasi-jkn copy

arsip-pjj-equity

Dana-Dana Kesehatan

pemerintah

swasta-masy

jamkes

*silahkan klik menu diatas

Policy Paper

Link Terkait

jamsosidthe-lancet