14 September 2017
Reportase Hari Kedua
The 4th Indonesian Health Economic Association (InaHEA)
Annual Scientific Meeting & International Seminar on Health Economics
Pleno 1
Strenghtening Primary Care (Policy Direction)
Hari kedua penyelenggaraan “The 4th InaHEA Annual Scientific Meeting and International Seminar, diawali dengan Plenary Session 1 yang mendiskusikan topik Strengthening Primary Care. Dalam sesi ini terdapat tiga orang narasumber, yaitu Fachrurrazi (BPJS Kesehatan), Widodo J.P, dr., M.S.Dr.PH (Universitas Airlangga), dan Dr. Yulita Hendrartini, drg.,Mkes,AAK (Universitas Gadjah Mada). Ketiga narasumber menyampaikan materi yang berkenaan dengan apa saja hal-hal yang menjadi evidence and reason why dalam meningkatkan dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di Indonesia. Tidak hanya dari teori keilmuan yang disampaikan, namun juga dukungan dari keberadaan regulasi serta hasil penelitian secara akademis ditampilkan dalam sesi ini.
Seminar pertama diawali dengan topik yang berkenaan dengan masalah isu pelayanan kesehatan di puskesmas dan dana kapitasi yang mulai disesuaikan dengan adanya pengukuran dalam Kapitasi Berbasis Komitmen (KBK) yang sudah mulai diberlakukan pada 2016. Strategi KBK ini merupakan salah satu bentuk pemicu giatnya puskesmas dalam mencapai indikator-indikator yang dinilai dalam menentukan besaran kapitasi yang mereka terima. Indikator yang dimaksud antara lain angka kontak, rujukan non spesialistik, prolanis, dan kunjungan rumah. Pencapaian indikator ini akan mempengaruhi jumlah penerimaan kapitasi Puskesmas. Hal ini dinilai sebagai salah satu bentuk pembayaran kapitasi berbasis dengan kinerja FKTP.
Namun, perlu diketahui dalam pelaksanaannya, proses KBK ini memiliki beberapa tantangan, antara lain masih terdapat penolakan FKTP dan pemangku kepentingan untuk melaksanakan KBK, karena khawatir akan ada penurunan kapitasi, padahal disisi lain hal ini dapat memacu FKTP untuk dapat berupaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Tantangan lain adalah belum semua FKTP (selain Puskesmas) memenuhi kriteria untuk melaksanakan KBK, belum tertibnya pencatatan pelayanan dalam primary care (P-Care) dan tidak semua peserta membawa kartu BPJS untuk identifikasi.
Kondisi lain yang memiliki kesinambungan dengan keadaan ini adalah mulai dilihatnya sisi kepuasan pasien dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan. Faktanya, FKTP di Indonesia masih mengalami beberapa masalah dan kendala seperti kondisi geografis masyarakat yang berbeda-beda, ketersediaan petugas kesehatan yang pada beberapa daerah masih mengalami keterbatasan dan bahkan kekurangan tenaga, kebutuhan kesehatan dari masyarakat yang sangat bervariasi, dan akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang terdekat di areanya. Permasalahan ini semakin lengkap dengan adanya masalah bahwa beban kerja puskesmas, khususnya di wilayah padat penduduk sangatlah besar karena jumlah penduduk dan rasio nya terhadap tenaga kesehatan yang tidak ideal, serta adanya tuntutan terhadap tugas upaya kesehatan amsyaraat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP). Sebagai catatan bahwa UKM dan UKP ini harus memiliki “jalur” tersendiri yang terpisah namun terintegrasi. Jika ada keterbatasan SDM dan beban kerja yang besar harus dihadapkan pada setiap puskesmas/FKTP yang lain, maka kedua upaya ini akan sulit dijalankan secara optimal. Profil puskesmas saat ini masih banyak yang kuratif, dan minim sekali tenaga promosi dan preventifnya. Ada sebuah diskusi dengan dokter di wilayah Bantul, Yogyakarta, bahwa ada baiknya jika puskesmas dipisahkan untuk fungsi UKM dan UKP-nya. Penilaian terhadap beban kerja dan rasio utilisasi ini dapat menjadi masukan untuk besaran norma kapitasi di FKTP.
Secara umum, beberapa hal yang diperlukan untuk melakukan reformasi perubahan untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama di Indonesia, antara lain melakukan perbaikan dalam sisi kebijakan publik, cakupan jaminan kesehatan nasional, proses pelayanan kesehatan yang efektif dan berkualitas, serta reformasi kepemimpinan dan manajerial dalam lingkup FKTP.
Materi:
Dr. Yulita Hendrartini, drg.,Mkes,AAK
Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes
Pleno 2
Critical Need on HTA Implementation
Pada bagian pengantar sesi kedua InaHEA, Dr drg. Mardiati Nadjib, M.S menjadi moderator untuk Reem Hafez dari World Bank dan Professor Anthony Culyer dari UK. Pembicara pertama yaitu Reem Hafez, adalah seorang praktisi kesehatan bekerja di World Bank dan saat ini sedang studi di program S3 Universitas Oxford. Reem dalam kesempatan ini berbicara tentang efisiensi dalam konteks keterbatasan sumber daya. Reem menekankan bagaimana menmanfaatkan sumber daya secara maksimal. Efisiensi sendiri dapat ditemukan dengan cara adanya pengendalian antara input-output dan adanya benchmarking. Meskipun benchmarking sendiri dapat memberikan estimasi seberapa efisisen penggunaan sumber daya tetapi belum menjawab cara meningkatkan efisiensi.
Di sisi lain, Reem memaparkan bahwa dengan mecoba beberapa jenis/model intervensi akan memberikan sebuah garis yang mengerucut pada model yang paling ideal. Secara khusus, Reem menjelaskan hal yang perlu diprhatikan dalam benchmarking seperti ketersediaan data, analisis perbandingan model, pemahaman terhadap data, serta perlu adanya sistem yang digunakan untuk mengimplementasikan hasil identifikasi.
Kesempatan berikutnya diberikan pada pembicara kedua, yang berasal dariUniversity of York and iDSI, Professor Anthony Culyer membawakan Health Technology Assessment (apakah kita harus melakukan ini?). Beliau ingin mengenalkan sebenarnya HTA itu apa dan apakah memang dibutuhkan. Beberapa poin yang disampaikan Anthony mencoba memberikan pemahaman terhadap peran dari HTA. Poin pertama bahwa HTA akan memberikan masukan kepada penentu kebijakan dalam membuat keputusan serta meyediakan logical framework yang lebih konsisten (science based and value-laden). Kedua, peran ahli ekonomi yang terkait cost-efective dan pertimbangan keterbatasan budget. Ketiga, apakah HTA bisa lebih hemat dan kredibel?. Hal itu dapat dilakukan dengan mencontoh model dari negara tetangga, mendapatkan fasilitasi dari profesor atau ahli dengan mengembangkan systematic review.
Materi:
Reporter: Faisal Mansur
Pleno 3
Global experiences on Health Technology Assessment (HTA)
Francuz ruiz (UK) adalah senior adviser untuk Global Health and Development Group di Imperila College London. Ruiz juga telah bekerja selama lebih dari lima tahun pada manajemen data klinis dan ekonomi kesehatan di sektor faramasi. Kesempatan ini, beliau berbagi mengenai pengalaman tentang kesuksesan UK dalam implementasi HTA dimana sudah dimulai selama beberapa dekade yang lalu. Saat ini pendekatan yang terapkan oleh HTA beradasarkan kompetisi dan kontrak. Di awal millennium, National Institue for Health Care and Excellence (NICE) didirikan dan membawahi HTA. NICE sendiri didirikan untuk mengurangi banyak variasi dari ketersediaan dan kualitas layanan kesehatan, mendapatkan model praktik-prakik yang terbaik, serta meningkatkan komitmen pemerintah untuk perbaikan kualitas. Sehingga hingga saat ini, NICE menjadi salah satu unsur penting dalam sistem kesehatan di UK.
Pembicara kedua disampaikan oleh Waranya Rattanavipapong dari Mahidol university. Ibu Waranya juga bercerita mengenai pengalaman HTA di Thailand, terkhusus pada pelaksanaan dan tantangan implementasi HTA. Beliau mengemukakan dengan memberikan contoh pada renal dialysis di Thailand. Pada awal tahun 2000an renal dialysis tidak dimasukkan dalam paket manfaat UHC. Keadaan ini mendorong untuk dilakukan penelitian secara mendalam untuk menilai seberapa besar permintaan dan kebutuhan tehadap renal dialisis yang ternyata juga mengeluarkan biaya yang sangat tinggi. Untuk itu para peneliti menggandeng banyak stakeholder untuk menguatkan rekomendasi. Sehingga pada akhirnya renal dialysis dimasukkan ke dalam paket UHC di Thailand. Setelah kebijakan ini dibuat, ternyata memang terjadi kenaikan penggunaan renal dialysis di fasilitas kesheatan di Thailand. Namun hal ini memang perlu kehati-hatian dalam memutuskan dan memprioritaskan paket dalam UHC terutama berhubungan dengan anggaran.
Prof iwan Dwi Prahasto dr.,M.Med.Sc, sebagai pembicara ke tiga memberikan pengantar tentang adanya successful rate dalam produksi dan pengembangan obat. Beliau menekankan bahwa meskipun sangat banyak obat yang diproduksi dalam suatu waktu, hanya sedikit saja yang edektif terhadap pengguna. Salah satu contoh yang diberikan adalah penggunaan interferon pada seluruh pasien hepatitis C, dimana kebijakan pada dasarnya tidak semua pasien akan cocok dengan obat ini. Sehingga beliau merekomendasikan untuk melakukan review terhadap obat-obatan yang diproduksi. Terdapat dua pendekaatan yang bisa digunakan, pertama dengan malkukan riset. Namun melakukan riset terhada obat akan memakan waktu dan biaya yang besar. Cara kedua adalah RCT dengan model Real World Evidence, model RWE ini adalah pencatatan efek pada pasien yang diobati secara langsung di klinik/faskes. Ini akan lebih efisien dibandingkan dengan riset obat tertentu
Pembicara terakhir pada sesi ini adalah Pak Armansyah MPPM (Kabid kendali mutu dan biaya kementrian kesehatan). Pak Arman menyatakan bahwa HTA di indonesia sudah mulai dijalankan berdasarkan peraturan presiden nomor 12. Meskipun sudah dimulai pada 2014, tetapi masih banyak kendala yang dihadapi oleh pemerintah. Salah satu isu terbesar adalah budget di mana jika menggunakan APBN akan sangat berat untuk diimplementasikan.
Materi:
Waranya Rattanavipapong, M.Sc.
Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD
Reporter: Faisal Mansur
Pleno 4
Lunch Symposium : Young Health Economist
Sesi ke-4 hari ini (14/9/2017) dalam The 4th InaHEA Annual Scientific Meeting and International Seminar, merupakan sesi yang menarik, yang mempertemukan para health economist muda yang berbagi informasi dan pengalaman riset di bidang ekonomi kesehatan. Dengan empat narasumber yaitu Septiara Putri (Universitas Indonesia), Novat Pugo Sambodo (Universitas Gadjah Mada), Achmad R. Muttaqien Al-Maidin (Universitas Hassanuddin), dan Kalman Wijaya (Abbott Indonesia). Sesi ini mengulas tentang isu-isu yang menjadi interest bagi keempat narasumber tersebut. Sehingga, sesi ini menggambarkan variasi dalam topik yang disampaikan.
Dalam sejarah pelaksanaan InaHEA, sesi ini merupakan event pertama yang dapat menjadi titik awal dari regenerasi para ahli ekonomi kesehatan, dari yang senior ke yang muda. Para narasumber terlihat memiliki latar belakang motivasi yang sama sebagai alasan mengapa tertarik dengan ekonomi kesehatan. Secara implisit terlihat bahwa mereka berusaha mengembangkan dan memperkaya ilmu serta pengalaman dalam bidang ekonomi kesehatan yang diharapkan dapat diimplementasikan dalam menyelesaikan masalah-masalah kesehatan khususnya yang berkenaan dengan cost di Indonesia. Beberapa topik riset yang ditampilkan dalam sesi ini antara lain Economic Evaluation in Health Technology Assessment (HTA) oleh Septiara Putri, Geographical Distribution of Healthcare Utilization in Indonesia oleh Novat Pugo Sambodo, dan Clinical Pathway Implementation : Improve Quality While Reducing Costs of Service oleh Achmad R. Muttaqien Al-Maidin.
Hal ini menjadi kabar baik dalam mengawal trend health economist yang lebih terspesialisasi dan menambah subkeahlian yang lebih banyak dan bervariasi di Indonesia. Motivasi dalam melakukan riset-riset yang berkaitan dengan health economy, harus dipertahankan dan mengarah pada topik dan isu apa saja yang saat ini ada di Indonesia dan dapat dilakukan oleh lembaga akademis ataupun lembaga penelitian di Indonesia.
Materi:
Septiara Putri (Universitas Indonesia)
Novat Pugo Sambodo (Universitas Gadjah Mada)
Achmad R. Muttaqien Al-Maidin (Universitas Hassanuddin)
Kalman Wijaya (Abbott Indonesia)
Reportase : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes
Pleno 5
Multiple Criteria Decision Analysis
Prof Budi Hidayat sebagai moderator dalam salah satu sesi khusus rangkaian kegiatan InaHEA ke-4 memberikan wacana awal tentang multi criteria decision analysis (MCDA) dalam pengelolaan dan pengadaan obat di Indonesia. Oleh karena itu, Budi mengundang satu per satu pakar untuk memberikan pengalaman dan pandangan utamanya dalam melihat potensi implementasi model MCDA ini di Indonesia.
Pakar pertama yang diundang dalam sesi ini adalah Dr Andras Inotai. Andras mengenalkan terlebih dahulu tentang MCDA. Andras memaparkan bahwa lebih dari 60% obat-obat terlarang (OPP) beredar di pasar negara berkembang adalah tidak resmi. Multi Criteria Decision Analysis (MCDA) merupakan sebuah pendekatan yang berbasis teknologi untuk mengevaluasi OPP, meskipun masih tergantung pada kebijakan dan keputusan stakeholder. Metode MCDA diyakini bisa lebih konsissten dan transparan dalam mendukung kebijakan kesehetan. MCDA dikerjakan oleh para expert dimana validasi dilakukan secara terus menerus. Sedangkan pengembangan MCDA ini dilakukan dengan mengembangkan tools melalui penelitian kemudian membahas kerangka kebijaknnya, serta yang paling penting adalah penetapan kebijakan untuk implementasi tools tersebut. Namun perlu diperhatikan, dihimbau untuk mengadakan pilot sebelum diimplementasikan secara massal, serta tetap harus memperhatikan situasi politik di sebuah negara.
Prof. dr. Hasbullah Thabrany,MPH.,Dr.PH sebagai pembicara kedua mengemukakan pendapatnya bahwa MCDA telah diimplementasikan di Indonesia meskipun kelihatannya hanya berbeda nama sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang SJSN. Menurut Hasbullah, malah isu yang penting saat ini adalah perlunya pengembangan BPJS yang akuntabel dan transparan. Selain itu pengawasan masih tetap perlu ditingkatkan. Untuk menciptakan sistem MCDA, maka perlu me-review kembali regulasi dahulu dan isu-isu yang masih bermasalah.
Sedangkan Dr Ir Agus Prabowo M.Eng dari LKPP juga menyambut baik model pendekatan ini. Agus menyatakan bahwa metode MCDA dapat diterapkan jika memang dapat mengakomodasi kebutuhan kita. Hanya perlu sebuah pilot yang baik dengan spesifik farmasi kemudian baru bisa diusulkan kepada pemerintah. Jika memang berhasil, maka pemerintah akan sangat senang untuk mendukung implementasinya. Dalam pendapat Agus sendiri, sebenarnya sistem dasar MCDA ini sudah ada di Indonesia, hanya memerlukan peningkatan kualitas.
Pembicara keempat yaitu Prof. Maznah Dahlui dari University of Malaya juga menceritakan tentang situasi dan potensi pengembangan MCDA di Malaysia. Situasi pembiayaan dan pengelolaan obat di Malaysia juga hampir sama dengan Indonesia dimana anggarannya juga disediakan oleh Kementrian Malaysia. Maznah menuturkan bahwa Malaysia juga belum menerapkan sistem MCDA ini, sebab sistem ini memang lebih sedikit kompleks di mana sumber daya di Malaysia juga masih sangat terbatas untuk menerapkannya.
Materi:
Prof. dr. Hasbullah Thabrany,MPH.,Dr.PH
Dr Ir Agus Prabowo M.Eng
Reporter: Faisal Mansur, MPH
Pleno 6
Patient Right to Access Quality Health Treatment
Masih dalam rangkaian The 4th InaHEA Annual Scientific Meeting and International Seminar, dalam sesi seminar yang ke-6 (14/09/2017) mengambil topik yang berkenaan dengan hak pasien dalam mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas. Secara lebih detail, dalam presentasi narasumber yang ada, topik ini lebih spesifik pada isu ketersediaan obat, kendala dalam pengadaan obat, pemanfaatan obat, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengajukan permintaan obat (pengadaan). Dalam sesi ini terdapat empat orang narasumber yaitu Prof. Iwan Dwi Prahasto, d., M.Med.Sc.,Ph.D (Universitas Gadjah Mada), Dr. Kuntjoro AP.,M.Kes (PERSI), Prof. Budi Hidayat (Universitas Indonesia) dan Evie Yulin (Vice Chairwoman IPMG / Head of SubCom Market Access IPMG / Country Manager PT. Merck Indonesia). Sesi ini mempertemukan para narasumber dari sisi akademis, industri obat, dan dari perhimpunan rumah sakit indonesia.
Topik ini dibuka dengan menunjukkan latar belakang permasalahan yang berkenaan dengan jumlah peserta BPJS Kesehatan yang semakin bertambah setiap tahunnya. Hal ini ternyata sangat memberikan efek terhadap utilisasi pelayanan kesehatan yang juga turut meningkat. Kondisi ini akhirnya mendorong adanya identifikasi terhadap pemanfaatan obat yang diresepkan oleh dokter. Di lain pihak, apakah masyarakat/pasien memiliki pemahaman yang utuh mengenai apa efek samping dari obat yang dikonsumsi?. Secara sistem, lebih luas lagi terdapat peran dari stakeholder dalam me-manage ketersediaan, permintaan, persetujuan, dan distribusi obat, serta kepuasan atau efeknya di masyarakat/pasien.
Efektivitas dalam menyusun perencanaan kebutuhan obat dan juga jumlah obat yang dikeluarkan, jika ada sistem kontrol yang baik dan sesuai dengan aturan, maka dapat menekan kondisi pembayaran BPJS Kesehatan yang terlalu besar, tetapi tidak memiliki efek terhadap hak pasien dalam memperoleh pelayanan yang tepat dan kepuasan pasien. Kualitas pelayanan juga harus diperhatikan, baik dari sisi ketersediaan obat, pemberian dalam dosis dan cara yang tepat pada pasien, keselamatan pasien dan efek samping obat yang mungkin ada, juga harus diperhatikan. Dari hasil pengamatan yang ada, disampaikan oleh Prof. Budi Hidayat untuk kasus INA-CBGs , disampaikan bahwa pasien JKN relatif menerima obat inferior (lebih murah dan lebih sedikit), tetapi hal baiknya adalah peserta JKN menerima lebih banyak obat generik dan minim antibiotik. Bisa jadi, dalam konteks pembiayaan JKN, penggunaan obat yang lebih rasional saat ini mulai terlihat.
Hal ini diharapkan dapat menjadi upaya perbaikan bagi sistem farmasi di Indonesia dan dapat menjawab harapan stakeholder rumah sakit (disampaikan oleh Dr. Kuntjoro AP.,M.Kes dari PERSI) bahwa rumah sakit dapat melayani pasien secara aman dan bermutu, serta semua kebutuhan obat dan alat kesehatan/alkes (perbekalan farmasi) untuk pasien tersedia pada waktu dan jumlah yang tepat serta efektif.
Materi:
Prof. Iwan Dwi Prahasto, d., M.Med.Sc.,Ph.D (Universitas Gadjah Mada)
Evie Yulin (Vice Chairperson IPMG)
Dr. Kuntjoro AP.,M.Kes (PERSI)
Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes
Pleno 7
Economics of Tobacco and Tobacco Control
Sesi terakhir The 4th InaHEA Annual Scientific Meeting and International Seminar (14/09/2017), ditutup dengan isu kesehatan yang berkaitan dengan masalah konsumsi rokok di Indonesia. Narasumber dalam sesi ini terdiri dari tiga orang, yaitu Prof. Hasbullah Thabrany, dr.,MPH.,Dr.PH (Universitas Indonesia), Prof. Budi Hidayat (Universitas Indonesia), dan Abdillah Ahsan, SE.,MSE (Universitas Indonesia). Sesi ini dirasa menjadi sesi yang sangat menarik karena permasalahan rokok sampai dengan saat ini masih belum dapat diredam, baik dari sisi promosi rokok, konsumen rokok yang menyasar usia muda dan perempuan, serta tidak ketinggalan, masalah kesehatan yang ditimbulkan karena rokok dan memerlukan biaya yang tidak sedikit dalam pengobatannya. Ditambah lagi dengan kondisi bahwa para perokok pasif juga dapat terkena masalah kesehatan, padahal tidak merokok.
Diawali dengan isu tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), merupakan suatu bentuk upaya global dalam mengendalikan masalah tembakau (rokok) yang diikuti oleh seluruh negara anggota PBB. Namun tidak semua negara ikut meratifikasi FCTC ini, dan salah satunya adalah Indonesia. Padahal kondisi di masyarakat, dari data yang ditampilkan dalam presentasi sesi ini terlihat bahwa populasi perokok di Indonesia sangat tinggi dan ini secara langsung meningkatkan kasus penyakit cardiovasculer. Kondisi ini kemudian dikaitkan dengan berbagai macam faktor determinan terkait dengan harga rokok yang terlalu murah, regulasi pengendalian rokok yang masih belum terasa implementasi dan sanksinya, serta mudahnya generasi muda saat ini tertarik dan mencoba rokok.
Meningkatnya jumlah konsumsi rokok di masyarakat menjadi salah satu bukti belum berhasilnya pemerintah dalam mengubah dan mengkondisikan masyarakat untuk berperilaku hidup lebih sehat (iklan rokok masih gencar, promosi kesehatan sangat minim, gambar peringatan bahaya rokok hanya 40% dari kemasan, belum adanya ketegasan dalam menaikkan harga dan pajak rokok) , di masyarakat rokok sudah menjadi budaya/kebiasaan yang wajar, kuatnya peran dari industri rokok terhadap pemerintah dan policy maker, dan kurangnya kesadaran secara individu dan masyarakat akan pola hidup sehat dan menghindari rokok.
Disadari bahwa pangsa pasar yang besar dari industri rokok, membuat perlawanan terhadap kondisi ini menjadi sangat berat. Mengurangi permasalahan rokok pada akhirnya memerlukan beberapa langkah tegas untuk dapat memperkuat dan memfasilitasi perubahan perilaku masyarakat dari gaya hidup tidak sehat menjadi gaya hidup sehat (merokok menjadi tidak merokok), mengoptimalkan promosi kesehatan akan bahaya penyakit yang mengancam hidup jika kebiasaan merokok tidak dihentikan, kontrol dari sisi pajak dna harga rokok, memberikan pemahaman yang kuat bahwa cost yang dikeluarkan untuk membeli rokok akan setara dengan berapa banyak untuk membeli bahan makanan yang sehat (telur, beras, dll), serta mencoba menetapkan win-win solution bagi pemerintah, masyarakat sehat, dan industri rokok saat ini.
Materi:
Prof. Hasbullah Thabrany, dr.,MPH.,Dr.PH (Universitas Indonesia)
Abdillah Ahsan, SE.,MSE (Universitas Indonesia)
Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes