Undang-Undang Dasar 1945 telah diamanatkan untuk memberikan perlindungan dan jaminan sosial kepada seluruh penduduk Indonesia, disebutkan dalam pasal 28H . Jaminan sosial yang dimaksud merupakan suatu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Dengan ditandatanganinya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pada tanggal 19 Oktober 2004 maka pemerintah Indonesia telah mencanangkan suatu sistem jaminan sosial di Indonesia (Thabrany, 2013).Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia memerlukan proses yang panjang karena baru terwujud setelah 10 (sepuluh) tahun sejak Undang- Undang tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional disahkan, tepatnya sejak 1 Januari 2014. Sebagai penyelenggara program Jaminan Kesehatan Nasional adalah sebuah pembayar tunggal, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Pada masa transisi 10 tahun sebelumnya, berbagai kebijakan pembiayaan dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun daerah, mulai dari program Askeskin sampai berubah menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) (Thabrany, 2013). Pelaksanaan program Jamkesmas tersebut merupakan upaya untuk menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini tentu saja belum dapat memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh masyarakat utamanya masyarakat miskin, maka dari itu disebutkan dalam pedoman pelaksanaannya bahwa apabila masih terdapat masyarakat miskin dan tidak mampu di luar data yang bersumber dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), maka jaminan kesehatannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Pemda) setempat (Kemenkes, 2012). Maka berkembanglah jaminan kesehatan daerah di berbagai provinsi di Indonesia untuk memberikan pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakatnya.
Berdasarkan Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang SJSN dan diterbitkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang BPJS dan peta jalan JKN tahun 2012-2019 telah kembali mengamanatkan bahwa setiap orang wajib menjadi peserta jaminan sosial di mana jaminan sosial yang dibentuk sebelumnya akan dilebur menjadi satu. Namun sampai saat ini belum ada peraturan pelaksana yang mengatur bagaimana langkah atau mekanisme skema Jamkesda untuk dapat berintegrasi ke dalam JKN. Sedangkan untuk mekanisme integrasi kepesertaan Jamkesda ditetapkan secara bertahap, yaitu peserta bukan penerima upah dapat mendaftar dengan besaran iuran jumlah nominal per keluarga yang diharapkan semuanya telah terdaftar pada akhir September 2019. Pemerintah dan atau pemerintah daerah dapat mensponsori keluarga pekerja bukan penerima upah untuk menjadi peserta dengan membayarkan iuran kepada BPJS. Pekerja penerima upah yang kini telah menikmati jaminan kesehatan melalui pemberi kerjanya atau membeli asuransi kesehatan komersial diberi kesempatan bermigrasi setiap waktu sampai dengan bulan September 2019 (Mundiharno & Thabrany, 2012) .
Pengalihan sistem Jamkesda ke JKN tentunya mempengaruhi perubahan sistem kesehatan yang ada di daerah. Mulai dari kebijakan, pembiayaan, sistem pembayaran, organisasi, hingga perilaku para provider maupun pengguna jaminan kesehatan dengan model JKN ini. Perubahan sistem menjadi tantangan baru baik bagi pemerintah, provider, maupun masyarakat pengguna jaminan sejak dimulainya pada tahun 2014. Sementara di setiap daerah juga memiliki kondisi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya dalam merespon kebijakan nasional ini. Sehingga dapat memunculkan berbagai fenomena atau dampak tersendiri di setiap daerah. Kelebihan dari Jaminan Kesehatan Nasional dibandingkan skema Jamkesda adalah paket pelayanan yang komprehensif sesuai dengan indikasi medis dan tanpa pembatasan dengan portabilitas di seluruh Indonesia. Pemanfaatan pelayanan kesehatan program Jamkesda dari tahun ke tahun pelaksanaannya terus mengalami peningkatan sejalan dengan perluasan paket manfaat JKN.
Pemerintah Pusat telah menetapkan bahwa pada tahun 2019, seluruh daerah di Indonesia akan menjalankan sistem Jaminan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage). Namun, dalam proses integrasi Jamkesda ke dalam JKN untuk mencapai jaminan kesehatan semesta tahun 2019 membutuhkan persiapan yang baik. Selain itu langkah dan strategi integrasi skema Jamkesda dan JKN yang dituangkan ke dalam sebuah kebijakan daerah dan pusat menjadi hal pokok sebelum tercapainya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk semua penduduk di Indonesia. Dengan mengetahui kesiapan dari pemerintah daerah dalam menjalankan integrasi akan menjadi masukan kepada pemerintah pusat dalam mengkaji kebijakan JKN sekaligus menyiapkan regulasinya. Strategi integrasi dan implementasi sistem JKN yang dierapkan oleh pemerintah daerah pun akan menjadi bahan pertimbangan dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan JKN di daerah utamanya di tingkat Provinsi.
Hingga tahun 2016 pengintegrasian Jamkesda ke JKN telah menunjukkan adanya peningkatan jumlah daerah yang telah melakukan integrasi Jamkesda. Meskipun demikian, roadmap JKN mengisyaratkan bahwa seharusnya integrasi Jamkesda telah selesai dilaksanakan di tahun 2016. Namun dari 514 kabupaten/kota yang memiliki Jamkesda, hanya sebanyak 342 atau sekitar 66% daerah yang mengintegrasikan sistem Jamkesdanya ke JKN (BPJS, 2016). Fakta ini menunjukkan kebutuhan pemerintah untuk mendorong segera sistem jaminan di daerah untuk segera melakukan integrasi ke JKN.
Dua Provinsi yang juga telah melakukan integrasi Jamkesda ke JKN adalah Provinsi Aceh dan Maluku Utara. Jamkesda di Aceh sendiri dinamakan Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA),di mana Kabupaten/kota yang telah bergabung dalam JKN sebanyak 23 kabupaten/kota. Sedangkan di Maluku Utara terdapat 7 dari 10 kabupaten/kota yang telah melakukan integrasi Jamkesda ke dalam sistem JKN. Sistem Jamkesda di Aceh (JKRA) pada dasarnya memiliki perbedaan bentuk dengan sistem Jamkesda yang ada di Maluku Utara. Jika di Aceh, sistem Jamkesda memiliki prinsip keadilan yang sama dengan pelayanan yang komprehensif sehingga semua masyarakat dari berbagai golongan dan seluruh jenis layanan telah digratiskan seluruhnya oleh pemerintah Aceh sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan dan Peraturan Gubernur Aceh No. 56 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Aceh. Sedangkan sistem Jamkeda di Maluku Utara memiliki model di mana pemerintah daerah masih menanggung 60% biaya peserta dan 40% ditanggung oleh pemerintah provinsi.
Kajian sistem JKN pasca integrasi Jamkesda ini, menjadi sangat penting karena akan melihat proses dan hasil dari integrasi ini sehingga akan menjadi masukan pertimbangan bagi perbaikan sistem JKN. Elemen yang menjadi sorotan dalam kajian ini adalah proses pelaksanaan integrasi Jamkesda ke JKN, dukungan regulasi dan keberlangsungan pembiayaan JKN di daerah serta dampak dari penerapan sistem JKN di Provinsi Aceh dan Maluku Utara. Elemen-elemen ini sangat penting didalami guna mendukung dan memperkuat sistem JKN yang dilaksanakan di Provinsi Aceh dan Maluku Utara, maupun di daerah lainnya