Reportase Webinar Expert Meeting:
Strategi Penguatan Pelayanan Primer untuk Mendukung Sustainabillitas JKN
Untuk mengawali expert meeting kali ini, materi pertama yang disampaikan oleh Prof. Ascobat Gani membahas tentang strategi komprehensif dalam penguatan pelayanan kesehatan primer untuk mendukung sustainabilitas JKN. Peningkatan defisit pembiayaan JKN setiap tahun dapat direduksi dengan intervensi UKM (promotif & preventif). Menurut Ascobat, tantangan pembiayaan kesehatan dan JKN yaitu cost inflation, aging populatin (peningkatan Penyakit degeneratif), perilaku provider dan peserta sehingga terjadi over utilization, dan faktor eksternal lainnya. Pengendalian biaya dapat dilakukan dengan memperkuat pelayanan kesehatan primer (puskesmas) terutama risk reduction dan FKTP (puskesmas & klinik non-spesialis) terutama dalam hal financial protection & health insurance. Namun, peran UKP pada puskesmas tidak boleh dihilangkan karena berlawanan dengan pasal 47 UU 36 Tahun 2009 maupun konsep akademik, serta dapat menghilangkan legitimasi BPJS untuk menerima dana PBI, disamping itu intervensi UKM & UKP harus komprehensif. Kebijakan afirmatif untuk puskesmas terpencil berupa “Nusantara Sehat” (SDM), pengiriman obat program dari pusat, penyaluran BOK langsung ke puskesmas harus lebih dapat dioptimalkan dengan mempertimbangkan sektor swasta; baik dalam menyusun tupoksi standar, kelembagaan, standarisasi pelayanan, akreditasi, dan lain-lain.
Prof. Laksono menegaskan bahwa kendala yang terjadi saat ini yaitu fragmentasi sistem yankes (makro), pengelolaan sistem insentif BPJS tidak jelas (meso), konflik dokter layanan primer (mikro). Fragmentasi dalam bentuk dua jalur sistem pendanaan yang tidak dikelola secara bersama yaitu sistem yankes/Kemenkes (UU kesehatan, UU RS, terdesentralisasi) dan sistem jamkes/BPJS (UU SJSN, UU BPJS), yang berakibat data BPJS dan dinkes tertama daerah tidak tersinkronisasi, strategic purchasing tidak bejalan baik, tidak adanya pemantaun gatekeeper, sistem tidak efektif, serta pemerataan yankes terabaikan. Sistem pembayaran individu di tingkat fasilitas belum berbasis pada kinerja, BPJS juga tidak memiliki pengaruh dalam menentukan besaran pendapatan nakes, sehingga terjadi ketimpangan pendapatan nakes dan double contract, serta ketidaksesuaian insentif dengan beban kerja. Konflik mengenai penyelenggaraan DLP terjadi di kalangan IDI, Kemenkes, Kemenristekdikri, dan berbagai pihak lain, akibatnya Indonesia kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan klinis dokter di layanan primer dalam era JKN. Menurut Laksono, solusi untuk mengoptimalkan peran pelayanan primer untuk sustainabilitas JKN adalah menghilangkan fragmentasi (jangka pendek: INPRES 8/2017, jangka panjang: revisi UU), menyesuaikan pendapatan dokter & nakes dengan kinerja FKTP (penyesuaian tarif kapitasi dengan adjuster, analisis isu double contract, kebijakan matching grand, BPJS mengetahui nominal pendapatan nakes yang berasal dari kapitasi), melaksanakan DLP & penelitian monitoring kerja.
Untuk menghadapi tantangan pelayanan kesehatan dalam era JKN, maka FKTP berperan penting dalam mewujudkan paradigma sehat melalui upaya promotif, preventif, dan screenning. Menurut Saraswati, FKTP sebagai gatekeeper (penapis rujukan) harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan dan tata laksana penyakit di FKTP serta berbasis pada kompetensi SDM (klinis dan manajerial). Penguatan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia agar sesuai dengan kompetensi faskes dapat dicapai dengan program peningkatan akses (distribusi FKTP & peserta, ketersediaan obat, pemenuhan sarana-prasarana, regionalisasi sistem rujukan, dan pemenuhan SDM) dan mutu (akreditasi puskesmas & RS, pemanfaatan TI, kompetensi SDM) faskes melalui sistem informasi dan regulasi yang tepat. Pemanfaatan TI dapat berupa pelaksanaan SISRUTE, telemedicine, pendaftaran online, SIRANAP, RME, Flying Health Care.
Dari perspektif penatalaksanaan tenaga kesehatan, Usman Sumantri menyatakan bahwa puskesmas sebagai andalan utama FKTP yang menyebar di Indonesia memiliki standar sarana-prasarana yang berbeda-beda dikarenakan geografis yang luas, daerah pemekaran, dan keterbatasan kemampuan (anggaran dan komitmen) pemerintah pusat maupun daerah. Kendala dalam pemenuhan nakes: penyediaan nakes (jumlah, mutu, distribusi, infrastruktur), regulasi, kurangnya partisipasi Pemda, tingginya biaya operasional khususnya di daerah dengan geografis sulit. Pada daerah dengan peserta yang padat dan nakes memadai, FKTP hendaknya diarahkan pada klinik sedangkan puskesmas bertahap fokus ke UKM. Untuk persebaran nakes maka perlu dipetakan kebutuhan & formasi FKTP serta dokter per daerah dan redistribusi peserta, serta pendayagunaan nakes di DPTK.
Reporter: Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH