11 January 2017
Selama perjalanan JKN sejak tahun 2014 hingga 2016, masih banyak pemimpin daerah (bupati dan gubernur) yang kesulitan mengakses data yang dimiliki BPJS Kesehatan. Isu inilah yang mengemuka saat dilakukan lunch seminar di Granadi pada Rabu (11/1/2017). Prof. Laksono Trisnantoro berharap agar BPJS mengembangkan sistem agar siapapun yang membutuhkan data BPJS dapat dengan mudah mengaksesnya. Selain itu, banyak kalangan yang berharap agar BPJS lebih terbuka ke depannya.
Lunch seminar ini merupakan pembuka dari sekitar 20-an seminar yang akan diselenggarakan sepanjang tahun 2017. Seminar berikutnya akan diadakan pada 8 Februari 2017. Shita Listyadewi, PhD mengantarkan seminar dengan pernyataan, untuk evaluasi JKN ke depan akan banyak melibatkan sejumlah stakeholder, antara lain BPJS, DJSN, pemerintah pusat, Kementrian Kesehatan, asosiasi profesi, media, asuransi, dan masyarakat. Khusus media, Shita menyatakan, kita dapat bekerja sama dengan media untuk mem-blow up suatu isu agar dapat mempengaruhi pengambil kebijakan dan menggerakkan masyarakat untuk perubahan yang baik.
Evaluasi ini wajar dilakukan, harapannya setelah dievaluasi, program JKN akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jika terdapat perubahan yang akan diusulkan terkait program JKN, maka bisa ditambahkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Namun tentu saja terdapat syarat yang telah ditentukan, salah satunya terjadi kejadian luar biasa, tambah Shita.
Terkait pengawasan, perwakilan dari BPJS yang menyatakan lembaga ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu direksi dan pengawas internal. Komposisinya perwakilan dari pemerintah, pekerja, tokoh masyarakat dan pemberi kerja, masing-masing 2 orang. Kegiatan yang dilakukan pengawas ini yaitu diskusi dan evaluasi. Sementara, untuk pihak manajemen terdapat tim evaluasi eksternal dan evaluasi dilakukan per tahun. Faktanya, harapan dan kesadaran masyarakat sangat tinggi. Sehingga, banyak komunikasi via WA yang masuk dari masyarakat, pemerintah dan stakeholder ke tim pengawas internal BPJS ini. DJSN juga sedang melakukan kaji ulang, agar menemukan road map yang tepat.
Laksono menyatakan tujuan monitoring dan evaluasi (monev) yaitu equity/pemerataan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah yaitu tarif INA CBG’s yang ditetapkan per regional (bisa per kabupaten). Laksono juga mempertanyakan mengapa tarif iuran bulanan peserta kelas 1 hanya 80 ribu dengan unlimited pemakaian?. Faktanya banyak PBPU yang menggunakan dana alokasi milik PBI. Maka, perlu dipertimbangkan agar iur kelas 1 ini naik atau justru orang mampu beralih ke asuransi swasta (W).