Reportase sesi 1:
Berbagai Isu Strategis Dalam Sistem Kesehatan
di Kabupaten dalam Era BPJS
Saat ini, berbagai isu strategis muncul di Indonesia terkait dengan sistem kesehatan, terutama menjelang era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN). Isu strategis yang masih ‘terkendala’ ialah upaya promosi-prevensi di era BPJS dan bagaimana peran dinas kesehatan kabupaten/kota dan propinsi dalam menghadapi SJSN. Kali ini, PKMK bekerjasama dengan Minat KMPK dan MMR FK UGM menyelenggarakan ‘Diskusi Berbagai Isu Strategis Dalam Sistem Kesehatan di Kabupaten dalam Era BPJS’ pada Jumat (20/12/2013) di R. 301, IKM FK UGM. Sementara, peserta yang hadir meliputi kalangan: dosen, mahasiswa, konsultan, pengelola di KMPK, Minat Studi Promkes, MMR, PKMK dan S2 IKM.
Acara pertama dibuka oleh Prof. Laksono Trisnantoro melalui Pengantar : Situasi Upaya Pencegahan dan Promosi Saat ini dan Kemungkinannya di Era BPJS. BPJS akan beroperasi di level kabupaten juga. Jadi, akan ada BPJS pusat, cabang dan regional. BPJS secara finansialnya sangat besar yaitu sekitar 20 Trilyun. Apakah BPJS membawa perubahan? Apakah fungsi Dinkes dalam mutu pelayanan? Era BPJS, promkes dilakukan oleh siapa? Hal yang perlu kita cermati, bagaimana memantau Mutu Pelayanannya?
Sesi Diskusi Pertama mengangkat judul Penyusunan Rencana Strategis untuk Program Pencegahan dan Promosi yang disampaikan oleh Dr. Bambang Sulistomo, MPH – Penasehat Khusus Menteri Kesehatan RI. Sementara pembahasan dilakukan oleh Dr. dr. Yayi Suryo Probandari, M.Sc. Ph.D dan Dr. Krishnajaya, MS.
Promosi kesehatan meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan edukatif. Kaitan derajat kesmas dengan upaya promosi dan prevensi. Dalam Konas Promkes tahun ini, disebutkan upaya promosi kuat dilakukan. Namun, rencana strategi promosi untuk menyambut BPJS belum ada yang merumuskannya. Saran saya, silahkan buat proporsi upaya promosinya, sebelum menyusun anggaran, ungkap Dr. Bambang Sulistomo. Salah satunya, RPP Tembakau segera selesaikan. Lalu, Upaya kesehatan melalui sekolah digalakkan kembali. Selama ini, semangat promkes hanya sampai LSM dan ormas-ormas atau belum sampai ke bawah. Aliansi kader kesehatan posyandu (dulu), sekarang belum tentu jalan. Upaya promkes banyak yang merupakan upaya swadaya masyarakat. Hal yang terpenting yaitu Mencegah Orang Sakit, sayangnya banyak RS Internasional didirikan agar tidak banyak yang ke luar negeri. Maka, yang utama ialah memantapkan upaya preventif, memperkuat kapasitas (deklarasi Jakarta 2013). Deklarasi yang diadakan pada November 2013 itu dihadiri oleh pemerintah pusat, Pemda, kelompok profesi, organisasi kemasyarakatan, swasta, dan masyarakat.
Deklarasi tersebut merupakan hasil pertemuan Konas Promkes keenam tahun 2013 yang menyatakan: pertama, memantapkan upaya promotif-preventif dalam penerapan JKN sebagai bagian dari SJSN. Kedua, memperkuat komitmen dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam upaya promotif-preventif sebagai solusi masalah kesmas. Ketiga, memperkuat kapasitas promotif-preventif di pusat dan daerah yang mencakup regulasi, kelembagaan dan manajemen, ketenagakerjaan, pendanaan serta sarana dan prasarana. Keempat, memperkuat keterlibatan individu, keluarga, masyarakat termasuk ormas dan swasta dalam menerapkan PHBS, Pengendalian faktor resiko penyakit dan lingkungan. Kelima, meningkatkan sinergisme multisektor dalam pembangunan berwawasan kesehatan. Keenam, menguatkan peran dan kapasitas organisasi profesi kesehatan dalam mendukung upaya promotif-kuratif. Mana upayanya untuk menyambut era BPJS ini? Saya berkhayal bangsa ini sehat tumbuh dari bawah, bagaimana masyarakat sadar akan kesehatannya, tambah Bambang. Dana untuk promkes apakah hanya ada di Kementrian kesehatan/Dinas kesehatan/dinas lainnya?.
Dr. Yayi Suryo Prabandari, S2 IKM Minat Perilaku dan Promkes, FK UGM menyampaikan promkes belum menjadi isu seksi karena banyak hal yang belum dibenahi. Misalnya, pencegahan primer yang belum dilakukan yaitu pendidikan dan penyuluhan yang belum atraktif dan interaktif. Lalu belum ada pelatihan Life Skills atau ketrampilan hidup yang sebenarnya bisa dilakukan dengan pihak swasta. Kemudian, pemasaran sosial (misalnya aksi cuci tangan dengan pihak swasta) serta komunikasi kesehatan-kampanye (anti tembakau-melalui iklan yang tayangannya ditolak tv swasta meski promkes anti rokok sudah membayar biaya iklan yang sama dengan pelaku industri), melalui media massa, penggunaan IT (website based-social media). Salah satu fenomena menarik yang ada, yaitu billboard rokok sebulan sekali ganti, hal inilah yang menjadi daya tarik untuk masyarakat. Masalah yang kita hadapi, struktur kurang jelas di provinsi, anggaran terbatas, pemahaman petugas (nakes) berbeda serta komunikasi advokasi terbatas. Misalnya terkait RUU Pengendalian produk tembakau, ada banyak poin yang dihilangkan. Sehingga saat pengesahan undang-undangnya, banyak bagian penting yang hilang. Misalnya Pasal 3 yang menyebutkan melindungi dampak tembakau, perlindungan untuk yg tidak merokok.
Prof. Laksono menyampaikan di Thailand desain bungkus rokok bergambar mengerikan dan desainernya dari indonesia. Gambar mengerikan itu mewakili apa saja yang terjadi pada tubuh manusia usai menjadi perokok pasif. Lalu, Filipina berhasil menggunakan: sin tax dari cukai rokok untuk promkes sehingga upaya promkes menjadi efektif. Dr. Krisnajaya, MS-Kepala Asosiasi Dinas Kesehatan (Adinkes) menyampaikan, saya berharap ada ahli sospol yang memperjuangkan fokus regulasi. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan (P2PL) bukan penanggulangan penyakit tapi promotif. Sebaiknya Kemenkes menempatkan tenaga promkes di daerah tertinggal yaitu di 98 kabupaten. NTT saja memiliki jargon revolusi KIA (preventif), meskipun dana kesehatannya kurang dari 3%. Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebaiknya menegaskan seluruh upaya promotif dan preventif. Selama ini Kemenkes belum mengirim pengajar, sebaiknya Kadinkes dilatih birokrasi, manajemen, pemerintahan untuk tiga bulan pertama. Jika tidak ada anggaran dari pusat, maka daerah harus menyediakannya. Untuk melaksanakan hal ini, perlu dilihat kemampuan fiskal dan SDM-nya juga.
Dr. Bambang S, public health dan health promotion agar dikuatkan. Saya melihat promosi prevensi lebih baik, tambah Bambang. Belum ada visi yang sama di dalam organisasi Dinkesnya dan nakes, yaitu belum menganggap promosi itu wajib dan lebih baik untuk dilakukan. Maka, kita perlu mengerjakan strategi promosi dan rencana strategis. Mengapa masih ada AKI tinggi?, karena tidak yakin upaya promosi itu lebih baik. Masyarakat selama ini diposisikan sebagai pelengkap penderita. Puskesmas lebih terlihat sebagai Pusat Pengobatan Masyarakat. Mari kita gunakan kesempatan SJSN untuk menjadi momentum politik-misal Deklarasi Jogja-diperlukan strategi kesehatan untuk menyongsong SJSN. Salah satu poin yang ditekankan yaitu kesadaran masyarakat perlu diberdayakan. Sehingga, strategi ini bisa dibawa ke DPR dan Menkes. Jika perlu, strategi ini disepakati dan ditandatangani oleh Pengurus IAKMI, Arsada, IBI dan Adinkes se-Indonesia. FK FKM harus sadar, kita harus mengembalikan atau mengubah pola pikir.
Prof Laksono, pelaku-pelaku promkesnya kurang militan karena sibuk mengurus Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sering dimutasi sehingga programnya terganggu. Maka, promkes ini tergantung pada siapa? Siapa pemimpinnya? Dinkes atau ormas atau LSM? Hal ini harus jelas, karena Dinkes penuh dengan politik. Promotor kesehatan lebih baik dari Dinas atau swasta?. Dr. Yayi Suryo memberi masukan, promkes bukan hanya birokrat, tetapi juga swastra dan akademisi. Misalnya di Jogja terkait Perwal KTR-isu ini akan membuat proses mitasi Kadinkes. Saat World Tobbaco Day-Kadinkes salah satu kabupaten sudah mau datang, namun dicegah Sekda. Lalu, saya pernah memberi konseling berhenti merokok di kawasan Jawa Barat, 20 dari 30 pesertanya dimutasi dari Puskesmas. Dr. Krisnajaya menambahkan, kemudian, untuk menjadi kadinkes kab/kota yang memilih Gubernur. Harus memiliki kompetensi teknis-manajerial pemerintahan, kepemimpinan lembaga. Alangkah baiknya jika Kemendagri mengundang Kadinkes dan Sekda (birokratif). Saat ini, masih banyak gubernur yang sebenarnya kurang mumpuni namun menang karena politik dan massa.
Diskusi termin 1:
Salah kebijakan yaitu kuratif saja-Suwarta (Arsada), promkes harus dipimpin oleh Kadinkes dengan kemampuan yang terukur.
Sitti Zaenab, M. Sc (PKMK), Dinkes regulator, LSM eksekutor. Agus Rahmadi (mahasiswa MMR) juga memberikan pendapat yang sama dengan Sitti, bahaw peran LSM lumayan besar.
Doni (mahasiswa MMR), perlu kerjasama antara Dinkes dan Dinas Pendidikan.
Anna (mahasiswa MMR), jika kerjasama dengan LSM, harus hati-hati karena banyak LSM yang bekerja jika ada dana (siluman).
Firman (KMPK), seharusnya ada pusat sistem informasi di Puskesmas sehingga masyarakat bisa mengumpulkan seluruh informasi dari satu pintu.
Dra. Retna Siwi Padmawati, MA, FK UGM, mungkin kita punya alternatif lain yaitu melibatkan pusat studi dalam hal ini. Kasus di Jogja ada dana keistimewaan, yang terjadi ialah universitas yang diminta Dinkes dan Pemprov untuk mendampingi SKPD.
Tanggapan dari pembahas:
Dr. Yayi, saya setuju dengan jejaring, siapa pelaku promkesnya dan mereka yang akan bahu membahu. LSM beragam, berwawasan kesehatan, bukan abal-abal. Perusahaan atau swasta yang memiliki CSR yang tidak temporer. Bagaimana kita menggandeng semuanya? Promkes lebih baik dan lebih murah.
Dr. Krisnajaya-kesehatan itu leadership melibatkan banyak pihak. Adinkes saat ini sedang membuat materi kompetensi, lalu membuat jejaring salah satu yang harus dimiliki.
Dr. Bambang S, promosi prevensi lebih baik. Hal yang kita kejar dari keduanya ialah produktivitas manusia, kebersamaan, hubungan antar amsayrakat lebih baik dalam kerangka promosi prevensi dibanding kurasi.
Prof. Laksono, sebaiknya dana untuk BPJS sekitar 19,6 Trilyun dialokasikan juga untuk upaya promosi prevensi. Kewirausahaan di bidang promkes, jadi promkes yang digerakkan swasta bisa bebas politik, militan dan agresif.
Diskusi termin 2:
Anung, BPJS memiliki kepentingan berpromosi-AKI turun sehingga anggarannya turun. Strategi prmosi seperti apa? Anggaran di luar BPJS akan di-cover darimana? Saat ini merupakan momen yang bagus untuk membuat bagaimana sistem promosinya.
Sitti Zaenab, M. Kes, organisasi keagamaan misalnya NU dan Muhammadiyah (Ormas) bisa digandeng untuk masuk ke promkes. Mungkin, bisa diambil sekian persen dari anggaran untuk dana promkes ini.
Sasongko (Arsada), penyamaan persepsi upaya kesehatan promosi prevensi mana wadahnya? Kalau tidak ada lembaga, untuk lobi sulit.
Dr. Bambang: silahkan telpon dr. Fahmi Idris dan silahkan mencari informasi promosi prevensi sudah seberapa jauh di BPJS? Tolong sampaikan jika ada masukan dari Jogja. Bagaimana kita memadukan SDM, gagasan, dana, dan kelompok masyarakat? Salah satunya melalui asosiasi yang terkait kesehatan, visinya harus sama. Upaya kesehatan yang strategis harus dikelola dengan kuat, untuk menghadapi kelompok dunia usaha.
Catatan lain: dari Doni-mahasiswa MMR. Kesehatan reproduksi selalu mendapat tentangan di Dinas kebudayaan. Faktanya aborsi dan kematian ibu masih menjadi ancaman di kalangan anak muda.