Gonjang-Ganjing Defisit dan Naiknya Iuran BPJS Kesehatan

Gonjang-Ganjing Defisit dan Naiknya Iuran BPJS KesehatanGonjang-Ganjing Defisit dan Naiknya Iuran BPJS Kesehatan

Jakarta - Keberadaan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang dibentuk atas perintah beberapa peraturan perundang-undangan, seperti UUD 1945, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Semua bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan BPJS Kesehatan harus sesuai dengan peraturan di atas lalu diawasi oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Munculnya gonjang ganjing defisit dan isu naiknya iuran BPJS Kesehatan tahun 2020 disebabkan karena tidak komunikatifnya regulator. Kebijakan apapun yang berujung pada kenaikan tarif/iuran, meskipun hanya Rp 1, selalu akan ditentang jika komunikasinya tidak ditangani dengan baik akan menghebohkan jagad. Kehebohan akan semakin parah ketika dimanfaatkan penunggang gelap atau free riders yang mempunyai agenda terselubung. Apalagi penguasa informasi publik saat ini adalah media sosial yang sering salah dan kurang lengkap mengartikan atau menjelaskan suatu kebijakan pemerintah ke publik.

Tarif atau iuran pelayanan publik harus ditetapkan sesuai dengan harga keekonomiannya bukan berdasarkan desakan publik dan atau desakan politik. Tarif yang tidak sesuai dengan nilai keekonomiannya akan menyebabkan penyedia jasa rugi dan bangkrut, kecuali pemerintah memberikan subsidi dan publik tertib beriur.

BPJS Kesehatan adalah program pelayanan dasar kesehatan yang dikelola secara gotong royong oleh negara dengan publik. Jika salah satu pihak tidak disiplin, maka pelayanan ini akan terganggu. Belum lagi banyak pihak melakukan penyalahgunaan demi keuntungan pribadi, mulai dari oknum sarana pelayanan kesehatan, oknum asuransi kesehatan, oknum tenaga kesehatan, oknum perusahaan farmasi, dan sebagainya. Akibatnya jebolah keuangan BPJS Kesehatan. Ketidakmampuan negara mengatur program pelayanan kesehatan, BPJS Kesehatan sebagai operator maju kena mundur kena.

Tarif BPJS

Saat ini jumlah total peserta BPJS Kesehatan adalah 223,347 juta orang. Jumlah Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari APBN jumlahnya sekitar 97 juta orang, PBI dari APBD jumlahnya sekitar 35 juta orang, Pekerja Penerima Upah (PPU) Penyelenggara Negara jumlahnya sekitar 17 juta orang, PPU swasta jumlahnya sekitar 34 juta orang, peserta mandiri jumlahnya sekitar 32 juta orang dan bukan pekerja seperti pensiunan, veteran dll jumlahnya sekitar 5 juta orang. Sebuah angka yang tidak kecil.

Untuk menetapkan tarif yang berkeekonomian harus dilakukan kajian oleh aktuaris. Sebagai contoh, pada 2016 nilai aktuaria iuran BPJS Kesehatan adalah Rp 36.000. Sementara pengenaan iuran BPJS Kesehatan PBI pada 2016 hanya Rp 25.500 (untuk kelas III Rp 25.500, Rp. 51.000 untuk kelas II, dan Rp 80.000 untuk kelas I per bulan per peserta). Jadi rugilah BPJS Kesehatan. Sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, iuran BPJS Kesehatan harus dievaluasi setiap 2 tahun. Namun hingga hari ini masih berlaku iuran PBI untuk 2016. Tarif baru akan berubah rencananya pada tahun 2020.

Dengan tarif politis bukan keekonomian, biaya operasional BPJS Kesehatan tidak akan pernah sehat. Apalagi ditambah dengan tidak disiplinnya peserta mandiri, pekerja dan pemberi upah membuat finansial BPJS Kesehatan bermasalah Kalau terus dipertahankan dengan kondisi defisit tersebut, lambat atau cepat BPJS Kesehatan akan bangkrut.

Kondisi BPJS kesehatan bertambah runyam ketika patut diduga muncul penyalahgunaan kewenangan di pelayanan dan tenaga kesehatan, sehingga terjadi fraud yang membuat BPJS Kesehatan semakin memburuk keuangannya. Bentuk fraud-nya bermacam-macam, misalnya pelayanan operasi katarak. Di mana rumah sakit (RS) melakukan pengobatan mata menggunakan laser yang mahal. Seharusnya RS melakukan operasi katarak biasa, tidak menggunakan laser. Penggunaan sinar laser untuk operasi katarak patut diduga supaya investasi pembelian alat laser cepat kembali. Begitu pula dengan kasus terapi fisioterapi yang berkepanjangan atau penempatan bayi sehat terpisah dengan ibu lalu dikenakan tagihan ganda. Dan sebagainya.

Terkait dengan rencana kenaikan tarif untuk kelas 1, 2 dan 3 memang dimaksudkan untuk menutup sebagian defisit anggaran berjalan BPJS Kesehatan, sehingga defisit tidak terus membesar. Usulan tim iuran pemerintah dan aktuaris, untuk iuran PBI 2020 adalah Rp 42.000. Lalu berapa tarif kelas 1, 2 dan 3?

Regulator mengusulkan iuran untuk Kelas I menjadi Rp 160.000, Kelas II menjadi Rp 110.000/bulan/peserta, dan Kelas III Rp 42.000/bulan/peserta. Namun DPR belum setuju iuran untuk Kelas III dinaikkan hingga BPJS Kesehatan melakukan pembersihan data (data cleansing) dan pembenahan lainnya. Jadi untuk sementara iuran Kelas III tetap Rp 25.500/bulan/peserta.

Langkah Pemerintah

Defisit atau utang BPJS Kesehatan kepada pelayanan dan petugas kesehatan akan semakin membengkak tidak terbendung karena tingginya biaya pelayanan kesehatan akibat tingginya pertumbuhan penduduk (KB gagal), buruknya kualitas udara karena polusi, maraknya penggunaan bahan tambahan pangan berbahaya, tingginya konsumsi gula-garam-lemak, dan meningkatnya jumlah perokok aktif.

Untuk menekan membengkaknya penggunaan dana BPJS Kesehatan ke depan; pertama, batasi jenis pelayanan yang ditangani oleh BPJS Kesehatan, antara lain BPJS Kesehatan tidak dapat digunakan untuk semua jenis penyakit. Lalu BPJS Kesehatan tidak berlaku bagi perokok atau perokok membayar iuran lebih mahal. Atau BPJS Kesehatan dapat menanggung pengobatan semua jenis penyakit, tetapi peserta harus membayar kelebihan biaya perawatannya seperti pada asuransi kesehatan swasta lainnya. Kecuali pemerintah mengalokasikan dana lebih besar ke BPJS Kesehatan. Atau ada perubahan komposisi yang dibayarkan PPU Penyelenggara Negara dan PPU Swasta, di mana persentase yang dibayarkan oleh pekerja diturunkan dan kewajiban PPU di naikkan.

Akhir kata, supaya nasib BPJS Kesehatan dapat beroperasi dengan lancar, pemerintah harus segera melunasi tunggakan BPJS selain menaikkan iuran karena kalau tidak tunggakan itu akan semakin besar dan BPJS Kesehatan bisa bangkrut. Selain itu peserta non PBI harus rajin beriur. Jika tidak akan ada sanksi, misalnya selama setahun tidak akan dilayani karena menunggak, dan sebagainya. Semua proses transaksi harus online untuk menghindari fraud. Upaya lain, Kementerian Kesehatan juga harus menganggarkan dana untuk program pencegahan penyakit tidak menular melalui program pencegahan yang terukur dan termonitor secara digital. Mari kita tunggu kebijakan iuran BPJS Kesehatan terbaru sebelum Januari 2020.

Berita Tekait

Policy Paper