UHC M&E using health facility data
Monitoring and Evaluation of Universal Health Coverage:
Approaches to facility-based data
Dr. Supon Limwattananon, MPHM, PhD
Bangkok- Pada sesi ini, beliau menjelaskan mengenai monitoring dan evaluasi terhadap beban penyakit dan penggunaan fasilitas kesehatan dengan menggunakan data yang berada di tingkat fasilitas kesehatan. Sebelum melangkah terlalu jauh, kita harus mengenal sumber data untuk M&E. Terdapat 4 dimensi yang dapat diukur, antara lain:
- Tingkat kesehatan/ health outcome. Dapat digunakan data yang mewakili rumah tangga, -misal: USAID’s demographic health survey (DHS), UNICEF’s multiple indiator cluster survey (MICS), WHO’s WHS. Sedangkan sumber berdasarkan data fasilitas kesehatan sebagai contoh rekaman vital.
- Perlindungan risiko finansial. Dapat digunakan data yang mewakili rumah tangga, misal: WB’s LSMS (Living Standard Measurement Survey) atau Thailand’s SES (Socio Economic Survey). Sedangkan sumber berdasarkan data fasilitas kesehatan sebagai contoh national health account (NHA).
- Kejadian kesehatan dan penggunaan fasilitas kesehatan. Dapat digunakan data yang mewakili rumah tangga, misal: USAID’s DHS, UNICEF’s MICS, WHO’s WHS. Sedangkan sumber berdasarkan data fasilitas kesehatan sebagai contoh data kepesertaan asuransi kesehatan dan klaim elektronik.
- Sumber daya kesehatan. Pengukuran dapat diperoleh dari data fasilitas kesehatan sebagai contoh survei sumber daya kesehatan (HRS), atau di Indonesia setara dengan riset fasilitas kesehatan.
Data-data tersebut tersedia secara publik dan dapat di download asalkan tidak digunakan untuk kepentingan komersial.
Diberikan contoh analisis dengan menggunakan data rumah tangga dengan DHS, yakni membandingkan lokasi persalinan dari berbagai negara. Lebih jelasnya, dapat dicari tingkat penggunaan fasilitas kesehatan tersebut berdasarkan status sosial-ekonomi, untuk melihat gap antara kelompok miskin dan kaya dalam memilih tempat persalinan.
Dokter Supon dan rekannya telah menulis tentang concentration index cakupan pelayanan kesehatan ibu dan anak -tentang keluarga berencana, ANC, persalinan-, tingkat kesehatan -tentang bayi berat lahir rendah, malnutrisi, diare pada anak-, dan kehamilan pada remaja menggunakan MICS. Lebih lanjut, melalui socio-economic survey, dapat menggambarkan proteksi risiko finansial setelah diberlakukannya asuransi kesehatan.
Diingatkan sekali lagi oleh pembicara, bahwa dalam mengolah data harus hati-hati karena seringkali karena kuesioner dibuat dalam bentuk alogaritma, mereka akan cenderung missing data ketika dijawab dengan tidak. Oleh karena itu, harus diganti dengan angka “0” agar dapat diperhitungkan.
Diperlukan interlink terhadap berbagai sumber data dalam penggunaan data berbasis fasilitas kesehatan. Lima sumber data yang berpotensial untuk digunakan adalah:
- Data kepesertaan (file denominator): sex, tanggal lahir, domisili
- Rekaman fasilitas kesehatan (file numerator: rawat jalan, rawat inap, preventif, promotif, resep, kegiatan penunjang): aktivitas pelayanan kesehatan/ output, pembiayaan/ pembayaran, kondisi klinis (ICD X), keluaran layanan (mati, sembuh, dll)
- Survei peserta: demografi, sosial ekonomi, perilaku kesehatan yang berisiko, responsiveness, utilisasi/ pengeluaran untuk layanan kesehatan yang tidak terklaim. Data ini lebih baik dibandingkan dengan data poll survey yang dilakukan di fasilitas kesehatan.
- Profil penyedia layanan kesehatan: lokasi, karaktersitik. Namun seringkali susah didapatkan dengan alasan konfidensial.
- Registrasi vital kependudukan: tanggal lahir, penyebab kematian. Data ini bermanfaat untuk dilakukannya analisis survival rate.
Ketika data fasilitas kesehatan tidak bisa menjelaskan sosial ekonomi pasien, daerah bisa menjadi proxi apakah seseorang tersebut kaya atau miskin yang didasarkan pada sosial-ekonomi survei.
Pengukuran efisiensi sebuah layanan ditentukan dari mekanisme pembayaran fasilitas kesehatan. Semakin prospektif mekanisme pembayaran, sebagai contoh fee for service, maka proses dari pelayanan merupakan hal yang harus dimonitor dan evaluasi. Sedangkan semakin retrospektif mekanisme pembayaran yang diberikan, maka pengukuran outcome layanan menjadi lebih penting karena biaya sudah tidak menjadi permasalahan utama, melainkan bagaimana pelaksanaan pelayanan.
Dampak biaya fee for service membuat total biaya pelayanan kesehatan dalam asuransi CSMBS di Thailand meroket. Oleh karena itu, dilakukan evaluasi, apa penyebab dari membengkaknya biaya ini. Diketahui bahwa 80% dari total biaya merupakan biaya obat. Lebih dari 1000 rumah sakit dievaluasi dan diambil sampel 34 rumah sakit dengan biaya tertinggi per pasien. Dengan urutan ranking, dibuat perbandingan antara proporsi pasien berbiaya tinggi dengan penggunaan obat non-esensial. Lebih dalam lagi, diperbandingkan proporsi penggunaan obat esensial dan non-esensial. Perbandingan antar rumah sakit melalui gambaran 3 dimensi juga dapat dilakukan dengan membandingkan penggunaan obat non-esensial % reimbursement, % jumlah peresepan dan volume pasien dari masing-masing rumah sakit. Sebaran pola peresepan obat non-esensial dari masing-masing dokter juga dapat dilihat. Jika sistem kesehatan dilakukan secara efisien, sebaran gap tidak akan terlalu besar.
Sedangkan monitoring dari fasilitas kesehatan yang menggunakan diagnosis related group, terutama rawat inap, dapat diukur dengan cara melihat lama rawat inap dan jumlah admisi. Jumlah yang terlalu tinggi dengan lama rawat inap yang sangat rendah dapat menjadi sebuah indikasi moral hazard dari pelayanan kesehatan.
Penelitian Wennbert tahun 2004, menunjukkan bahwa sistem dari pelayanan lebih penting dari jenis penyakit untuk pasien kronis dalam penentuan penggunaan fasilitas kesehatan. Hal tersebut dibuktikan dengan hari rawat inap yang berkorelasi secara langsung antara COPD dan CHF.
Terdapat 3 contoh melakukan pengukuran monitoring pelayanan kesehatan melalui 2 langkah, yakni membandingkan secara berpasang dan pin pon pada sesuatu yang terlihat mencurigakan:
- Variasi penggunaan pelayanan kesehatan pada penyakit kronis.Sebagai contoh jumlah admisi pasien DM per 100.000 penduduk dengan jumlah admisi pasien HT per 100.000 penduduk. Secara teori, jika pasien dapat dikontrol dengan baik, maka admsisi dari kedua jenis penyakit ini tidak akan terlalu tinggi. Di sisi lain, jika kita melihat angka admisi ini pada layanan kesehatan di luar layanan kesehatan yang dikontrak, maka hal ini dapat menjadi alarm migrasi pasien, kenapa fasilitas kesehatan tersebut tidak merawat pasien yang seharusnya dapat dirawat-nya?
- Variasi penggunaan pelayanan kesehatan pada penyakit akut. Sebagai contoh jumlah admisi pasien diare per 100.000 penduduk dibandingkan dengan jumlah admisi pasien pneumonia per 100.000 penduduk. Fasilitas kesehatan dengan admisi yang tinggi pada keduanya menjadi pertanyaan, apakah karena terjadi epidemi, atau terjadi admisi yang tidak diperlukan. Jika dilihat lebih dalam, maka dapat dibuat grafik jumlah hari rawat inap diare dengan pneumonia. Jika hari rawat inap pada fasilitas kesehatan tersebut lebih rendah dibandingkan lainnya/ rata-rata, maka dapat menjadi indikasi adanya motivasi finansial.
- Variasi beban kesehatan pada kematian. Sebagai contoh, jumlah pasien kanker hati per 100.000 penduduk dengan jumlah pasien kanker cholangiocarcinoma per 100.000 penduduk. Daerah dengan kejadian yang tinggi pada keduanya, menunjukkan perlunya dilakukan intervensi promosi dan pencegahan yang lebih baik atau pelayanan kesehatan melalui dokter spesialis yang handal. Namun demikian, kita dapat melakukan monitoring secara lebih mendalam dengan melihat survival rate dari penyakit tersebut baik secara waktu maupun daerah yang berbeda.