Latar Belakang


bpjs-track

Jaminan Kesehatan Nasional akan dimulai pada tahun 2014 dan secara bertahap menuju ke Universal Health Coverage. Tujuan Jaminan Kesehatan Nasional secara umum yaitu mempermudah masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Perubahan pembiayaan menuju ke Universal Coverage merupakan hal yang baik namun mempunyai dampak dan resiko sampingan. Ketidakmerataan ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan kondisi geografis, menimbulkan masalah baru berupa ketidakadilan diantara kelompok masyarakat. Sebagai gambaran yaitu di Indonesia timur[1]: Di daerah kawasan timur yang jumlah provider-nya terbatas dan aksesnya kurang menyebabkan kurangnya supply (penyediaan layanan oleh pemerintah & pihak lain), sehingga akan muncul kesulitan terhadap akses ke fasilitas kesehatan. Hal ini berimbas pada masyarakat di wilayah Indonesiatimur yang tidak memiliki banyak pilihan untuk berobat di fasilitas kesehatan. Sementara di wilayah Indonesia barat dimana ketersediaan provider-nya banyak, diperkirakaan pemanfaatan provider akan lebih banyak dengan benefit package yang tidak terbatas.Hal yang mengkhawatirkan adalah tanpa adanya peningkatan supply di Indonesia bagian timur, dana BPJS Kesehatan akan banyak dimanfaatkan di daerah-daerah perkotaan dan di wilayah Indonesia Barat. Situasi inilah yang membutuhkan kegiatan monitoring dengan seksama.

Undang-Undang BPJS Nomor 24 Tahun 2011mengamanatkan bahwa lembaga yang melakukan pengawasan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional adalah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan lembaga Independen. Lembaga independen atau yang dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Permasalahannya, sejauh mana peran OJK dalam monitoring pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan.

Masalah lain adalah besarnya reimbustment dari BPJS untuk rumahsakit yang menyangkut besaran tarif jasa medik. Perubahan sistem pembiayaan yang kurang menghargai tenaga kesehatan dan pengelola rumahsakit dapat menurunkan mutu pelayanan. Dengan demikian BPJS mempunyai risiko sampingan antara lain: ketidakadilan geografis karena akses yang tidak seimbang, menurunnya mutu pelayanan,  keluhan masyarakat dan tenaga medis serta manajemen tata kelola rumahsakit. Tatakelola rumah sakit di Indonesia yang belum sepenuhnya BLUD menambah beban pengelolaan tersendiri bagi rumah sakit, dimana akhirnya manajemen rumah sakit akan kembali dihadapkan pada proses akuntabilitas.

Lingkup monitoring dan evaluasi kebijakan SJSN dan BPJS dapat dibedakan dalam dua area besar: (1) Penyediaan Pelayanan Kesehatan; dan (2) Pembiayaan Kesehatan secara menyeluruh[2]. Penyediaan pelayanan kesehatan tergantung pada infrastruktur di masyarakat. Tanpa ada perbaikan infrastruktur dikawatirkan pemerataan pelayanan kesehatan menjadi sulit dan jaminan kesehatan bagi masyarakat merupakan hal yang tidak riil.

Pembiayaan kesehatan secara menyeluruh berhubungan dengan strategi kebijakan pembiayaan yang tidak melalui skema BPJS. Dalam hal ini adalah pembiayaan investasi dan berbagai tindakan medis yang mungkin belum ter-cover oleh BPJS. Disamping itu perlu dibahas mengenai peranan pemerintah daerah dalam memberikan pembiayaan kesehatan.

Permasalahan yang muncul dalam konteks monitoring dan evaluasi sebuah kebijakan adalah apakah kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan ini dapat meningkatkan akses pelayanan kesehatan? Apakah diikuti dengan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada seluruh warga Indonesia dengan asas keadilan? Permasalahan kedua adalah sosialisasi mekanisme pelaksanaan BPJS Kesehatan baik ke provider kesehatan, dokter keluarga, klinik swasta maupun stakeholder yang lain. Pertanyaan ini penting karena sampai saat ini belum ada rencana untuk monitoring dan evaluasi kebijakan secara independen yang berfokus pada akses dan mutu pelayanan dalam konteks pemerataan keadilan pelayanan kesehatan.


[1] Dominirsep Ovidius Dodo MPH
[2] Prof Bhismo Murti