06 November 2023
The 8th Indonesian Health Economist Association (InaHEA) Biennial Scientific Meeting (BSM) 2023
25-27 Oktober 2023
InaHEA BSM kembali diadakan untuk kedelapan kalinya pada 2023. Tema yang diusung pada tahun ini adalah “Health System Transformation: Demographic Transition and Economic Challenges”. Kegiatan dilaksanakan di Universitas Indonesia (Depok) pada 25-27 Oktober 2023 dengan menghadirkan pembicara dari dalam dan luar negeri. Dengan lima sesi pleno dan pertemuan-pertemuan, InaHEA BSM 2023 merupakan wadah bagi para pembuat kebijakan, akademisi, masyarakat, serta pihak-pihak lain untuk berdiskusi seputar transformasi sistem kesehatan dalam menghadapi transisi demografi dan tantangan ekonomi.
Reportase ini mendokumentasikan berbagai pleno dan diskusi dalam InaHEA BSM ke-8 (tahun 2023).
Hari 1
Pidato Pembuka
Acara The 8th InaHEA BSM 2023 berlangsung di Auditorium Soeria Atmadja, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI). Acara dibuka dengan pidato dari Dr. Abdillah Ahsan, SE, MSE, ketua Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI). Ahsan menjelaskan bahwa InaHEA BSM diawali dengan kegiatan lokakarya pra-konferensi, dan acara utama InaHEA BSM selama tiga hari terdiri dari 5 sesi pleno, 4 sesi khusus, dan 1 kuliah umum tentang kebijakan cukai. Ahsan menutup pidatonya dengan harapan supaya InaHEA BSM bisa menghasilkan wawasan dan rekomendasi yang dapat mendukung transformasi sistem kesehatan di Indonesia.
Acara dilanjutkan dengan pidato dari Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH, ketua InaHEA. Thabrany menyampaikan bahwa bidang ekonomi kesehatan merupakan bidang yang multidisiplin dan relatif baru. Thabrany juga menekankan bahwa kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya faktor sosial dan ekonomi, sehingga diperlukan penguatan berbagai aspek pembangunan kesehatan di Indonesia demi mewujudkan sumber daya manusia yang produktif dan mendukung Indonesia Emas 2045.
Pidato selanjutnya disampaikan oleh Teguh Dartanto, SE, MSc. Ph.D yang merupakan dekan FEB UI. Dartanto menyatakan bahwa kegiatan InaHEA BSM merupakan kesempatan yang baik bagi semua yang terlibat untuk menyuarakan isu-isu kesehatan. Dartanto menekankan bahwa dengan adanya transisi demografi menuju ageing population, tantangan bonus demografi, serta double burden of disease, investasi di pendidikan dan kesehatan menjadi hal yang wajib dilakukan. Dartanto kemudian resmi membuka acara InaHEA BSM ke-8.
Gambar: Teguh Dartanto, SE, MSc. Ph.D menyampaikan pidato pembuka InaHEA BSM
Pidato Kunci
Acara dilanjutkan dengan pidato kunci perwakilan Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, The United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA), dan FEB UI.
Pidato kunci pertama dibawakan oleh Syarifah Liza Munira, SE., MPP., Ph.D, kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan tentang transformasi sistem kesehatan. Syarifah menekankan bahwa health is the biggest wealth. Kendati demikian, pendanaan kesehatan di Indonesia masih lebih banyak diarahkan pada upaya kuratif dibandingkan upaya promotif-preventif kesehatan. Pandemi COVID-19 merupakan pelajaran yang berharga tentang pentingnya kesiapan sistem kesehatan dalam berbagai pilar, dan hal ini mendorong Kementerian Kesehatan untuk melaksanakan transformasi sistem kesehatan.
Syarifah menjelaskan bahwa transformasi sistem kesehatan di Indonesia terdiri dari enam pilar, yakni transformasi layanan primer, transformasi layanan rujukan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, transformasi sumber daya manusia kesehatan, dan transformasi teknologi kesehatan. Melalui transformasi ini, pemerintah berharap terciptanya pemerataan akses ke pelayanan kesehatan yang berkualitas, serta terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif. Munira menutup pidatonya dengan harapan supaya InaHEA BSM dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk mendukung transformasi sistem kesehatan.
Gambar: Ibu Syarifah Liza Munira, SE., MPP., Ph.D
Pidato kunci selanjutnya dipaparkan oleh Ir. Isa Rachmatarwata, M.Math., Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (sebagai perwakilan dari Menteri Keuangan). Rachmatarwata menekankan tentang pentingnya transformasi sistem kesehatan untuk memitigasi risiko middle income trap. Salah satu hal kunci untuk mencapai tersebut adalah produktivitas. Pembangunan kesehatan merupakan salah satu faktor penting untuk membangun masyarakat yang produktif. Dengan adanya transformasi kesehatan, diharapkan morbiditas menurun, tingkat mortalitas menurun, dan angka harapan hidup dapat meningkat.
Senada dengan paparan Syarifah, Rachmatarwata mengatakan bahwa pandemi COVID-19 telah memberikan pelajaran bahwa sistem kesehatan masih perlu diperkuat. Pandemi menunjukkan bahwa rasio tenaga medis belum memadai dan merata, serta pasokan farmasi dan alat kesehatan di Indonesia pun masih bergantung pada negara lain. Transformasi sistem kesehatan sangat penting untuk mewujudkan pembangunan sumber daya manusia yang sehat dan menjamin inklusivitas pembangunan kesehatan.
Menanggapi Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang baru saja disahkan pada bulan Agustus 2023, Rachmatarwata menjelaskan bahwa salah satu perubahan mendasar dari UU tersebut adalah reformasi pembiayaan kesehatan. Dengan dihapuskannya mandatory spending, diharapkan pemerintah tetap berkomitmen terhadap pembangunan kesehatan karena penganggaran akan dibuat berbasis output alih-alih input. Rachmatarwata juga mengatakan bahwa Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) dapat menjadi perangkat untuk meningkatkan sinkronisasi target pembangunan kesehatan antara pemerintah pusat dan daerah. Rachmatarwata menutup paparannya dengan penekanan bahwa kesehatan adalah hak dasar manusia, sehingga sistem kesehatan yang efisien dan reliabel menjadi hal yang penting.
Gambar: Ir. Isa Rachmatarwata, M.Math.
Selanjutnya, pidato kunci disampaikan oleh Timothy Miller dari UNDESA. Miller menjelaskan tentang transisi demografi di Indonesia serta proyeksinya hingga tahun 2100. Seperti juga di banyak negara lain, laju kelahiran di Indonesia diproyeksikan akan mengalami penurunan. Usia tua juga diprediksi akan menjadi kelompok demografi yang terbesar. Pengeluaran untuk pelayanan kesehatan akan meningkat seiring pertambahan usia. Miller juga menunjukkan bahwa persentase health spending terhadap gross domestic product (GDP) di Indonesia terus meningkat.
Gambar: paparan Timothy Miller secara online
Pidato kunci terakhir disampaikan oleh Prof. Aris Ananta, guru besar FEB UI. Ananta membawakan pidato berjudul “Economics of Population Ageing and Health”. Ananta memaparkan beberapa “ketakutan” terkait dengan ageing population, yang meliputi penurunan produktivitas dan peningkatan state budget. Ananta menunjukkan bahwa konsep “produktif” perlu dikritisi dan dipertanyakan. Produktivitas sejatinya tidak hanya bisa menurun pada populasi yang tua, tetapi juga pada populasi yang muda. Sementara itu, terkait dengan state budget, skema pensiun di Indonesia adalah berasal dari pemotongan upah, sehingga pensiun seharusnya bukan menjadi beban negara. Namun, kekhawatiran selanjutnya adalah bahwa pengeluaran kesehatan terkait dengan usia tua dapat meningkat.
Ananta menutup paparannya dengan penjelasan bahwa healthy ageing terdiri dari 3 pilar, yakni kesehatan, partisipasi dalam kegiatan sosial-ekonomi dan kebudayaan, serta proteksi/keamanan. Ananta menekankan bahwa healthy ageing menjadi hal yang sangat penting dalam transisi menuju ageing population supaya masyarakat yang berusia tua juga mengembangkan dan mempertahankan kemampuan fungsionalnya serta terjamin kesejahteraannya.
Gambar: Prof. Aris Ananta
Pleno 1
Gambar: Pleno 1
Sesi pleno pertama mengambil tema “Advancing Health Technology Assessment (HTA) in Shaping Technology-Related Policies for Ageing and Productive Population”. Sesi ini dimoderasi oleh Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD yang merupakan Ketua Indonesian HTA Committee. Disajikan dengan format talkshow, sesi ini menghadirkan sejumlah pembicara, yakni dr. Yuli Farianti, M.Epid. (Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan/Pusjak-PDK Kementerian Kesehatan), dr. Rena (BPJS Kesehatan), dan Arry Lesmana Putra (Country Coordinator, USAID MTaPS).
Sesi pleno pertama dibuka dengan penjelasan dari Hidayat selaku moderator bahwa HTA dapat membantu menjawab pertanyaan “Apakah teknologi di pasar perlu diadopsi dan dijamin oleh Jaminan Kesehatan Nasional?” Hidayat juga menjelaskan tentang proses bisnis HTA, yang dimulai dari pemilihan topik untuk bahan kajian, pelaksanaan kajian untuk memberikan evidence dari aspek efficacy, safety, cost-effectiveness, dan affordability, serta appraisal terhadap kajian. HTA dilakukan oleh para agen yang merupakan akademisi universitas atau peneliti.
Sesi dilanjutkan dengan penjelasan dari Farianti bahwa HTA adalah bagian yang sangat penting dalam strategi JKN. Farianti menekankan bahwa pelaksanaan HTA di Indonesia dapat ditingkatkan melalui perbaikan proses bisnis, penggunaan berbagai macam metode (rapid review, adaptive HTA, dan pooled HTA) untuk memungkinkan proses kajian yang lebih cepat, serta pelibatan industri sebagai pihak yang mengusulkan obat atau alat kesehatan (berikut data farmakologi dan farmakoekonominya) untuk diproses dalam HTA.
Selanjutnya, Rena memaparkan bahwa HTA sangat penting dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan untuk meningkatkan mutu layanan. Sebagai contoh, HTA mampu menunjukkan obat-obat yang efektif maupun tidak efektif. Hasil HTA dijadikan dasar untuk memilih obat-obat yang dimasukkan dalam sistem JKN.
Sebagai pembicara terakhir dari sesi pleno pertama, Arry menjelaskan bahwa MTaPS merupakan program yang didukung oleh USAID dan bertujuan untuk mendukung HTA. MTaPS sudah menginjak tahun keduanya. MTaPS berupaya untuk mengenalkan metode-metode HTA yang mutakhir serta menggunakan real world data guna penguatan pelaksanaan HTA di Indonesia.
Sesi pleno pertama dilanjutkan dengan tanya-jawab dengan peserta di lokasi maupun peserta yang hadir secara online. Sesi tersebut memunculkan diskusi tentang output HTA, refleksi mengenai HTA di luar kerangka BPJS Kesehatan, pelibatan berbagai macam pihak dalam proses HTA, dan peningkatan literasi pemangku kepentingan tentang HTA. Sesi pleno pertama ditutup dengan kesimpulan bahwa HTA memberikan kesimbangan informasi antara supplier dan pembuat kebijakan supaya proses adopsi teknologi menjadi cost-effective.
Pleno 2
Gambar: Pleno 2 (Prof Mardiati)
Gambar: Pleno 2 (dr Nandyan Wilastonegoro)
Sesi pleno kedua pada 25 Oktober 2023 mengusung tema “Burden of Dengue in Indonesia”. Sesi pleno ini dimoderasi oleh dr. Rizki Tsalatshita Khair Mahardya, yang merupakan peneliti di Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KP-MAK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM). Sesi ini menghadirkan dr. Asik Surya, M.P.P.M. (Ketua Tim Kerja Arbovirosis Kementerian Kesehatan), Prof. Dr. drg. Mardiati Nadjib, M.Sc. (guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia/FKM UI), dan dr. Nandyan N. Wilastonegoro, M.Sc.I.H (deputy director CFHC-IPE Program, FK-KMK UGM).
Paparan dari Surya mengawali sesi pleno kedua dengan menjelaskan epidemiologi demam berdarah dengue (DBD). Tren kasus DBD di Indonesia cenderung fluktuatif. Pada 2022, sebanyak 143.176 kasus DBD tercatat, sedangkan pada tahun 2023 di minggu ke-40, tercatat 62.241 kasus DBD. Dari tren sementara ini, diduga jumlah kasus DBD pada 2023 akan lebih sedikit dibandingkan kasus DBD pada 2022. Surya menjelaskan bahwa semua populasi berisiko tertular DBD, namun risiko terbesar adalah pada populasi di bawah 14 tahun. Surya juga mengatakan bahwa persentase kematian akibat dengue terbesar adalah pada usia 5-14 tahun. Hal ini mendorong Kementerian Kesehatan untuk terus berkomitmen melawan dengue.
Sesi dilanjutkan dengan paparan dari Wilastonegoro. Wilastonegoro menyatakan bahwa gejala dengue bisa sangat bervariasi, mulai dari sangat ringan hingga parah. Adapun outcome dari dengue dapat berupa kesembuhan, morbiditas, atau kematian. Beberapa pasien yang sembuh juga mengalami persistent phase yang ditunjukkan dengan penurunan kapasitas dalam melakukan pekerjaan dan kondisi ini dapat berlangsung selama berminggu-minggu. Sebagai bahan untuk diskusi, Wilastonegoro mengatakan bahwa estimasi beban dengue sangat diperlukan dan beban ini perlu dibandingkan dengan beban penyakit lain. Selain itu, karena pendanaan pengatasan dengue bergantung pada dana domestik, perlu ada prioritas kota/kabupaten intervensi berdasarkan kapasitas fiskal. Wilastonegoro menutup pemaparannya dengan penekanan bahwa penanggulangan dengue memerlukan kolaborasi interprofesional dan lintas sektor.
Pembicara terakhir dari sesi pleno kedua, yakni Nadjib, mempresentasikan studi tentang cost of illness dari dengue. Studi dilakukan menggunakan data agregat kasus dengue dan data biaya di fasilitas kesehatan. Dengan menghitung estimasi kasus dengue dan biaya jatuh sakit akibat dengue, studi ini melakukan analisis agregat biaya jatuh sakit akibat dengue. Salah satu kesulitan yang dialami dalam proses studi ini adalah underreporting kasus-kasus dengue, sehingga peneliti melakukan koreksi dengan delphi panel. Studi ini menunjukkan beban ekonomi yang besar akibat dengue, dan merekomendasikan perbaikan sistem pencatatan kasus, pencegahan vektor kontrol, serta pengembangan vaksin.
Sesi pleno kedua ditutup dengan tanya-jawab. Salah satu bahasan yang timbul dalam diskusi adalah pentingnya mengetahui lokus-lokus hotspot demam berdarah dengan pendataan yang baik.
Sesi Khusus 1
Gambar: Sesi khusus 1
Sesi khusus 1 pada 25 Oktober 2023 mengambil tema “How is Indonesia’s Health Financing in the Future after Health Act No. 17/2023”. Sesi ini dimoderasi oleh dr. Ahmad Fuady, MSc, PhD yang merupakan dosen dan peneliti di Departemen Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran UI. Pembicara dalam sesi khusus 1 terdiri atas Dr Kurniasih Mufidayanti (Wakil Ketua Komisi IX DPR RI), Bondan Wicaksono Adhi (Kementerian Kesehatan), Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH (Chief of Party USAID Health Financing Activity/HFA), Emily Myers dan Lalu Lian Hari Wangi dari USAID CHISU, Risty Restia (Head of Tribe Health Financing Digital Transformation Office [DTO] Kementerian Kesehatan), dan Daryl Martyris (Deputy Director USAID Indonesia Health Office).
Sesi khusus 1 dibuka dengan penjelasan dari Mufidayanti bahwa proses pembahasan bab pendanaan di UU no. 17 tahun 2023 merupakan proses yang panjang dan berliku. Karena pembahasan RUU dilakukan dengan metode clustering, seluruh muatan materi terkait pendanaan dikumpulkan dalam satu kluster. Masukan-masukan diperoleh dari berbagai elemen, seperti masyarakat, akademisi, dan Kementerian Keuangan. Dengan disahkanya UU Nomor 17 Tahun 2023, Mufidayanti berharap bahwa regulator, ahli kesehatan, sektor swasta, dan penyedia layanan kesehatan dapat terlibat untuk memastikan penerapan transformasi kesehatan yang efektif di masa mendatang.
Sesi dilanjutkan dengan paparan dari Adhi mengenai permasalahan mandatory spending dan pengenalan RIBK. Selama ini, kepatuhan terhadap mandatory spending sudah cukup baik, namun jika ditelaah lebih jauh, banyak belanja kesehatan yang sebetulnya merupakan belanja infrastruktur. Oleh karena itu, RIBK dihadirkan sebagai bentuk penganggaran kesehatan yang berbasis output, lebih fleksibel, dan lebih inklusif. RIBK dapat menjadi jembatan untuk sinkronisasi rencana pembangunan kesehatan di pusat dan daerah. RIBK akan diatur dalam Peraturan Presiden dan diharapkan dapat diakses oleh masyarakat, badan usaha, dan pihak swasta.
Sesi dilanjutkan oleh paparan dari Thabrany. Thabrany menyatakan bahwa pendanaan sangat penting untuk mencapai output kesehatan yang baik. Selama dua puluh tahun terakhir, capaian indikator Universal Health Coverage (UHC) Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Sistem informasi yang reliabel sangat dibutuhkan agar upaya pendanaan menjadi lebih strategis dan efektif. Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan (SIPK) dirancang untuk membantu pemerintah merumuskan kebijakan pendanaan kesehatan dengan menyediakan informasi tentang sumber-sumber pendanaan serta tingkatan pengeluaran.
Melanjutkan paparan dari Thabrany, Myers dan Wangi memberikan paparan tentang peran USAID CHISU di Indonesia. CHISU berfokus pada perancangan sistem informasi dan pemanfaatan data. Di Indonesia, CHISU bekerja sama dengan DTO dan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan. CHISU mempelajari praktik-praktik baik terkait sistem informasi kesehatan dari negara lain dan mengadopsinya dalam konteks Indonesia. Wangi menjelaskan bahwa salah satu aspek penting yang menjadi perhatian CHISU adalah standardisasi sistem serta data security yang menjadi salah satu bahasan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023.
Selanjutnya, Restia memberikan penjelasan tentang peran SIPK dalam menjawab tantangan belanja kesehatan. Menurut Restia, database yang memadai dapat membantu proses perumusan kebijakan. SIPK berupaya untuk mengumpulkan data pembiayaan kesehatan dalam satu sumber. Target pengembangan SIPK adalah mengumpulkan semua data belanja kesehatan, termasuk dari Puskesmas, fasilitas kesehatan tingkat primer swasta, dan rumah sakit. SIPK dapat mengarahkan pembuatan keputusan pembangunan kesehatan di tingkat nasional, provinsi, serta kabupaten/kota. SIPK juga dapat membantu produksi National Health Account (NHA), Provincial Health Account (PHA), dan District Health Account (DHA) dengan lebih mudah. SIPK juga berfungsi sebagai informasi publik dan data-data SIPK berpotensi untuk dimanfaatkan oleh Kementerian Kesehatan dan peneliti dalam melakukan analisis kebijakan pembiayaan.
Sebagai pembicara terakhir dari sesi khusus 1, Martyris memberikan pemaparan tentang program-program kesehatan USAID di Indonesia. Program kesehatan USAID berlokasi di enam provinsi di Indonesia. USAID juga telah mendukung Pusjak-PDK Kementerian Kesehatan dalam mengkaji tarif COVID-19 dan tarif JKN. Dukungan lain yang diberikan oleh USAID adalah peningkatan kapasitas dalam hal public financial management (PFM) kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, serta memperkuat digitalisasi kesehatan melalui CHISU. Martyris mengatakan bahwa USAID akan melanjutkan dukungan-dukungan tersebut untuk memperkuat pembangunan kesehatan di Indonesia.
Sesi khusus 1 dilanjutkan dengan tanya-jawab dengan peserta di lokasi maupun peserta yang hadir secara online. Dalam sesi diskusi, muncul bahasan tentang roadmap RIBK, masalah infrastruktur dalam penguatan sistem informasi kesehatan, serta pentingnya standardisasi untuk meminimasi double counting. Sesi khusus 1 ditutup dengan pesan dari para pemapar terkait pentingnya dukungan sektor pemerintah dan non-pemerintah terhadap penguatan sistem informasi kesehatan dan terhadap penerapan RIBK.
Reporter: Mentari Widiastuti (Divisi Public Health, PKMK UGM)
Hari 2
Hari Kedua
Kamis, 26 Oktober 2023
Sesi Khusus 2
Sesi khusus 2 pada 26 Oktober 2023 mengambil tema “Beyond Economics: Patient Involvement in Decision-Making Process to Address Patient Burden”. Sesi ini dimoderasi oleh Dr. dr. Hervita Diatri, Sp.KJ(K) yang merupakan dokter pengampu klinis di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI). Sesi ini menghadirkan tiga pembicara, yakni dr. Siti Khalimah, Sp.KJ, MARS (RSUP Dr. M. Hoesin Palembang), Bagus Utomo, S.S. (ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia/KPSI), dan Allison Beauvais Keetley (Johnson & Johnson SEA Market Access and Access Policy Head).
Pembicara pertama, Khalimah, menjelaskan tentang pentingnya transformasi kesehatan jiwa di Indonesia. Saat ini, anggaran kesehatan jiwa di semua negara mengalami keterbatasan, termasuk di Indonesia. Terlebih lagi, di Indonesia 70% anggaran kesehatan jiwa adalah untuk pelayanan kuratif di rumah sakit jiwa. Kurangnya dukungan pada layanan di luar rumah sakit jiwa diduga berkontribusi pada angka relaps yang tinggi.
Untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC), semua pasien kesehatan jiwa perlu mendapatkan layanan yang mereka butuhkan, penghargaan hak-hak dasar, pemberdayaan untuk kemandirian, dan intervensi berdasarkan siklus hidup dan berbasis bukti. Transformasi kesehatan jiwa bertujuan untuk mengarahkan layanan kepada pemulihan dan oleh karenanya membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan tata kelola yang efektif. Fokus utama transformasi adalah beralih ke pencegahan dan promosi kesehatan melalui keterlibatan komunitas. Penyelenggaraan layanan yang berorientasi pada pemulihan bertujuan pada peningkatan kualitas hidup pasien, dengan menempatkan mereka di dalam komunitas sebagai tempat tinggal yang ideal. Layanan spesifik dapat diakses melalui Puskesmas atau fasilitas kesehatan rujukan. Pengawasan klinis sangat penting, bahkan dalam konteks komunitas, dan harus didasarkan pada bukti ilmiah. Perlindungan hak asasi manusia juga merupakan hal yang penting, dan upaya untuk mencapai standardisasi nasional perlu dikedepankan.
Khalimah menekankan bahwa keterlibatan pengguna layanan kesehatan mental merupakan hal yang penting. Pasien berhak mengetahui informasi yang berkaitan dengan terapi mereka. Kualitas perawatan dan hasil klinis yang terukur juga menjadi prioritas. Prinsip-prinsip tata kelola medis harus diterapkan dengan berkolaborasi antara tenaga kesehatan dan manajemen. Layanan harus berfokus pada pasien, transparansi, partisipasi seluruh staf, dan keberlanjutan. Layanan berorientasi pada pemulihan perlu menciptakan inklusi sosial, mendorong kemandirian, kolaborasi, fokus pada kekuatan individu, holistik, dan personalisasi, serta melibatkan keluarga, pasien, dan masyarakat. Kompetensi staf, termasuk dukungan rekan sebaya, perlu ditingkatkan untuk memberikan harapan kepada pasien. Khalimah menutup paparannya dengan pesan bahwa transformasi pelayanan kesehatan jiwa memerlukan komitmen bersama dari individu, komunitas, dan pemerintah, dengan menciptakan lingkungan yang mendukung dan melindungi kesehatan mental, serta mengintegrasikan pelayanan kesehatan jiwa ke dalam spektrum yang utuh untuk mencapai peningkatan kesehatan mental yang lebih baik bagi semua.
Gambar: dr. Siti Khalimah
Pembicara kedua, Utomo menjelaskan bahwa akses ke perawatan medis bagi pasien skizofrenia seringkali terhambat oleh berbagai hal, termasuk masalah transportasi dan biaya yang tinggi, keterbatasan waktu, kendala finansial, stigma, serta ketersediaan obat yang kurang memadai. Penting untuk memastikan bahwa hak-hak pengobatan pasien skizofrenia dipenuhi, dan investasi diperlukan karena pasien ini memiliki potensi produktif yang besar jika mendapatkan perawatan yang tepat. Menurut Utomo, pasien dapat berkontribusi dalam berbagai sektor pekerjaan dan negara perlu berkomitmen memberikan peluang usaha dan pekerjaan. Adopsi teknologi medis seperti brain scanning dan ketersediaan obat suntik dan tetes dapat meningkatkan kualitas perawatan. Untuk mencapai tujuan ini, Utomo menekankan bahwa negara perlu bersikap adil dalam mendukung penyediaan layanan kesehatan mental, mengingat gangguan jiwa menyebabkan penderitaan yang signifikan. Utomo menutup paparannya dengan harapan agar upaya-upaya perbaikan layanan kesehatan jiwa dapat tersebut memperbaiki wajah sektor kesehatan jiwa di Indonesia.
Gambar: Bagus Utomo
Acara dilanjutkan dengan paparan dari Keetley tentang studi yang dilakukan berkaitan dengan praktik pelibatan pasien dalam pengobatan di negara Asia-Pasifik. Studi yang dilakukan dengan tinjauan literatur sistematis tersebut bertujuan untuk menganalisis bagaimana payer mengumpulkan perspektif dari pasien, memahami proses yang mendukung inklusi sistematis dalam kerangka penggantian biaya, dan memberikan rekomendasi untuk meningkatkan masukan pasien di Asia-Pasifik.
Untuk mengevaluasi patient centricity, studi yang dipaparkan Keetley menggunakan rubrik National Health Countil untuk menilai pelibatan masukan pasien secara bermakna dalam sistem perawatan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan fokus yang semakin meningkat pada perspektif pasien di berbagai sistem kesehatan di Asia-Pasifik, terutama di negara dengan sistem yang lebih established seperti Australia. Temuan lainnya menekankan transparansi dan upaya penjelasan dalam pengambilan keputusan. Praktik baik yang diidentifikasi mencakup pembentukan perwakilan pasien sebagai mitra dalam pengambilan keputusan pembiayaan, pelibatan masukan pasien secara sistematis dan tepat waktu, pelatihan untuk memastikan perwakilan pasien dilengkapi keterampilan untuk berbicara mewakili populasi pasien yang relevan, pemberian umpan balik yang terstruktur untuk memfasilitasi masukan yang bermakna, dan transparansi pelibatan masukan pasien dalam keputusan pembiayaan. Rekomendasi studi mencakup mengembangkan proses transparan untuk mengumpulkan masukan pasien secara sistematis, mempertimbangkan perspektif masyarakat yang lebih luas, memberikan panduan kepada para pengambil keputusan tentang pelibatan masukan pasien, dan menilai dampak keterlibatan pasien pada inovasi perawatan kesehatan
Gambar: Allison Keetley
Setelah paparan dari ketiga pembicara, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Dalam sesi ini, muncul bahasan-bahasan tentang perlunya perubahan pola pikir agar pengalaman pasien tidak dianggap sekadar “penunjang”, serta usulan keterlibatan kementerian/badan pemerintah lain (seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas) agar kesehatan jiwa dapat menjadi salah satu agenda rencana pembangunan nasional. Acara ditutup dengan pesan tentang tiga aspek yang dapat mendukung pasien dengan gangguan kesehatan jiwa, yakni people (memberikan dukungan sosial), place (menyediakan lingkungan yang mendukung), dan productivity (meningkatkan kesempatan bagi pasien agar dapat berdaya dengan cara apa pun, termasuk meningkatkan akses pada kegiatan ekonomi).
Pleno 3
Gambar: Sesi pleno 3
Sesi pleno 3 mengambil tema “Advancing Nutrition Solutions: Bridging Health and Economics in Low- and Middle-income Countries (LMICs)”. Sesi ini dimoderasi oleh Dr. Abdillah Ahsan, SE, MSE yang merupakan Kepala Lembaga Demografi (LD) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI. Sesi ini menghadirkan dua pembicara, yakni Dr.dr.Nur Aisiyah. W, Sp.A(K) (Konsultan Pediatri dan Dosen Nutrisi Anak dan Penyakit Metabolik Rumah Sakit Dr Soetomo) dan Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH yang merupakan ketua InaHEA.
Sebagai pembicara pertama, Aisiyah menjelaskan bahwa stunting adalah kondisi kronis dan bagian dari masalah malnutrisi. Pasien yang mengalami stunting yang tidak tertangani berisiko mengalami obesitas serta sindrom metabolik. Stunting memiliki terapi nutrisi khusus, tetapi efektivitas terapi ini perlu dievaluasi lebih lanjut. Pencegahan stunting penting, dan idealnya tingkat stunting di suatu negara harus di bawah 20%. Faktor-faktor penyebab stunting termasuk nutrisi ibu yang buruk, infeksi pada anak-anak, dan pola makan anak yang tidak sesuai. Stunting dapat berdampak negatif pada perkembangan fisik dan kognitif anak, produktivitas, dan bahkan menyebabkan kematian dini. Aisiyah juga menjelaskan adanya regulasi terkait terapi nutrisi untuk stunting, namun terapi nutrisi tersebut belum tersedia secara merata dan belum termasuk dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain itu, meskipun pengadaan PKMK dapat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau dukungan corporate social responsibility (CSR), implementasinya dapat bervariasi di berbagai daerah.
Acara dilanjutkan dengan tanggapan dari Thabrany. Thabrany mengatakan bahwa dalam dua dekade terakhir, rata-rata skor intelligence quotient (IQ) penduduk Indonesia menempati peringkat 40-70 secara global. Tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah dalam merumuskan kebijakan yang bukan hanya terbatas pada bidang kesehatan. Thabrany menyatakan bahwa asesmen berbagai opsi kebijakan yang dapat memberikan insentif untuk memberi subsidi kepada keluarga yang berpotensi memiliki anak stunting agar mereka tidak mengalami kondisi tersebut diperlukan. Menurut Thabrany, permasalahan ini merupakan tantangan jangka panjang yang memerlukan solusi yang cermat dan berkelanjutan.
Acara dilanjutkan dengan sesi diskusi yang memunculkan gagasan-gagasan tentang memasukkan PKMK dalam skema BPJS Kesehatan serta kaitan antara rokok dan stunting. Acara ditutup dengan kesimpulan tentang perlunya kebijakan dan intervensi fiskal, misalnya cukai gula, garam, lemak, yang dapat mendukung pemberian PKMK bagi anak-anak stunting.
Sesi Khusus 3
Gambar: Sesi khusus 3
Sesi khusus 3 mengusung tema “Health Economic Studies in CEDS Universitas Padjajaran Throughout a Decade: Some Lessons Learned”. Sesi ini dimoderasi oleh Dr Adiatma Yudistira Manogar Siregar, S.E., ME.const. (Kepala Center for Economics and Development Studies [CEDS]). Tiga pembicara dalam sesi ini adalah Riki Relaksana, S.E., M.Si (peneliti CEDS), Donny Hardiawan, S.E., M.E (peneliti CEDS), dan Dr. Deni Kurniadi Sunjaya, dr, DESS (FK Universitas Padjajaran) (online).
Sebagai pembicara pertama, Relaksana memaparkan tentang salah satu studi CEDS terkait manfaat ekonomi dari menyusui. Berdasarkan paparan Relaksana, menyusui secara eksklusif di Indonesia memiliki manfaat ganda, yaitu mengurangi risiko kesehatan dan melindungi risiko kehilangan kemampuan kognitif, dengan potensi nilai ekonomi sekitar 18 triliun rupiah per tahun. Kendati demikian, terdapat empat tantangan umum dalam praktik pemberian ASI, seperti promosi susu formula yang kuat, kurangnya kebijakan perlindungan laktasi (misalnya dengan penyediaan ruang laktasi), budaya setempat yang mungkin menghambat pemberian ASI, dan pertimbangan pendapatan yang berkurang akibat menyusui.
Dalam paparannya, Relaksana menekankan pentingnya investasi dalam fasilitas yang mendukung perempuan untuk menyusui, seperti ruang menyusui yang dilengkapi dengan AC dan lemari pendingin. Selain itu, pemberian cuti melahirkan juga perlu dipertimbangkan, baik di sektor formal maupun informal. Kendati cuti melahirkan dapat menimbulkan biaya, biaya tersebut masih jauh lebih murah dibandingkan dengan potensi kerugian akibat hilangnya kemampuan kognitif yang mencapai 18 triliun rupiah per tahun. Relaksana menutup presentasinya dengan mengajak audiens merenungkan bahwa tidak menyusui secara eksklusif dapat memberikan kerugian ekonomi yang besar. Oleh karenanya, investasi untuk mendukung perempuan menyusui merupakan hal yang penting demi mencegah dampak sosial-ekonomi yang lebih besar akibat tidak memberikan ASI.
Acara dilanjutkan dengan paparan dari Hardiawan, yakni studi yang dilakukan CEDS tentang HIV Pre-exposure prophylaxis (PrEP). Studi yang dipaparkan Hardiawan bertujuan untuk menghitung besaran biaya ekonomi terkait dengan perluasan Program PrEP jika Kementerian Kesehatan berencana mengimplementasikannya di seluruh wilayah. Penelitian ini dilakukan melalui analisis mikro biaya (microcosting) dari fasilitas kesehatan dan pasien yang terlibat. Hasil studi menunjukkan bahwa biaya personel merupakan komponen biaya terbesar. Studi ini juga mengidentifikasi bahwa sumber dana terbesar terkait PrEP berasal dari biaya tidak langsung yang dibayar secara mandiri (sekitar 35%), diikuti oleh kontribusi Puskesmas/Klinik (32%), dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota (21%). Studi ini juga menemukan rata-rata biaya per tahun per klien PrEP, termasuk lima kali uji coba dan biaya obat, sebesar Rp 3.984.556. Biaya ini masih lebih rendah dibandingkan dengan pengobatan antiretroviral (ARV), yang mencapai Rp 9.327.000 per tahun per klien. Studi ini menyimpulkan bahwa PrEP tidak menggantikan intervensi lainnya untuk HIV, namun bagi individu yang memiliki risiko tinggi terhadap HIV, PrEP lebih ekonomis dibandingkan dengan pengobatan ARV.
Selanjutnya, sebagai pembicara terakhir dari Sesi Khusus 3, Sunjaya memberikan paparan secara online tentang kajian Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer (secara formal disingkat ILP) yang dilakukan oleh CEDS di Kabupaten Garut. CEDS merupakan salah satu anggota dari konsorsium ILP, dimana konsorsium ini bertujuan untuk mendukung transformasi pelayanan kesehatan primer di empat kabupaten pilot di Indonesia. Salah satu yang menjadi perhatian dari ILP adalah bagaimana pemerintah desa dapat memberikan insentif kepada kader kesehatan untuk menjalankan tugas mereka. Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut guna penguatan pelayanan kesehatan primer yang menyeluruh. Dalam menerjemahkan kebijakan transformasi pelayanan kesehatan primer, diperlukan peraturan turunan yang harus segera disusun. Proses perubahan memerlukan manajemen perubahan yang seringkali terabaikan. Sunjaya juga mengatakan perlunya pelatihan intensif untuk implementasi di tingkat terbawah, serta pendampingan dari Dinas Kesehatan kabupaten/kota untuk melibatkan banyak pemangku kepentingan. Sunjaya menutup paparannya dengan menekankan pentingnya monitoring dan evaluasi yang seksama untuk mengukur pencapaian serta meningkatkan kesiapan berbagai pihak untuk terlibat dalam perubahan.
Kuliah umum
Gambar: Kuliah umum
Sesi kuliah umum InaHEA mengambil tema “Kebijakan Cukai Hasil Tembakau”. Sesi ini dimoderasi oleh Dr. Abdillah Ahsan, SE, MSE yang merupakan Kepala Lembaga Demografi (LD) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI. Kuliah umum ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Sarno (Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan), Iyan Rubiyanto (Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai), serta Bondan Wicaksono Adhi (Kementerian Kesehatan).
Sarno membuka kuliah umum dengan menjelaskan dasar-dasar kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia. Menurut paparan Sarno, cukai dapat dilakukan dengan dua cara, yakni pembayaran dan pelekatan pita cukai. Pita cukai menjadi salah satu metode pembayaran cukai bagi perusahaan. Pertimbangan kebijakan dalam cukai hasil tembakau mencakup aspek pendekatan konsumsi, keberlanjutan tenaga kerja, penerimaan negara, serta pengawasan rokok ilegal. Di Indonesia, meskipun tarif cukai naik setiap tahun, prevalensi merokok tetap tinggi, terutama di kalangan laki-laki dewasa, dengan angka di atas 70%, yang menjadikannya tertinggi kedua di dunia. Tarif cukai dan harga dasar berfungsi sebagai instrumen kebijakan cukai hasil tembakau, namun kenaikan tarif cukai ternyata tidak selalu mengakibatkan kenaikan harga eceran. Reformasi kebijakan cukai hasil tembakau juga melibatkan alokasi dana yang sebagian digunakan untuk mendukung pekerja tembakau yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam dua tahun terakhir, alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau telah mengalami peningkatan dari 2% menjadi 3%. Sekitar 40% dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau digunakan untuk kesehatan, walaupun persentase ini tidak bersifat rigid dan dapat meningkat jika diperlukan. Paparan ditutup dengan komitmen Kementerian Keuangan dalam isu kesehatan melalui kebijakan fiskal, khususnya dalam penyesuaian tarif cukai hasil tembakau setiap tahun. Namun demikian, kolaborasi dengan kebijakan nonfiskal, seperti regulasi iklan dan promosi, juga menjadi hal yang sangat penting.
Paparan selanjutnya dibawakan oleh Rubiyanto mengenai “Implementasi Administrasi dan Penegakan Hukum Kebijakan Cukai di Indonesia”. Rubiyanto mengawali paparannya dengan penjelasan bahwa beberapa tujuan cukai meliputi pengendalian konsumsi, pengawasan peredaran, pengatasan eksternalitas, dan pencapaian keadilan. Salah satu mispersepsi yang kerap beredar adalah bahwa cukai merupakan instrumen untuk meningkatkan penerimaan negara. Proses administrasi bea cukai saat ini telah beralih ke sistem daring menggunakan sistem informasi dan layanan elektronik. Pengunjungan ke kantor cukai hanya diperlukan untuk pengambilan pita cukai, sementara pelayanan tatap muka tetap tersedia untuk memberikan akselerasi dalam pelayanan. Proses bisnis cukai hasil tembakau mengadopsi pendekatan end-to-end, mencakup perizinan, produksi, hingga pengembalian, yang memudahkan pengambilan data dan memberikan gambaran yang lebih komprehensif. Di Indonesia, terdapat beragam produsen hasil tembakau, baik yang kecil maupun besar, mencerminkan keragaman industri dalam negeri. Untuk memastikan pengawasan cukai hasil tembakau yang efektif, digunakan strategi lintas unit yang melibatkan unit pelayanan, unit kehumasan, kerja sama dengan pemerintah daerah, dan unit kepatuhan internal.
Materi selanjutnya dibawakan oleh Adhi, yakni mengenai “Beban Penyakit Tidak Menular (PTM) dan Peran Kebijakan Cukai sebagai Pengendalian”. Adhi membuka paparannya dengan menggambarkan bahwa 73% jumlah kematian di Indonesia disebabkan oleh PTM dan persentase ini lebih tinggi dari rata-rata negara di Asia Tenggara, yakni 60%. Merokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar dari PTM. Selain itu, biaya penyakit yang disebabkan oleh konsumsi rokok mencapai tiga kali lipat lebih tinggi dari penerimaan cukai negara. Kebijakan cukai di Indonesia telah mengalokasikan 40% pendapatan cukai untuk sektor kesehatan. Meskipun tarif cukai terus meningkat dan alokasi untuk kesehatan terus ditingkatkan, prevalensi merokok belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama lintas sektor, seperti kampanye antirokok dan pembatasan iklan rokok, untuk mencapai penurunan yang lebih nyata dalam persentase merokok anak-anak dan dewasa.
Pleno 4
Gambar: Sesi Pleno 4
Sesi pleno 4 mengambil tema “Improving Patient Access to Fundamental Services through Innovative Technology in the National Health Insurance (JKN) Era.” Moderator dalam sesi ini adalah Prof.dr.Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH yang merupakan ketua InaHEA dan Chief of Party USAID Health Financing Activity (HFA). Sesi ini menghadirkan empat pembicara, yakni dr. A. Fauzi Yahya, SpJP(K), FIHA (ketua Indonesian Society of Interventional Cardiology/ISIC), Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc.,PhD. (staf khusus Menteri bidang Ketahanan [Resiliency] Industri Obat dan Alat Kesehatan), Lusiana Siti Masyitoh(Ketua Tim Kerja Kebijakan Health Technology Assesment, Pusjak-PDK Kementerian Kesehatan), dan Rezki Meidayanti (Wakil Sekretaris Jenderal II, GAKESLAB Indonesia dan anggota Indonesia Centre of Excellence APACMed).
Pembicara pertama dari Sesi Pleno 4, Yahya, memberikan paparan dengan judul “Role of intracoronary imaging in percutaneous coronary intervention”. Yahya membuka dengan pernyataan bahwa prevalensi penyakit kronis yang tinggi berpotensi menyebabkan krisis sistem kesehatan. Peningkatan angka kasus penyakit kronis dapat terjadi karena overdiagnosis, overtreatment, dan low value care (pelayanan kesehatan yang tidak sesuai kebutuhan atau tidak dengan cara yang tepat). Untuk mewujudkan pelayanan kardiovaskuler berkualitas yang memberikan manfaat medis jangka panjang, diperlukan prosedur yang tepat berdasarkan pedoman dan bukti ilmiah, serta audit yang memungkinkan untuk menilai dampak pelayanan kesehatan masyarakat. Audit pemerintah diperlukan untuk mengawasi tindakan medis guna memastikan kualitas pelayanan serta meminimalisasi risiko kejadian klinis yang buruk. Selain alat-alat yang memadai, juga diperlukan sistem yang mendorong para tenaga kesehatan, termasuk dokter, untuk mengoptimalkan kemampuan mereka. Upaya yang lebih terarah dalam diagnosis dan penanganan yang tepat akan meningkatkan efektivitas perawatan pasien.
Sesi dilanjutkan dengan pembahasan dari Trisnantoro yang bertajuk “Policy Strategy for Innovative Technology Funding to Support Health System Reform”. Trisnantoro membuka pembahasannya dengan pertanyaan mendasar: Untuk siapa inovasi kesehatan seharusnya ditujukan? Apakah inovasi ini hanya tersedia bagi mereka yang mampu secara finansial? Menurut Trisnantoro, belanja publik dalam sektor kesehatan di Indonesia telah mengalami peningkatan, sementara kontribusi sektor swasta menurun. Trisnantoro menggarisbawahi stagnansi dalam alokasi anggaran kesehatan sebagai bagian dari gross domestic product (GDP) selama 10 tahun terakhir sebagai isu kunci. Kendati sempat terjadi kenaikan selama masa pandemi COVID-19, persentase tersebut kini kembali menurun. Stagnansi ini berdampak pada industri kesehatan, terutama insentif bagi tenaga kesehatan yang menjadi rendah. Trisnantoro menekankan pentingnya peningkatan porsi anggaran kesehatan dalam GDP. Terkait inovasi, teknologi kesehatan harus berasal dari kolaborasi antara pemerintah dan pasar, tetapi perlu mempertimbangkan aspek keadilan dalam manfaatnya. Kebijakan yang ada saat ini membagi sistem kesehatan menjadi tier BPJS Kesehatan (BPJSK) dan non-BPJSK, di mana inovasi mungkin akan lebih sulit di tier BPJSK karena pelaksanaan BPJSK menekankan pada efisiensi. Health Technology Assessment (HTA) memiliki fokus di tier BPJSK dan berperan penting dalam menentukan apa yang dapat dimasukkan dan dikeluarkan dari sistem BPJSK. Namun, inovasi komersial juga dapat menjadi bagian dari sistem BPJSK, seperti yang telah terjadi di Australia, di mana inovasi komersial awalnya diterapkan dan kemudian diintegrasikan ke dalam program asuransi kesehatan nasional.
Paparan selanjutnya disampaikan oleh Masyitoh dengan judul “Importance of Value Assessment in Health Technology for Funding Efficiency and Ensuring the Improvement on Patient Access (Sharing of Best Practice)”. Menurut paparah Masyitoh, HTA memiliki banyak aspek yang perlu dipertimbangkan. HTA mengkaji berbagai jenis teknologi, termasuk obat, alat kesehatan, prosedur terapi, prosedur diagnostik, dan intervensi kesehatan masyarakat, dengan mempertimbangkan manfaat yang diberikan serta sumber daya yang dikeluarkan. Hasil HTA dapat digunakan untuk meningkatkan alokasi pembiayaan, mendukung keberlanjutan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), serta meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat. Saat ini, Tim Kerja Kebijakan HTA di Pusjak-PDK Kementerian Kesehatan tengah memperkuat proses bisnisnya, agar setiap tahapan dapat berjalan secara sistematis, transparan, dan efisien. Evaluasi teknologi inovatif merupakan bagian penting, termasuk pertimbangan mengenai keberadaan cara baru, peningkatan hasil, serta dampak biaya. Contoh konkret yang memperlihatkan dampak HTA adalah evaluasi terhadap sildenafil dalam kasus hipertensi arteri pulmonal, di mana hasil HTA mengakibatkan inklusi sildenafil dalam Formularium Nasional sebagai terapi resmi dan meningkatkan akses pasien pada pengobatan ini. Komitmen Tim Kerja Kebijakan HTA PusJak-PDK Kementerian Kesehatan adalah untuk meningkatkan kajian teknologi inovatif dengan tiga subkomponen utama, yaitu obat, alat kesehatan, dan inovasi kesehatan masyarakat. Penyediaan data yang memadai juga menjadi hal kunci dalam memudahkan pelaksanaan kajian HTA. Pusjak-PDK berencana untuk mencantumkan program-program HTA yang dikelola oleh PusJak-PDK melalui website agar dapat diakses oleh khalayak banyak. Masyitoh menutup paparannya dengan memberikan pesan tentang pentingnya identifikasi teknologi inovatif yang melibatkan para praktisi di garis depan dalam mengidentifikasi kebutuhan teknologi, dan pengusulan teknologi tersebut untuk dikaji melalui proses HTA.
Sebagai pembicara terakhir dari Sesi Pleno 4, Meidayanti memberikan paparan berjudul “Exploring the Cost Effectiveness of Innovative Medical Technologies and Potentials of Conducting HTA to Support JKN”. Menurut paparan Meidayanti, agenda transformasi sistem kesehatan menitikberatkan pada revitalisasi struktur. Dari anggaran transformasi sistem kesehatan sebesar 31 triliun rupiah, sebagian besarnya digunakan untuk pembelian alat kesehatan. Alat kesehatan bukan hanya perangkat pendukung, tetapi juga berperan dalam pencegahan, diagnosis, pengobatan, pemulihan, dan terapi. Inovasi dalam alat kesehatan dapat mencakup perangkat sederhana (seperti kondom) hingga teknologi canggih (seperti ultrasonografi/USG). Namun, penelitian terkait alat kesehatan adalah hal yang kompleks. Alat kesehatan sulit diuji coba secara klinis (dengan randomized controlled trial/RCT) karena alat kesehatan bersifat mekanikal. Meidayanti melanjutkan bahwa HTA di Indonesia masih berada dalam tahap awal. Oleh karena itu, studi-studi ekonomi kesehatan harus memiliki kualitas tinggi dan standar yang baik untuk dapat diimplementasikan dengan baik dalam proses HTA. Meidayanti juga menyarankan untuk mengembangkan kerangka penilaian yang sesuai dengan tujuan (fit for purpose) untuk alat kesehatan. Selain itu, HTA tidak seharusnya menjadi satu-satunya fokus, melainkan juga pemerataan akses. Meidayanti menutup pemaparannya dengan rekomendasi perlunya kebijakan dan panduan untuk melaksanakan studi evaluasi ekonomi secara efektif di Indonesia.
Reporter: Mentari Widiatstuti (PKMK UGM)
Hari 3
Hari ke-3
Jumat, 27 Oktober 2023
Pleno 5
Gambar: Pleno 5
Sesi pleno 5 pada 27 Oktober 2023 mengambil tema “Building an Equitable and Quality-Centric Healthcare System through Indonesia's National Health Insurance (JKN) program”. Sesi ini dimoderasi oleh Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD yang merupakan guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI). Sesi ini menghadirkan empat pembicara, yakni Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD, AAK (Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan [BPJSK]), Asrul Akmal Shafie, PhD (Guru Besar Bidang Farmakoekonomi, School of Pharmaceutical Sciences, Universiti Sains Malaysia), Prof. Dr. drg. Mardiati Nadjib, M.Sc. (guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia/FKM UI), dan Dr. Jan Priebe (team leader health economics, Bernhard Nocht Institute for Tropical Medicine).
Sesi dibuka dengan paparan dari Mukti yang berjudul “Addressing the Inequality of JKN Utilization in Indonesia: Challenges and Solutions”. Mukti menjelaskan bahwa BPJSK merupakan salah satu lembaga penjaminan kesehatan terbesar dan dengan perkembangan tercepat di dunia. Program Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelolanya telah mencapai hampir 95% dari total populasi Indonesia, yaitu sekitar 262 juta penduduk. Lebih dari 3.000 fasilitas kesehatan telah bekerja sama dengan BPJS, di mana 64% di antaranya adalah fasilitas swasta. Utilisasi JKN juga mengalami peningkatan signifikan dengan rata-rata jumlah utilisasi 1,4 juta pemakaian per hari. Demografi pengguna JKN mencakup lebih banyak perempuan serta dari kelompok usia 0-5 tahun. Terdapat juga peningkatan penggunaan JKN untuk penyakit tidak menular, terutama penyakit jantung dan kanker. Mukti menambahkan bahwa BPJSK mencatat sekitar 23 juta kasus pengeluaran katastropik, dengan biaya terbesar pada penyakit jantung. Meskipun BPJSK berfokus pada sisi permintaan (demand), BPJSK mengakui pentingnya perbaikan sisi supply, terutama kualitas pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
Mukti menjelaskan bahwa BPJSK saat ini tengah melakukan transformasi untuk meningkatkan mutu pelayanannya, misalnya dengan penggunaan formulir elektronik untuk mempercepat proses administrasi. Selain itu, upaya untuk mencegah diskriminasi dalam pemberian pelayanan juga sedang diperkuat. Mukti menutup paparannya dengan menggarisbawahi bahwa BPJSK terus melakukan transformasi untuk memperbaiki pelayanannya, mengingat utilisasi dan jumlah kepesertaan yang turut meningkat. Upaya BPJSK telah mendapatkan pengakuan, salah satunya melalui penghargaan International Social Security Association (ISSA) Good Practice Award atas kontribusi BPJSK dalam bidang jaminan sosial.
Pembicara kedua dalam sesi ini adalah Shafie, dengan paparan berjudul “Learning from Malaysia: Utilizing Health Technology & Cost-Effectiveness of Innovative Medicine (Heart Failure)”. Shafie membuka paparannya dengan penjelasan tentang beban kematian gagal jantung yang terus meningkat. Penyakit jantung koroner (ischaemic heart disease/IHD) dan stroke merupakan penyebab utama penyakit kardiovaskular di Asia, meskipun polanya berbeda antara negara-negara. Di Indonesia, contohnya, stroke menjadi penyebab kematian yang lebih dominan daripada IHD, sementara di Malaysia, hal yang sebaliknya terjadi. Secara umum, kejadian gagal jantung di berbagai negara meningkat, terutama terkait oleh populasi yang menua.
Salah satu studi yang dipaparkan Shafie menemukan bahwa sebagian besar biaya terkait dengan gagal jantung ditemukan pada pasien yang rawat inap. Selain itu, biaya yang besar juga ditemukan pada pasien dengan gagal jantung ringan karena banyaknya pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi. Kemudian untuk mengendalikan biaya gagal jantung, pengelolaan faktor risiko dan penggunaan perawatan inovatif dan berkualitas adalah hal yang penting. Salah satu faktor risiko signifikan yang perlu dikelola adalah diabetes. Terkait dengan penggunaan perawatan inovatif, perlu dilakukan prioritisasi berdasarkan budget impact analysis dan analisis cost effectiveness. Shafie menutup paparannya dengan memberi contoh penggunaan empagliflozin sebagai obat anti-diabetes yang terbukti memberikan manfaat tambahan di luar obat anti-diabetes konvensional setelah dikaji dengan metode-metode ekonomi kesehatan.
Pembicara ketiga adalah Nadjib yang memaparkan tentang “Challenges in selecting technology: Effectiveness versus Equity”. Menurut Nadjib, menyeimbangkan antara efisiensi dan keadilan dalam penyediaan layanan kesehatan sering menimbulkan dilema. Kedua aspek ini memiliki pertimbangan khusus. Tujuan utama dalam sektor kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan, sambil memastikan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengaksesnya. Namun, ada banyak agenda kesehatan yang perlu dicapai, dan efisiensi serta partisipasi juga menjadi kunci.
Menurut Nadjib, efisiensi berkaitan dengan menjaga agar layanan yang dijamin memiliki nilai yang sebanding dengan biayanya. Sementara itu, keadilan (equity) adalah menekankan pada pemerataan akses layanan kesehatan tanpa memandang lokasi geografis. Ketika berbicara tentang program kesehatan di luar JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), seperti vaksin dan obat-obatan yang memiliki dampak eksternal tinggi, efisiensi menjadi isu serius. Nadjib menambahkan ada berbagai metode untuk mewujudkan keseimbangan antara aspek efisiensi dan keadilan, misalnya dengan extended Cost-Benefit Analysis (CBA). Nadjib menutup paparannya dengan memberi contoh bahwa dalam dalam konteks imunisasi, kelompok kerja ekonomi kesehatan The Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) telah mencoba menyusun pedoman yang memungkinkan penilaian ekonomi dalam pengambilan keputusan untuk program imunisasi yang diujicobakan dengan dukungan World Health Organization (WHO).
Paparan terakhir dalam Sesi Pleno 5 disampaikan oleh Priebe, dengan judul “Revolutionizing health care delivery: strategies for building an effective support”. Menurut Priebe, mempertimbangkan pola pikir masyarakat/pengguna layanan kesehatan adalah hal yang sangat penting dalam perawatan pencegahan (preventive care). Dalam konteks kesehatan, perencanaan hingga pelaksanaan seringkali dihadapkan pada dinamika yang berubah-ubah, menyebabkan adanya perbedaan besar antara rencana dan kenyataan, yang kadang melibatkan faktor manusia. Oleh karena itu, penelitian implementasi (implementation research/IR) dan eksperimen mengenai strategi terbaik menjadi sangat penting. Keberhasilan dalam IR melibatkan sikap yang terbuka terhadap eksperimen dan kemampuan untuk mengakui kegagalan, peningkatan akses data bagi staf dan peneliti, serta struktur pengujian yang ketat. Selain itu, pelaksanaan IR memerlukan keahlian interdisipliner, keahlian analisis data, dan keahlian dalam ilmu sosial. Priebe juga mengingatkan bahwa IR merupakan bidang yang relatif baru dalam ekonomi kesehatan, sehingga masih ada banyak ruang yang tersisa untuk berkembang dan bereksplorasi dalam bidang ini.
Acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab yang memunculkan bahasan-bahasan seperti tantangan menyeimbangkan efisiensi dan keadilan di tengah keterbatasan infrastruktur dan sumber daya, desentralisasi kesehatan, dan potensi analisis equity dengan data-data utilisasi yang dimiliki BPJSK. Sesi Pleno 5 ditutup dengan kesimpulan bahwa riset-riset ekonomi kesehatan perlu bergerak juga ke arah equity untuk menyetarakan akses ke pelayanan kesehatan bagi semua orang dari berbagai latar belakang.
Sesi khusus 4
Gambar: Sesi Khusus 4
Sesi khusus 4 mengambil tema “Building Healthcare Resilience in Indonesia: A Collaborative Way Forward”. Sesi ini dimoderasi oleh Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH yang merupakan ketua InaHEA. Sesi ini menghadirkan empat pembicara, yakni Doni Arianto (Direktorat Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan), Yani Setiasih, S.Kep., Ners., M.Kes. (ketua Ikatan Perawat Anak Indonesia/IPANI Provinsi Jawa Barat), Dr Vibhav Garg (chairperson, India Center of Excellence [CoE] at APACMed [Asia Pacific Medical Technology Association]), dan Tri Oetami (Vice Chairwoman Lovepink Indonesia)
Thabrany selaku moderator membuka dengan pernyataan bahwa pada masa ini, sekitar 95% alat kesehatan dan obat di Indonesia diimpor dari luar negeri. Jika semua barang diimpor tanpa hambatan, industri dalam negeri mungkin kesulitan bersaing, sementara teknologi adalah komponen kunci dalam layanan kesehatan. Namun, memaksakan produksi seluruhnya berasal dari sumber-sumber domestik juga dapat membahayakan pasien karena kualitas dan ketersediaan mungkin dapat terganggu. Oleh karena itu, melalui sesi ini, Thabrany mengajak peserta untuk belajar dari berbagai pihak dan mempertimbangkan perspektif dari negara lain (dalam hal ini India) yang mampu memenuhi pasokan obat dan alat kesehatan secara domestik.
Pembicara pertama, yakni Setiasih dari IPANI, menyoroti permasalahan pengadaan alat-alat kesehatan yang penting dalam memberikan asuhan terbaik kepada bayi baru lahir (neonatus). Dalam konteks peralatan dan kebijakan saat ini, Setiasih mengakui perlunya perbaikan dari segi ketersediaan dan kualitas alat kesehatan. Setiasih menyoroti bahwa kualitas alat kesehatan adalah hal yang tidak boleh dikompromikan karena berkaitan dengan keselamatan pasien. Setiasih mengamati bahwa pada masa ini, terdapat pergeseran menuju kemandirian produksi alat-alat kesehatan secara domestik. Setiasih menegaskan bahwa hal tersebut harus dilakukan hati-hati agar tidak berdampak pada keberlangsungan pelayanan kesehatan.
Paparan Setiasih ditimpali oleh Oetami dari Lovepink Indonesia. Menurut Oetami, pasien kanker payudara telah berhadapan dengan alat-alat kesehatan yang advanced bahkan sejak tahap penegakkan diagnosis, misalnya menggunakan ultrasonografi (USG) atau CT-scan. Lovepink Indonesia, sebagai organisasi nirlaba berbasis komunitas penyintas dan pejuang kanker payudara, memiliki fokus pada edukasi pencegahan, skrining dini, dan dukungan bagi pasien kanker payudara. Namun, seiring berjalannya waktu, Lovepink mulai memainkan peran lebih aktif untuk mengupayakan akses pasien pada pelayanan terbaik. Meskipun belum memiliki pengalaman langsung advokasi dengan pemerintah, Lovepink telah bekerja dengan organisasi nirlaba lain, seperti Asosiasi Advokasi Kanker Perempuan Indonesia (A2KPI) untuk bersama-sama mencari solusi atas keluhan-keluhan pasien. Lovepink juga memberikan panduan dan saran kepada pasien untuk mencari perawatan medis di rumah sakit atau mengevaluasi pilihan menggunakan alat diagnostik yang berbeda.
Pembicara selanjutnya adalah Arianto dari Kementerian Kesehatan. Menurut Arianto, meskipun pasar alat kesehatan di Indonesia saat ini masih relatif kecil, terdapat potensi pertumbuhan yang signifikan berkat peningkatan jumlah penduduk yang menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), perkembangan jumlah dan distribusi penyedia layanan swasta, dan peningkatan prevalensi penyakit kronis. Sebagai salah satu upaya untuk substitusi alat kesehatan impor dengan alat kesehatan domestik pada katalog elektronik sektoral kesehatan, Kementerian Kesehatan memberlakukan mekanisme pembekuan (freeze) dan pembukaan pembekuan (unfreeze) alat kesehatan impor yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1258 Tahun 2022. Mekanisme pembekuan diberlakukan ketika produk alat kesehatan yang sesuai untuk kebutuhan pelayanan kesehatan sudah diproduksi di dalam negeri dan telah memiliki izin edar; dan/atau kapasitas produksi alat kesehatan sudah memenuhi rencana kebutuhan alat kesehatan, dengan spesifikasi produk yang sesuai untuk kebutuhan pelayanan kesehatan. Sebaliknya, pembukaan pembekuan diberlakukan ketika kebutuhan nasional belum terpenuhi oleh kapasitas produksi industri alat kesehatan dalam negeri, dan/atau alat kesehatan bersangkutan belum dapat diproduksi di Indonesia. Arianto mengatakan bahwa mekanisme pembekuan dan pembukaan pembekuan harus dilakukan dengan transparansi yang tinggi karena adanya potensi konflik kepentingan. Saat ini, Kementerian Kesehatan melakukan konsolidasi data industri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan data Kementerian Perindustrian sebagai bagian dari upaya transparansi ini. Selain itu, Arianto juga menekankan bahwa mekanisme pembekuan dan pembukaan pembekuan sebaiknya tidak mempengaruhi kinerja pelayanan kesehatan di lapangan. Arianto menutup paparannya dengan rekomendasi berupa kolaborasi dengan industri alat kesehatan yang major untuk berinvestasi melakukan produksi di Indonesia.
Pembicara keempat, yakni Garg membagikan pembelajaran dari pemenuhan obat dan alat kesehatan secara domestik di India. Garg menjelaskan bahwa di India, terdapat masalah ketersediaan yang terkait dengan proses tender dan pengadaan. Oleh karena itu, dilakukan proses konsultasi melalui mekanisme peninjauan setiap tiga bulan. Aspek penting dalam proses konsultasi ini adalah pelibatan tenaga medis, pasien (melalui kelompok pasien atau masyarakat sipil), dan industri dalam seluruh proses penggunaan diagnostik, perangkat medis, dan obat-obatan. Melalui keterlibatan pemangku kepentingan ini, pemerintah dapat memahami tingkat penggunaan, permintaan, dan kebutuhan obat dan alat kesehatan di dalam negeri. Terkait dengan alat kesehatan, adalah hal yang penting untuk memahami bahwa nuansa yang timbul berbeda dengan produk-produk obat/kefarmasian. Sebagai contoh, terdapat ribuan jenis kateter yang berbeda dan masing-masing memiliki spesifikasi serta tujuan penggunaan yang berbeda-beda. Nuansa dan perbedaan ini harus dapat didefinisikan dengan jelas, terlebih karena proses pengadaan obat dan alat kesehatan pada masa ini mulai bergerak ke pengadaan berbasis nilai dari semula pengadaan berbasis volume.
Sesi khusus 4 diakhiri dengan pesan-pesan penutup dari para pembicara, antara lain pentingnya kamus farmasi dan alat kesehatan, pelibatan pengguna (tenaga medis) untuk memberikan umpan balik kepada produsen dalam rangka perbaikan mutu alat-alat kesehatan, serta penjaminan keselamatan pasien dan keberlangsungan pelayanan kesehatan jika negara akan beralih pada penyediaan obat dan alat kesehatan secara domestik.
Reporter: Mentari Widiastuti (PKMK UGM)