Simposium 2 , 2 Oktober 2014
Pengantar / Pra Simposium 1 / Pra Simposium 2 / Simposium 1 / Simposium 2 / Simposium 3 / Refleksi & Follow-up
Breakfast
Breakfast Launches
Reporter: Retna Siwi P
Pada rangkaian acara Global Symposium, terdapat beberapa acara breakfast launches. Acara biasanya dilakukan pada pagi hari, satu jam sebelum acara plenary atau symposium dimulai, dan untuk yang hadir disediakan makan pagi . Program ini biasanya berupa launching suatu suplemen jurnal, proyek penelitian baru, atau organisasi atau kelompok kerja baru. Peserta diminta mendengar dan berdiskusi tentang apa yang sudah mereka lakukan.
Pada breakfast launches tanggal 2 Oktober, terdapat lima kelompok yang berbagi pengalamannya. Pertama mengumumkan supplement journal untuk Health Policy and Planning untuk "Science and Practice on people-center health system,". Kedua untuk seri penelitian baru tentang "Universal Health Coverage (UHC)" dari UNICEF, dan ketiga tentang joint group WHO dan World Bank untuk pengukuran kemajuan UHC dalam konteks post MDG 2015. Selanjutnya adalah book launching untuk "African Health Leaders: making change and claiming the future", dan yang terakhir adalah launching dari Chatam House report terkait health financing.
Reporter mengikuti launching dari supplement journal untuk "Health policy and planning" untuk tema Global Symposium tahun ini aitu, "Science and Practice on People-center Health System." Beberapa penulis publikasi dan chief editor mempresentasikan proses penerbitan dan isi dari supplement tersebut. Semua peserta mendapatkan satu eksemplar jurnal yang sudah terbit tersebut.
Dalam pengantarnya, Sarah Bennet, editor in chief dan Kabir Sheikh (Public Health Foundation of India) mengatakan bahwa sistem kesehatan harus mencari cara untuk melayani orang dan masyarakat. Sistem kesehatan harus membawa nilai-nilai dalam kehidupan manusia, bukan hanya dengan merawat dan melayani mereka, melainkan juga secara lebih luas menawarkan janji untuk keamanan ekonomi dari waktu ke waktu dan keluar dari kerentanan yang berat.
Upaya tersebut dilakukan dengan, pertama, mengedepankan suara dan kebutuhan masyarakat, karena seharusnya keinginan dan kebutuhan masyarakatlah yang membentuk "health system." Nandi dan Scheneider dalam jurnal ini mencontohkan keikutsertaan Mitanin (pekerja kesehatan di masyarakat) dalam mempengaruhi "social determinant of health di India. Demikian juga Abimbola yang hadir dalam launching tersebut mencontohkan bahwa sumber daya masyarakat dapat mengatasi kegagalan pemerintah dalam penyediaan layanan kesehatan.
Kedua adalah "people-centredness in service delivery," yaitu pelayanan hendaknya dirancang dan diberikan berdasarkan kebutuhan masyarakat, bukan klinisi atau penyedia layanan. Prinsip yang dianut adalah quality, safety, longitudinality, closeness to community dan responsiveness terhadap perubahan. Manu dalam publikasinya dalam jurnal suplemen ini mengemukakan bahwa petugas surveilan masyarakat yang bekerja secara sukarela dalam suatu intervensi dapat mempromosikan perawatan esensial bagi bayi baru lahir dan mengidentifikasi tanda-tanda vital bayi dan kemudian merujuk ke fasilitas kesehatan.
Ketiga, kita harus menyadari bahwa sistem kesehatan adalah insititusi sosial, dimana semua aktor di dalamnya seharusnya bertindak sesuai dengan tanggungjawabnya. Penelitian Aberese-Ako dkk. di Ghana menggarisbawahi kerjasama yang baik antara administrator kesehatan dan petugas kesehatan serta masyarakat atau pasien, namun hubungan antara pengetahuan dan kebijakan orang-orang dalam health system sangat jarang untuk diteliti.
Kemudian yang keempat adalah prinsip bahwa nilai-nilai akan mengarahkan sistem kesehatan yang bersumber pada masyarakat dan pada akhirnya reformasi sistem dapat berdampak pada nilai-nilai dalam sistem itu sendiri. Menghormati dan mencapai " equal treatment" bagi mereka yang berlainan gender, agama, kelompok sosial dan ekonomi adalah prinsip yang penting untuk mempertimbangkan bagaimana pelayanan harus dirancang dan diberikan kepada masyarakat.
Suplemen jurnal ini pada akhirnya menunjukkan cara-cara yang berbeda dalam melakukan riset dalam sistem kesehatan yang berfokus pada masyarakat dan bagaimana memahami mereka. Selain itu, jurnal ini juga mencoba melihat tantangan para peneliti sendiri dalam melihat perannya dalam sistem itu senndiri.
Plenary 3
Recognising Research Paradigm, Methods And Impact For People-Centered Health System
Reporter: Putu Eka Andayani
Plenary 2 yang berlangsung pukul 9.30-11.00 waktu setempat dibuka dan dimoderatori oleh Barbara McPake, Direktur Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne, Australia. Sesi ini mendiskusikan kontribusi berbagai tradisi system riset untuk menguatkan system kesehatan yang people-centered (berfokus pada orang). Dalam sesi ini, dua orang narasumber memberikan opening statement dan kemudian bersama tiga narasumber lainnya melakukan diskusi panel dipimpin oleh moderator.
Opening statement pertama disajikan oleh James Macinko, PhD, seorang associate professor dari Public Health and Health Policy, New York University. James menekankan pada kontribusi apa yang diberikan oleh penelitian kuantitatif, pendekatan apa saja dalam menggunakan data dan bagaimana kita bias menguatkan riset kuantitatif serta instrumen-instrumennya untuk mempromosikan program dan kebijakan yang lebih baik dalam mencapai dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang people-centered. Menurutnya, penelitian dengan metode random mengalami kebangkitan, dimana metode ini banyak menawarkan solusi untuk mendesain evaluasi dari dampak suatu program atau kebijakan. Masalahnya adalah metode ini memiliki banyak kelemahan dan berbagai konsekuensi yang tidak relevan. Agar data kuantitatif lebih powerful, maka perlu ada interaksi yang lebih produktif antara penghasil dan pengguna data di berbagai tingkatan. Terakhir, James memaparkan hal-hal yang perlu dilakukan untuk membuat pendekatan kuantitatif lebih relevan bagi system kesehatan yang people-centered, antara lain mengintegrasikan ilmu-ilmu terapan dari efikasi ke efektvitas dan kemudian ke pemberdayaan.
Rene Loewenso, Direktur di Training and Research Support Center, Zimbabwe, pada opening statement berikutnya banyak menjelaskan mengenai participatory action research (PAR). Rene bahkan sudah menulis buku mengenai hal tersebut bersama beberapa koleganya. Dalam simulasi di suatu sesi training, dimana peserta berperan sebagai pasien, petugas kesehatan, stakeholders lain bahkan lembaga donor, tampak bahwa setting pelayanan dan system kesehatan secara keseluruhan belum secara langsung member perhatian yang cukup pada pasien. Apa yang dikerjakan oleh seorang petugas administrasi di sebuah RS, bahkan yang dilakukan oleh lembaga donor, belum berpusat pada pasien sebagai tujuan pelayanan kesehatan. Ini membuat banyaknya complain masyaakat terhadap pelayanan dan system kesehatan. PAR akan membantu dengan cara tidak saja memahami bukti-bukti atau realitas melainkan juga mentransformasikannya, karena peneliti bias menjadi terlibat lebih aktif dan karena peneliti adalah bagian dari komunitas yang akan terkena dampak dari suatu program, atau fasilitator dari suatu proses. Namun tentu saja tetap ada tantangan dalam melakukan riset dengan metode PAR ini, mulai dari reliabilitasnya hingga external validity-nya.
Pada sesi diskusi, salah satu panelis, Clara Mbwili-Muleya, dari District Medical Officer, Ministry of Health, Zambia menyampaikan pendapatnya sebagai praktisi pembuat program dan kebijakan, serta sebagai pengguna hasil-hasil penelitian. Menurutnya, selama ini banyak data yang tidak dapat ia dan timnya gunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhannya, atau sulit untuk dipahami. Ini menunjukkan bahwa interaksi antara peneliti dengan pengguna hasil penelitian belum aktif dan baik. Ia sendiri sebenarnya sangat tertarik untuk terlibat dalam penelitian-penelitian tersebut, agar bias menjawab berbagai tantangan yang dihadapi sehari-hari dalam melakukan tugasnya sebagai Kepala Kantor Medis Kabupaten.
Menurut Clara, data yang berguna adalah yang bias ditranslasikan ke perubahan, bias menyesuaikan dengan cara kerja para pengambil keputusan dan penentu kebijakan, data yang memiliki dampak ke masyarakat. Berdasarkan pengalamannya, data yang baik belum tentu dapat digunakan. Ia dan timnya bahkan sering mengunakan data yang buruk, hanya karena data tersebut lebih mudah dipahami sebagai dasar pengambilan keputusan. Pertanyaan pentingnya adalah siapa sebenarnya yang seharusnya menyusun agenda data: pengguna data atau peneliti.
Senior Health Specialist dari UNICEF New York, Kumanan Rasanathan mengakui bahwa memang ada konflik antara penghasil dan pengguna data. Untuk itu peneliti perlu menggunakan sistem yang bias menghasilkan data yang bermanfaat, namun di sisi lain pengguna data juga memahami besarnya biaya yang diperlukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Dalam hal ini, Rene dan James berpendapat bahwa desain penelitian untuk menghasilkan data dan informasi harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang akan dipengaruhi oleh hasil penelitian tersebut. Dalam system kesehatan, masyarakat dengan berbagai masalah kesehatannya seharusnya menjadi pusat perhatian semua pihak di berbagai level.
Kumanan memberikan contoh kerjasama UNICEF dengan berbagai kelompok peneliti di Indonesia. Menurutnya, kapasitas dan kapabilitas parapeneliti di Indonesia sangat baik dan jumlahnya cukup banyak. Namun masihbanyak hal yang harus dilakukan untuk menyambungkan antara hasil-hasil penelitian dengan pengambil kebijakan di level local maupun nasional. Di Afrika menurut Clara masih terjadi banyak kekosongan untuk sumber daya seperti inis ehingga PAR belum bias membantu pemerintah dalam pengambilan keputusan. Jadi yang diperlukan adalah membangun kapasitas SDM, khususnya para frontliners pelayanan agar bias memanfaatkan knowledge dan mentranslasikannya ke aksi.
Assistant Professor dari Department of Public Health, Institute of Tropical Medicine, Belgium, Bruno Marchal berpendapat bahwa semua harus belajar dari tindakan-tindakan yang sudah dilakukan dan bagaimana dampaknya. Para stakeholders sector kesehatan harus membuka berbagai potensi yang agar bias dimanfaatkan dalam memecahkan masalah. Menurutnya, pengambil keputusan perlu mengidentifikasi sumber daya apa lalu untuk siapa. Rene sependapat, bahwa riset-riset perlu disegmentasi kembali. Jika perlu, sediakan ruang tambahan agar masyarakat bias terlibat lebih banyak, konsistensiperlu dijaga dan yang terpenting adalah menjadikan riset sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.(pea)
Satellite Session 2.61 - 2.63
Process, Methods And Stakeholders in Knowledge Translation and Participatory Decision-Making
Reporter: Putu Eka Andayani
Sesi ini menyajikan beberapa hasil penelitian yang menjadi contoh penerapan dari participatory decision making. Penelitian pertama disampaikan oleh Colin Baynes, seorang manajer program dari Ifakara Health Institute, Columbia University, Tanzania. Penelitiannya mencoba menjelaskan mengenai bagaimana task shifting pada tenaga kesehatan dalam program KB injeksi mempengaruhi pembelajaran masyarakat, proses partisipasi dan transfer pengetahuan untuk memperkuat sistem kesehatan.
Total ada 101 desa yang terlibat, 50 diantaranya dengan tenaga kesehatan dan 51 tanpa tenaga kesehatan yang dievaluasi dengan menggunakan indikator mencapaian layanan ibu dan anak melalui survey demografis. Dengan menerapkan Participatory Action Research (PAR), ia dan timnya antara lain memberdayakan populasi kunci untuk membangun strategi organisasi dan mencari solusi, mengembangkan milestone yang didorong oleh kapasitas lokal dalam menemukan solusi dan learning by doing. Hasilnya, terjadi perubahan sikap dan perilaku masyarakat dari yang tadinya tidak percaya atau bahkan menolak, menjadi menerima dan siap menggunakan alat kontrasepsi injeksi. Namun masih ada tantangan berupa kesinambungan sumber daya hingga pengaruh budaya dan kepercayaan terhadap alat pengatur kehamilan.
Penelitian kedua terkait dengan pengendalian tembakau yang dilakukan atas kerjasama antar sektor di India. Penelitian yang dilakukan oleh Pragati Hebbar (Advocacy Officer, di Institute of Public Health Bangalore, India) dan timnya ini melibatkan kepolisian, pemerintah kota, sektor transportasi, informasi, pendidikan, serta sektor kesehatan itu sendiri. Intervensi yang dilakukan antara lain pemasangan signage dan berbagai petunjuk terkait larangan merokok di area publik dan bus umum oleh polisi dan mengedukasi masyarakat. Pembelajaran yang didapat adalah pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan isu-isu implementasi. Peran yang jelas dalam menginstitusionalisasi implementasi dan meningkatkan motivasi dan kemampuan, serta review secara terus menerus merupakan komponen penting untuk mentransformasi kebijakan ke pelaksanaannya. Diperlukan kepemimpinan dalam sektor pemerintah maupun swasta. Selain itu, pekerjaan yang melibatkan antar-sektor seperti ini membutuhkan perlu selalu didorong secara aktif, perlu jaringan kerja yang nyata serta kerangka kerja kebijakan sebagai pendukung.
Penelitian ketiga yang dipresentasikan oleh Nasreen Jessani, seorang calon PhD di John Hopkins Bloomberg School of Public Health, USA. Penelitian ini sedikit berbeda dengan riset-riset lainnya karena meneliti dari aspek penghasil pengetahuan, yaitu universitas, untuk mencari jawaban apakah ada "broker" pegetahuan akademik di Kenya. Ada enam perguruan tinggi di Kenya yang menjadi tempat penelitian, dimana sebuah eksplorasi terhadap jaringan riset-ke-kebijakan di berbagai fakultas dilakukan. Dari rantai riset ke kebijakan, ternyata pihak-pihak yang terlibat dapat digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu knowledge producers, knowledge brokers dan knowledge users. Di Kenya, yang tergolong penghasil pengetahuan antara lain institusi akademik, Think Tanks, unit penelitian milik pemerintah dan NGOs. Yang tergolong knowledge brokers antara lain media, organisasi advokasi, KT Platforms dan bahkan juga ada institusi akademik. Knowledge users antara lain masyarakat, praktisioner, pengambil keputusan dan pembuat kebijakan serta stakeholder lain (sektor privat dan kelompok lain yang berkepentingan). Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa academic knowledge brokers (AKB) memang benar ada yang berperan menghubungkan antara academic researcher dengan pembuat kebijakan. AKB seringkail bersifat invisible, memiliki posisi yang unik di lingkungan akademis, berkemampuan tinggi serta kredibel. (pea)