Hari 1: The 11th World Congress of International Health Economics Assossiation (iHEA)
Health Economic
Session: Making health economic evidence relevant for policy-makers
By: Likke
Di sesi ini, tim dari the European Observatory on Health Systems and Policies (Euro Observatory) memaparkan beberapa studi yang dilakukan terkait implementasi sistem kesehatan dan kebijakan kesehatan di negara-negara Eropa. Dua studi utama yang dilakukan oleh organisasi ini yaitu: (1) penelitian dengan kerangka vertikal dengan analisa deskriptif mengenai sistem kesehatan di tiap-tiap negara (Health Systems in Transition, HiTs), dan (2) penelitian dengan kerangka horizontal dengan membandingkan indikator-indikator sistem kesehatan antar negara. Richard Busse, kepala department Penelitian Kebijakan di Euro Observatory memaparkan bahwa tantangan terbesar dengan adanya dokumen sistem kesehatan yang sangat komprehensif yaitu apa yang perlu mereka lakukan untuk memperbaiki kebijakan kesehatan di wilayah Eropa.
Peneliti pertama dari Euro Observatory, Franco Sassi, menyoroti tentang nilai keekonomian program pencegahan penyakit kronis dan promosi kesehatan. Di Eropa, prevalensi penyakit tidak menular mengalami peningkatan dan tampak bahwa kematian akibat penyakit tidak menular mengalami peningkatan, terutama di wealth quintile terbawah. Beberapa faktor resiko ditemukan mulai mengalami penurunan, misalnya perilaku merokok, tetapi terdapat tren peningkatan faktor risiko lainnya misalnya pola konsumsi yang kurang sehat serta aktivitas fisik. Profesor dari London School of Economics ini menekankan bahwa sebagian besar faktor risiko dari penyakit tak menular ini dapat dicegah, dan pemerintah dapat turut berupaya mengendalikan faktor-faktor resiko tersebut melalui kebijakan dan peraturan tertentu, diantaranya: peraturan mengenai label makanan, pembatasan distribusi makanan tertentu, serta pengaturan harga produk makanan.
Salah satu bentuk inovasi yang sering diimplementasikan di negara-negara Eropa yaitu promosi kesehatan untuk meningkatkan aktivitas fisik. Beberapa strategi yang dilakukan meliputi penyediaan jalur yang nyaman untuk bersepeda, intervensi pada anak usia sekolah, program yang berbasis di tempat kerja dan intervensi berbasis masyarakat. Salah satu temuan menarik yaitu bahwa penggunaan pedometer untuk menargetkan jumlah langkah kaki dalam sehari lebih efektif untuk meningkatkan aktivitas fisik dibandingkan dengan penargetan durasi aktivitas fisik dalam sehari.
Sassi menegaskan bahwa kombinasi dari beberapa jenis intervensi lebih efektif dibandingkan dengan satu jenis intervensi saja, namun demikian, untuk diterapkan di negara lain, perlu diperhatikan bagaimana situasi dan karakteristik masyarakat di wilayah tersebut.
Di sesi selanjutnya, Ellen Nolte dari London School of Hygiene and Tropical Medicine memaparkan mengenai aspek ekonomi dari integrated care atau penatalaksanaan terintegrasi untuk penyakit tidak menular. Integrated care merupakan pendekatan yang dilakukan untuk manajemen penyakit menular yang bukan hanya berfokus pada kuratif atau penyembuhan, melainkan juga pada upaya preventif untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Integrated care melibatkan jejaring antara fasilitas kesehatan yang berkolaborasi untuk memberikan layanan kesehatan yang optimal bagi pasien penyakit kronis. Nolte memaparkan bahwa penerapan penatalaksanaan terintegrasi di beberapa negara di Eropa ini terbukti cost effective, tetapi belum tentu cost saving. Penerapan penatalaksanaan terintegrasi ini memang dapat memperbaiki kualitas layanan kesehatan pada penyakit kronis bagi pasien, tetapi belum tentu biaya yang dikeluarkan lebih efisien. Oleh karena itu, penting untuk tidak mengaitkan antara layanan terintegrasi ini dengan efisiensi biaya. Implikasinya bagi pemangku kebijakan yaitu perlunya mempertimbangkan tujuan apa yang ingin dicapai apabila seseorang ingin menerapkan prinsip integrated care ini: pelayanan yang lebih baik atau pelayanan yang lebih efisien.
Di sesi selanjutnya, Peter C. Smith dari Imperial College London memaparkan penghitungan dan efisiensi sistem kesehatan. Hal menarik dari penelitian Peter yaitu lebih dari 50% penyebab inefisiensi sistem kesehatan di negara-negara Eropa ini disebabkan karena faktor sumber daya manusia, sehingga sistem kesehatan akan lebih efisien bila petugas kesehatan dididik untuk menjadi lebih pintar dan lebih efisien, hal ini jelas sangat tidak mungkin. Sementara itu, perbaikan kebijakan hanya akan memberi dampak kurang dari 5%.
Dalam hal peningkatan efisiensi banyak tantangan yang akan ditemui oleh institusi kesehatan. Sebagai contoh di rumah sakit, upaya peningkatan efisiensi yang mereka lakukan akan terbentur dari sistem kesehatan yang berlaku di wilayah rumah sakit tersebut, dan sistem kesehatan pun akan terbentur pada sistem pemerintahan secara keseluruhan dari satu negara.
Smith memaparkan adanya berbagai mitos mengenai efisiensi sistem kesehatan, dan sebagai pemangku kebijakan sebaiknya melupakan mitos-mitos yang ada karena fakta yang terjadi di lapangan akan jauh berbeda. Salah satu mitos yang ada yaitu apabila kualitas layanan kesehatan lebih baik, maka performa efisiensi sistem kesehatan juga membaik; hal ini tentunya tidak akan selalu terjadi. Mitos lain yaitu dengan membaiknya efisiensi, maka biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit; menurut Smith, hal ini juga tidak selalu terjadi.
Smith menutup sesi ini dengan menggarisbawahi perlunya menetapkan tujuan dari peningkatan efisiensi kesehatan. Jangan sampai sistem kesehatan ini menjadi lebih efisien, tetapi justru kualitas layanan kesehatan menjadi lebih buruk (lpp).
Economic of Non Communicable Disease
Session: Economics of Non-Communicable Disease in Low-Middle Income Countries
Sesi ini menampilkan tiga presenter dengan fokus studi di bidang penyakit tidak menular (PTM) di negara-negara berkembang.
Para presenter memaparkan secara garis besar mengenai situasi penatalaksanaan PTM di berbagai negara berkembang. Saat ini, PTM cenderung tidak diprioritaskan di negara-negara berkembang karena keterbatasan sumber daya dan banyak negara berkembang yang masih berjuang untuk mengatasi penyakit menular.
David Watkins dari University of Washington menampilkan studi mengenai aspek ekonomi dari tatalaksana kuratif dan preventif untuk penyakit jantung rematik. Watkins memilih penyakit jantung rematik karena ini merupakan salah satu PTM yang berakar dari riwayat infeksi di masa lalu sehingga penyakit ini dapat dicegah dengan tatalaksana medis yang baik untuk infeksi tersebut. Faktor risiko utama dari penyakit ini antara lain higienitas, kondisi perumahan, infeksi Streptococcus yang tidak sembuh tuntas di masa lalu serta tidak tersedianya vaksin di negara-negara berkembang.
Isu mengenai tatalaksana kuratif vs preventif selalu menjadi hal yang menarik diangkat di negara berkembang, karena negara-negara ini memiliki sumber daya yang sangat terbatas untuk tatalaksana kuratif PTM sementara program preventif pun masih lemah. Dari analisisnya, Watkins memaparkan bahwa biaya bedah jantung di negara dapat mencapai USD 25,845 per DALY yang mengakibatkan dampak pada budget sebesar 70.8%. Di negara maju biaya untuk tatalaksana yang sama mencapai USD 33,160, tetapi dampaknya terhadap budget hanya 8.8%. Sementara program preventif di negara berkembang hanya berdampak pada 0.7% budget. Watkins menutup sesi dengan menggarisbawahi bahwa negara-negara berkembang perlu mempertimbangkan menjadikan PTM sebagai prioritas, dengan upaya promotif sebagai nyawa dari program kesehatan yang akan diimplementasikan.
Yevgeniy Goryakin dari University of East Anglia menceritakan hasil analisisnya mengenai dampak globalisasi di bidang ekonomi, politik dan sosial terhadap prevalensi overweight dan obesitas di negara berkembang. Globalisasi dalam bidang ekonomi mayoritas yang disebabkan oleh perdagangan dan pertukaran jasa internasional, dapat berpengaruh pada pola konsumsi di suatu negara. Begitu pula dengan globalisasi di bidang politik, adanya pengaruh politik perdagangan internasional akan berpengaruh pada akses, ekspor dan impor bahan dan produk makanan. Di aspek sosial, interaksi konsumen antar negara pun akan berdampak pada jenis, frekuensi dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Secara keseluruhan, dengan adanya globalisasi, maka konsumsi kalori akan meningkat, yang dapat secara tidak langsung berkaitan dengan prevalensi overweight dan obesitas di suatu negara.
Menurut analisis Goryakin, globalisasi politik dan sosial memiliki korelasi positif dengan angka overweight dan obesitas sedangkan globalisasi ekonomi memiliki korelasi negatif.
Louis Niessen dari Liverpool School of Tropical Medicine memaparkan studi literatur mengenai kaitan antara kemiskinan dan penyakit kronis di negara-negara berkembang, meliputi: hipertensi, diabetes, penyakit jantung coroner, stroke, dan kanker. Dalam analisisnya, Niessen juga memasukkan penelitian-penelitian mengenai faktor risiko penyakit kronis, diantaranya: konsumsi tembakau, alkohol, obesitas, aktivitas fisik, dan malnutrisi. Indikator kemiskinan yang dijadikan parameter antara lain: pendapatan atau pengeluaran rumah tangga serta tingkat pendidikan.
Dari studi tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat bukti yang kuat bahwa kemiskinan berkaitan dengan insidensi penyakit kronis. Namun demikian, studi tersebut tidak dapat mengidentifikasi faktor apa yang menjadi katalisator adanya hubungan antara kemiskinan dan penyakit kronis.