TEMPO.CO, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan per hari ini secara resmi menonaktifkan 5,2 juta peserta penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan. Langkah itu menindaklanjuti Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 79 Tahun 2019 tentang penonaktifan dan perubahan data peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan.
Staf Khusus Menteri Sosial Febri Hendri menyebutkan, penonaktifan tersebut sebagai imbas dari pemutakhiran data bersama pemerintah daerah yang berimplikasi pada pembaruan data terpadu fakir miskin dan orang tidak mampu. Dari 5,2 juta peserta yang namanya dicoret dari PBI, 114 ribu jiwa di antaranya tercatat telah meninggal dunia. Selain itu, mereka yang namanya dinonaktifkan dinyatakan sudah tidak berstatus fakir miskin dan masyarakat yang memiliki nomor induk kependudukan (NIK) ganda.
Adapun sisanya yang dinonaktifkan adalah mereka yang sejak 2014 tidak pernah mengakses layanan kesehatan ke fasilitas kesehatan (faskes) yang telah ditentukan. Saat ini seluruh jumlah peserta PBI sebanyak 96,8 juta jiwa atau setara dengan 36 persen penduduk Indonesia yang secara total berjumlah 264 juta jiwa.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Maaruf, menjelaskan, peserta nonaktif tidak akan lagi memperoleh jaminan pelayanan kesehatan secara otomatis. Namun, peserta tetap dapat dijaminkan kembali dengan mendaftarkan diri ke Dinas Sosial atau Dinas Kesehatan setempat. "Mereka nanti akan menjadi peserta PBI APBD yang iurannya dijaminkan oleh pemerintah daerah," ucapnya.
Bila peserta yang dinonaktifkan sebetulnya mampu membayar iuran BPJS Kesehatan, peserta dapat langsung mengalihkan jenis kepesertaannya ke segmen pekerja bukan penerima upah atau PBPU alias peserta mandiri. "Pilihan hak kelas rawat disesuaikan dengan pembayaran iuran," tuturnya.
Angka 5,2 juta peserta yang bakal otomatis dinonaktifkan BPJS Kesehatan bukan angka yang kecil. Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyebut jumlah peserta yang dicoret karena pembaruan data tahap keenam tersebut melonjak dibandingkan tahap-tahap sebelumnya.
Pada tahap pertama hingga kelima pembaruan data PBI saja masih banyak masyarakat yang belum tahu bahwa statusnya sebagai peserta PBI telah dinonaktifkan. "Sehingga sering kali ketika mereka memeriksakan diri ke rumah sakit, mereka marah-marah ke rumah sakit karena statusnya tidak aktif lagi. Apalagi sekarang yang jumlahnya mencapai jutaan orang,” kata Timboel, Rabu, 31 Juli 2019.
Kritik terhadap keputusan menonaktifkan kepersertaan BPJS Kesehatan juga disampaikan oleh Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi. Ia menilai pemerintah terlampau buru-buru mengambil keputusan karena tidak dibarengi dengan sosialiasi yang matang. Kebijakan ini juga disebut berisiko memangkas hak warga miskin.
Selain itu, Tulus memandang upaya pemerintah kali ini tidak cukup transparan. Pemerintah, dalam hal ini BPJS Kesehatan sebagai operator dinilai tidak berupaya menjelaskan informasi kepada masyarakat.
Sebab, penonaktifan 5,2 juta anggota PBI itu berdekatan dengan tenggat pemberlakuan kebijakan. Masyarakat pun tidak dilibatkan dalam memformulasikan penonaktifan kepesertaan tersebut. "Memang maksudnya bagus supaya tidak salah sasaran. Namun, dari sisi hak, anggota PBI (yang kepesertaannya dinonaktifkan) perlu waktu dan jeda," ujar Tulus.
Penonaktifan peserta BPJS Kesehatan merupakan salah satu langkah pemerintah untuk menekan defisit lembaga yang kini telah mencapai Rp 28 triliun tersebut. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut sedikitnya ada tiga strategi yang bisa dilakukan.