Kongres asosiasi ekonomi kesehatan international (iHEA) dibuka pada Jumat (8 Juli 2017). Sejumlah pakar ekonomi kesehatan yang menjadi panitia acara ini memberi beberapa sambutan, antara lain Sandro Galea selaku Dekan School of Public Health, Boston University dan Jonathan Woodson yang saat ini menjabat sebagai direktur Health System Innovation and Policy di universitas yang menjadi tuan rumah iHEA kali ini.
Adam Wagstaff (Presiden iHEA) dalam pembukaannya, menekankan pentingnya kolaborasi dan pengembangan ekonomi kesehatan yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan kesehatan. iHEA yang didirikan pada 1994 ini telah melaksanakan 12 kongres internasional hingga 2017 dengan tujuan utama untuk meningkatkan komunikasi dan kualitas seputar diskusi akademik dalam bidang ekonomi kesehatan serta mendukung pengembangan para peneliti muda.
Dalam sesi pembukaan, pembicara utama Carol Propper memaparkan topik yang sangat relevan dengan Indonesia, yaitu kompetisi provider kesehatan dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Pertanyaan utama di sesi ini adalah apakah kompetisi dalam layanan kesehatan bermanfaat? Bagaimana dampaknya terhadap pemberi layanan dan pasien, serta apakah kompetisi dapat berfungsi dalam sistem kesehatan yang sangat teregulasi di negara-negara yang sudah memiliki pembiayaan publik yang tinggi?
Argumen utama dari Carol Propper, sistem kesehatan harus memiliki:
- Desentralisasi layanan kesehatan, karena tidak mungkin suatu negara dapat menyediakan dan menjaga mutu layanan kesehatan hanya dari level nasional. Tingkat desentralisasi tentunya harus mempertimbangkan konteks dari negara tersebut.
- Kompetisi sangat dibutuhkan dan masyarakat harus memiliki pilihan dalam menentukan pemberi layanan kesehatan dan harus dapat pindah dari suatu klinik atau rumah sakit berdasarkan pilihan dan juga pertimbangan kualitas layanan yang didapatkan masyarakat
- Perubahan sistem pembayaran atau insentif provider kesehatan; sistem insentif harus bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan dan kenyamanan, baik itu dari sisi provider maupun pasien.
Presentasi pembuka ini melihat sejumlah penelitian di negara berkembang dan maju tentang kompetisi yang dilihat dari tiga aspek: (1) kualitas, (2) produktivitas atau efisiensi, serta (3) akses yang berkeadilan. Masih banyak aspek yang belum banyak diteliti, terutama seputar dampak kompetisi terhadap efisiensi atau luaran dari layanan kesehatan itu sendiri. Di beberapa negara di Eropa, kompetisi antara pemberi layanan kesehatan banyak berawal dari kesenjangan yang ada akibat sistem purchasing yang tidak baik dan berakibat pada rendahnya produktivitas dan kualitas layanan. Lalu sekitar 1990-an dan 2000-an muncul kebijakan-kebijakan yang lebih pro-kompetisi. Sehingga, pasien lebih bebas menentukan rumah sakit atau dokter mana yang akan dipilih.
Beberapa pesan kunci dan juga pertanyaan-pertanyaan yang perlu dipikirkan baik oleh negara maju maupun berkembang adalah:
- Peran antara pasien dan pemberi layanan kesehatan sangat dinamis, dan ditentukan oleh konteks negara ataupun tingkat informasi yang diterima oleh masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana perubahan perilaku memilih layanan kesehatan ini bisa dipengaruhi oleh informasi dan bagaimana suatu negara dapat menggunakan pemberdayaan masyarakat ini untuk meningkatkan kualitas layanan?
- Respon sistem suplai terhadap (pemberi layanan kesehatan) kompetisi dapat ditentukan oleh tingkat insentif dan juga kesempatan yang diberikan apabila sistem kompetisi telah terbentuk. Pertanyaannya adalah bagaimana cara mengukur atau memprediksi respon sistem suplai kesehatan ini dan bagaimana cara menentukan harga layanan kesehatan?
- Terakhir adalah peran sektor swasta, terutama di negara-negara yang memiliki campuran publik-swasta yang hampir seimbang, dalam mendukung kompetisi layanan kesehatan yang berkualitas.
Lessons learnt untuk Indonesia yang sedang mengembangkan sistem purchasing di era JKN ini adalah:
- Kompetisi dibutuhkan untuk meningkatkan layanan kesehatan
- Pemberdayaan masyarakat merupakan poin kunci agar kompetisi layanan kesehatan bisa terbentuk
- Namun, perubahan perilaku masyarakat sangat ditentukan oleh kualitas informasi yang didapatkan.
Pertanyaan relevan yang perlu dipikirkan untuk konteks Indonesia:
- Bagaimana sistem purchasing di era JKN saat ini dalam mendukung kompetisi yang sehat dan berorientasi mutu?
- Lebih penting lagi, bagaimana kompetisi dapat dikembangkan di Indonesia tanpa meningkatkan kesenjangan dalam akses ke layanan kesehatan?
- Bagaimana pendekatan yang efektif dan efisien dalam membangun sistem kompetensi di era JKN? Apakah sistem insentif saat ini telah dapat mendukung 3 aspek penting, yaitu: (1) kualitas, (2) produktivitas atau efisiensi, serta (3) akses yang berkeadilan?
Reporter : dr. Tiara Marthias, MPH, PhD (c)