Utak-Atik Strategi Obati Defisit Keuangan BPJS Kesehatan

Utak-Atik Strategi Obati Defisit Keuangan BPJS Kesehatan

Jakarta, CNN Indonesia -- Persoalan defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi isu yang strategis untuk diangkat ke ranah nasional oleh para pasangan calon presiden dan wakil presiden di tengah masa kampanye Pemilihan Presiden 2019.

Kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kembali mempertegas janji 'surga' untuk mengobati keuangan BPJS Kesehatan dari 'penyakit' defisit yang kambuh setiap tahun. Hal itu akan dilakukan tentu jika memenangkan kontestasi politik Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Dalam momentum debat calon wakil presiden pada Minggu (17/3) malam lalu, Sandiaga bahkan dengan ringan mengatakan pihaknya mampu mengubah nasib kinerja keuangan BPJS Kesehatan hanya dalam kurun waktu 200 hari.

"Kami pastikan dalam 200 hari kerja akar permasalahan BPJS Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) selesai dan defisit ditutup," ucapnya dalam salah satu sesi debat.

Dalam berbagai kesempatan, kubu oposisi mengatakan ada beberapa opsi yang bakal ditempuh untuk mengobati masalah keuangan perusahaan peralihan PT Asuransi Kesehatan (Askes)
tersebut. Pertama, mengembalikan kekayaan negara yang bocor sampai Rp1.000 triliun. Dana tersebut akan dimasukkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang selanjutnya disuntikkan ke BPJS Kesehatan.

Kedua, menggenjot tingkat kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ketiga, mencari alokasi anggaran dari kementerian lain. Misalnya, saat ini alokasi anggaran BPJS Kesehatan masih bergantung pada Kementerian Kesehatan, maka nanti akan dibantu dengan anggaran pos lain, seperti Kementerian Sosial.

Secara garis besar, upaya mengatasi BPJS Kesehatan dari kubu Prabowo-Sandi lebih banyak bertumpu pada APBN. Hal ini sejatinya tak jauh berbeda dengan yang dilakukan calon presiden pertahana, Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa tahun terakhir.

Seperti diketahui, Jokowi selalu memberi alokasi anggaran untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang kesehatan itu. Mulai dari menggelontorkan Penyertaan Modal Negara (PMN), pembayaran talangan iuran bagi Peserta Bantuan Iuran (PBI), hingga menyuntikkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Semua itu sejatinya berasal dari APBN, seperti strategi yang juga dikeluarkan Prabowo-Sandi.

Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Akhmad Akbar Susamto menilai penggunaan APBN untuk menyelesaikan penyakit defisit BPJS Kesehatan memang sah-sah saja jadi solusi dalam jangka pendek. Bahkan, menurut dia, kalau tidak menggunakan APBN, BPJS Kesehatan bisa bangkrut.

"Masalahnya, beban klaim yang harus ditanggung berat, premi yang dibayar rendah sekali, manajemen investasi tidak jalan, cash flow terjepit, sehingga mau tidak mau harus mengandalkan APBN dan itu memang bisa," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.

Namun, penggunaan dana APBN seharusnya tidak menjadi satu-satunya tumpuan. Menurut Akhmad, BPJS Kesehatan sebagai perusahaan asuransi seharusnya mampu mengelola premi untuk diinvestasi. Dengan begitu, ada perputaran dana yang membuat perusahaan asuransi bisa bertahan pada bisnis ini.

BPJS Kesehatan sebagai perusahaan pelat merah diharapkan bisa menjalankan roda bisnis secara wajar. Ke depan, perlu ada strategi lain guna membenahi masalah keuangan perusahaan.

Selain itu, penggunaan dana APBN untuk BPJS Kesehatan harus benar-benar dipertanggungjawabkan seiring adanya audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Jangan sampai ada dugaan-dugaan tindakan kecurangan alias fraud dalam hal ini.

"Meski ini tidak jadi alasan bagi pemerintah untuk tidak berikan suntikan kepada BPJS. Tapi untuk hindari fraud, maka perlu juga dimasukkan pengawasan yang berhubungan dengan pasal-pasal korupsi untuk membentengi," katanya.

Senada, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai kubu oposisi tak bisa mengumbar janji mengatasi masalah defisit hanya dengan APBN. Sebab, ia tak yakin APBN akan cukup untuk terus menerus menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan.

Sekalipun, kubu Prabowo-Sandi memastikan bakal mengembalikan kekayaan negara yang bocor ke dalam APBN dan bisa digunakan untuk BPJS Kesehatan, namun Timboel menilai hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Faktanya, hal itu tak bisa dirasakan secara instan.

"APBN saja ada keterbatasan defisit hanya boleh 3 persen setiap tahunnya. Belum lagi, program pemerintah kan tidak hanya soal kesehatan, ada pendidikan, pembangunan, transfer ke daerah yang juga sama pentingnya," ungkapnya.

Selain itu, penggunaan uang negara perlu dipastikan manfaatnya. "Jangan sampai ada anggapan, pakai uang negara ini sama saja orang miskin memberi subsidi kepada orang kaya," katanya.

Strategi Alternatif

Akhmad mengatakan defisit keuangan BPJS Kesehatan mulanya harus ditutupi dengan menyuntikkan APBN, baik melalui iuran PBI maupun DBH CHT. Pada saat yang bersamaan, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan kenaikan iuran bagi peserta mandiri. Hal ini perlu dilakukan karena tidak ada kenaikan dalam dua tahun terakhir.

"Meski saya yakin, siapa pun pemimpinnya nanti, tidak akan berani menaikkan iuran dalam waktu dekat karena terlalu berat pertimbangan politis. Tapi cepat atau lambat ini harus dilakukan," jelasnya.

Kemudian, melakukan seleksi pada klaim-klaim yang bisa ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Sebab, bila dibandingkan dengan perusahaan asuransi lain, premi yang dibayarkan terlalu rendah, namun beban klaim yang ditanggung sangat berat.

Selanjutnya, dana yang terkumpul dan langkah pembayaran klaim yang lebih selektif akan membuat BPJS Kesehatan memiliki kelebihan dana yang bisa diinvestasikan. Dengan begitu, ada perputaran dana seperti pola bisnis yang biasa dijalankan perusahaan asuransi lain.

Sementara itu, Timboel menambahkan pengelolaan BPJS Kesehatan ke depan perlu pula mempertimbangkan kenaikan iuran kepesertaan, penanganan potensi fraud, perbaikan sistem rujukan, dan investasi oleh manajemen perusahaan.

Namun, tak kalah penting, perlu ada paksaan dan pengawasan kepada perusahaan-perusahaan di Tanah Air dan pemerintah daerah agar disiplin membayar iuran juga. "Minta pemda juga sisihkan APBD-nya, perusahaan juga agar mau bayar iuran kepesertaan pegawainya. Jadi semangatnya gotong royong, semuanya gerak," tegasnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menambahkan skema baru melalui penggunaan cukai hasil tembakau untuk menambal defisit keuangan BPJS Kesehatan perlu dipertahankan. Bahkan, kalau bisa diperluas dengan menghimpun pungutan cukai dari hal-hal lain yang merugikan kesehatan.

Misalnya, cukai kendaraan bermotor karena asap kendaraan merugikan kesehatan. Begitu pula dengan cukai pada minum berpemanis karena diabetes merupakan salah satu penyakit yang kerap diderita masyarakat Indonesia.


"Caranya dengan penerapan 'pajak dosa', ini sudah banyak diterapkan di banyak negara. Jadi jebolnya keuangan BPJS Kesehatan membuka peluang agar pemerintah lebih kreatif memperluas basis 'pajak dosa', tapi tentu harus dibicarakan baik-baik dengan pelaku industri," tuturnya. (lav)

Berita Tekait

Policy Paper