Refleksi 2015 dan Outlook Kebijakan Pembiayaan
Kesehatan tahun 2016 di Indonesi
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah bagian Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dilaksanakan secara bertahap oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menuju Universal Health Coverage (UHC) yang diselenggarakan mulai 1 Januari 2014. Community of Practice (CoP) sendiri merupakan komunitas dari berbagai peminat yang concern untuk membahas suatu topik sebagai bagian dari penyebaran pengetahuan dan informasi penting terkait isu – isu yang sedang berkembang. Anggota CoP akan mendiskusikan berbagai hal terkait salah satu isu pembiayaan kesehatan dan JKN di Indonesia secara terfokus. Bapak/ Ibu dapat mengakses informasi selengkapnya melalui link berikut :
Pendahuluan
Diskusi Outlook 2016 sektor pembiayaan kesehatan telah digelar pada Kamis (14/1/2016) di kampus Fakultas Kedokteran, UGM. Pembukaan dilakukan oleh Prof. Laksono Trisnantoro yang menyampaikan bahwa pada tahun 2014 dan 2015 terdapat kekurangan pembiayaan dalam bidang kesehatan karena dipergunakan oleh BPJS Kesehatan untuk memulai program JKN. Dalam BPJS Kesehatan belum ada kompartemen antara dana dari PBI, PPU dan PBPU, sehingga akan tercampur menjadi satu dan kemudian dipergunakan oleh semua peserta BPJS Kesehatan tanpa memandang asal peserta tersebut.
Tahun 2007 hingga 2016 GDP naik dengan sangat pesat, namun pendapatan dari pajak tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal tersebut akan menimbulkan pertanyaan apakah negara berhak untuk memberikan subsidi kepada penduduk yang kaya. Terjadi perdebatan publik, dimana menurut Walfare State maka negara berkewajiban memberikan fasilitas ke seluruh penduduk tanpa memandang apakah kaya atau miskin, sedangkan menurut Market maka negara seharusnya mengurangi pendapatan untuk tujuan sosial.
Fasilitas dan tenaga kesehatan tiap tahun cenderung mengalami peningkatan untuk region 1, dimana kita ketahui bahwa region 1 merupakan kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa, sehingga klaim dengan biaya tinggi untuk INA-CBG’s mayoritas terjadi di region 1. Biaya terbanyak untuk perawatan kesehatan di rumah sakit merupakan pasien Non PBI.
Pada sesi diksusi, Yulianto Prabowo (Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah) menjelaskan bahwa saat ini dalam penurunan angka kematian dan kesakitan saat ini pemerintah masih mengarah ke hilir, sehingga dimungkinkan SDG’s tidak akan tercapai jika terus cenderung ke hilir. Saran yang dianjurkan ialahsebaiknya diperbaiki untuk bagian hulunya, dimana memperbaiki pemikiran masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan dengan tindakan promotif preventif yaitu memperkuat UKM salah satunya dengan perbaikan pembiayaan UKM yang masih kecil. Saat ini UKP sudah dilakukan dengan sistem berjenjang, namun untuk UKM hanya sampai pada pelayanan dasar, belum ada sistem untuk rujukan bagi UKM.
Budihardja Singgih dari AIPHSS menambahkan bahwa UHC Indonesia harus berasaskan keadilan, namun saat ini pemerintah masih cenderung dalam tindakan kuratif, sedangkan untuk promotif dan preventif masih sangat kurang. Sehingga akan muncul pertanyaan bagaimana sikap pemerintah dalam menghadapi MEA yang sudah dimulai dari tahun 2016.
Kendala dialami oleh Dinas Kesehatan Kulon Progo dimana dana Jampersal difungsikan untuk mendekatkan dalam akses, seperti pengadaan rumah tunggu bagi tenaga kesehatan dan nominal untuk dana tersebut sangat besar, sementara untuk di DIY sendiri akses tersebut sudah tidak menjadi masalah, sehingga akan menyebabkan dana tersebut tidak dapat terserap karena terbentur aturan. Masalah lain yakni masih terdapat daerah dimana pasien masih memerlukan pemeriksaan di dokter swasta, dikarenakan pelayanan di puskesmas yang masih belum optimal. Sehingga seharusnya pemerintah membuat aturan dimana dokter yang sudah praktek di rumah sakit atau puskemas tidak diperkenankan memberikan pelayanan secara swasta.
Bukan hanya di Yogyakarta, melainkan juga di Tolikara Papua juga mengalami kendala dalam hal kapitasi yang kita ketahui bahwa hitungannya berdasarkan jumlah peserta, tidak memperhitungkan masalah akses. Padahal di Papua untuk jumlah peserta memang sedikit tapi justru akses yang susah. Biaya untuk menjangkau salah satu puskesmas bisa mencapai Rp. 25 juta. SDMK juga masih sangat kurang, dari 25 puskesmas yang ada hanya 4 puskesmas yang memiliki dokter sehingga akan sangat berlawanan dengan yang terjadi di Pulau Jawa.
Reporter: Wisnu Damarsasi
Materi 1
Sambutan dan pembukaan mengenai refleksi tahun 2015 sektor kesehatan dan pembiayaan kesehatan di Indonesia yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D dilanjutkan dengan sesi outlook kebijakan pembiayaan kesehatan dan JKN. Sesi yang dimoderatori oleh Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes ini diawali oleh materi dari M. Faozi Kurniawan, SE. AKt, MPH dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran - Universitas Gadjah Mada.
Sebagai salah satu fungsi sistem kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan menjadi kerangka kerja kebijakan JKN. Sebagai pendahuluan, beliau menyampaikan beberapa hal terkait nawacita menuju 5% APBN, kesiapan layanan primer selama dua tahun JKN, dan pendanaan UKM-UKP di tengah sistem pembiayaan JKN. Faozi menyimpulkan beberapa refleksi yang dapat dipelajari antara lain : kompleksitas sistem pendanaan kesehatan, pendanaan UKM - UKP, koordinasi antar lembaga, kesiapan sistem kesehatan, revenue collection dan adverse selection, risk pooling dan equity, kelangsungan sistem JKN, supply side readiness, cap benefit package, sampai dengan perencanaan dan penganggaran di daerah.
M. Faozi menyampaikan beberapa hal yang perlu diperhatikan di tahun 2016 diantaranya : implementasi kenaikan anggaran kesehatan termasuk untuk promotif dan preventif, integrasi Jamkesda, peran pemerintah daerah, sampai dengan 3 tahun kebijakan JKN. Beliau juga menekankan adanya kemungkinan anggaran kesehatan tahun 2016 baik dari APBN, pemerintah daerah, masyarakat (out of pocket) atau yang masuk ke BPJS Kesehatan. Menurut beliau, penguatan sistem perencanaan dan penganggaran serta pengembangan knowledge management melalui community of practice menjadi beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjawab tantangan dan peluang untuk pembiayaan kesehatan di tahun 2016.
Reporter : Budi Eko Siswoyo, MPH
Materi 2
Menyikapi refleksi dan outlook kesehatan, Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes mempersilahkan Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD dari Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Beliau memfokuskan terhadap bahasan mengenai pembangunan kesehatan dan gizi masyarakat 2016 dan outlook 2017. Sebagai salah satu arah penganggaran RKP 2016, beliau menyampaikan bahwa pelaksanaan UU No. 23/ 2015 dimulai dengan pengalihan sebagian kegiatan dari alokasi pusat ke DAK yang berimplikasi pada peningkatan alokasi DAK bidang kesehatan dan keluarga berencana.
Menurut Pungkas Bahjuri, pembiayaan promotif dan preventif; sinkronisasi anggaran; dan JKN sebagai bagian sistem kesehatan menjadi beberapa isu strategis 2016-2017 yang juga menjadi bagian dalam kerangka konsep RPJMN 2015-2019. Menyikapi kenaikan anggaran transfer daerah, beliau juga menjelaskan menu atau ruang lingkup dari DAK kesehatan untuk sub bidang pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesehatan rujukan, dan pelayanan kefarmasian.
Meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat, pengendalian penyakit menular dan tidak menular, dan meningkatkan pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan dan sumber daya kesehatan merupakan beberapa sasaran pokok yang dijelaskan oleh beliau. Di akhir sesi, beliau juga menekankan beberapa indikator, target tahun 2016, dan target RPJMN 2015-2019.
Reporter : Budi Eko Siswoyo, MPH
Pembahasan & Diskusi
Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah menyampaikan bahwa saat ini Jawa Tengah memiliki balai kesehatan masyarakat yang merupakan rujukan nasional bagi UKM. Sementara di Solo balai kesehatan masyarakat justru telah berubah menjadi rumah sakit, dimana masyarakat saat ini sangat membutuhkan UKM karena UKP saat ini sudah mencukupi.
M. Nafi dari Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa pada tahun 2015 untuk DAK masih criteria based dimana pemerintah pusat memiliki suatu kriteria untuk penentuan yang layak untuk mendapatkan DAK yang ditransfer melalui RKUN kemudian dilanjutkan RKUD. Sementara untuk DAK tahun 2016 menggunakan proposal based, sehingga prosesnya bottom up dari pemerintah daerah mengajukan proposal ke pemerintah yang kemudian prosesnya top down apakah sesuai dari target pemerintah pusat. DAK tidak hanya dalam bentuk fisik, namun untuk non fisik juga seperti dana untuk tenaga kesehatan yang dipergunakan melakukan kegiatan door to door supaya masyarakat dapat mendapatkan pelayanan kesehatan. Pagu DAK tahun 2015 mencapai RP. 6,18 trilyun namun baru diserap sebesar Rp. 2,87 trilyun atau sekitar 46,41% untuk realisasi. Keterlambatan penyerapan DAK salah satunya karena pembahasan di DPR yang terlalu panjang dan gagal lelang.
Bob Sagala dari Kementerian Dalam Negeri menyampaikan bahwa SPM (Standar Pelayanan Minimal) menjamin individu untuk mendapat pelayanan dasar sesuai UU No. 23 tahun 2014. Kemendagri bekerjasama dengan Bapenas mendorong daerah untuk melaksanakan sesuai aturan. Penguatan Gubernur sebagai wakil pemerintah, sehingga Gubernur akan menyadari kapan fungsi otonominya dapat dilaksanakan.
Permasalahan terjadi pada Dinas Kesehatan DIY dimana dengan adanya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka terjadi peningkatan pembiayaan kesehatan dimana kenaikan minimal 5% untuk APBN dan minimal 10% untuk APBD. Dengan adanya kenaikan DAK tersebut, maka pemda masih mengalami kendala dalam pengelolaannya. Permasalahan di daerah lain yakni apabila dana dari pusat turun maka dana dari APBD tidak keluar lagi, padahal tujuan DAK dari pusat merupakan suatu bantuan untuk daerah. Kecenderungan tersebut karena daerah merasa sudah diberikan biaya dari pusat.
BOK naik 2 kali lipat namun penyerapan tidak baik karena tidak memiliki data based untuk perencanaan serta tidak mempunyai SDM yang cukup, sehingga tidak tahu apa yang akan dikerjakan, contohnya promkes tidak hanya memeberikan informasi tentang kesehatan tapi juga mengedukasi masyarakat hingga merubah perilaku menjadi lebih baik. SDM banyak yang memiliki tugas rangkap atau double job, sehingga mengakibatkan penyerapan dana rendah. Pembiayaan meningkat harus dibarengi dengan jumlah dan kapasitas yang meningkat agar penyerapan baik, dan struktur rujukan supaya dibenahi. Peran Dinkes provinsi yaitu untuk merumuskan bagaimana pemanfaatan dana kesehatan yang meningkat. Masalah kesehatan tidak bisa diselesaikan oleh kesehatan sendiri, namun perlu dilakukan dengan lintas sektor.
Reporter: Wisnu Damarsasi
Penutup
Sebagai penutup seminar refleksi 2015 dan outlook 2016 tentang kebijakan pembiayaan kesehatan, M. Faozi Kurniawan, SE. AKt, MPH menyimpulkan beberapa pembelajaran terutama dalam merespon kenaikan anggaran kesehatan tahun 2016. Beliau juga menekankan pentingnya memperkuat perencanaan dan penganggaran sektor kesehatan di daerah beserta peran lintas sektor di dalamnya. Dukungan dari akademisi, praktisi, organisasi profesi, dan lembaga-lembaga kesehatan yang lain menjadi sangat penting untuk menindaklanjuti refleksi dan outlook yang telah dibahas sebelumnya.
Menurut M. Faozi, optimalisasi pembiayaan promotif preventif dan upaya dalam monitoring evaluasi kebijakan pembiayaan kesehatan dan program JKN juga perlu didukung dengan keterlibatan Community of Practice (CoP). CoPs are groups of individuals with shared interests that come together in person or virtually to tell stories, to share and discuss problems and opportunities, discuss best practices, and talk over lessons learned (Wenger, 1998; Wenger & Snyder, 1999).
Menindaklanjuti dua unsur utama terkait kesamaan minat dan media diskusi untuk lesson learned dalam CoP, maka Faozi menjelaskan bahwa PKMK FK UGM sedang mengembangkan diskusi virtual untuk perbaikan kebijakan di reformasi pembiayaan kesehatan dan JKN di Indonesia. Menurut beliau, dua jenis CoP utama yang dapat diakses di http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ terdiri dari CoP Kebijakan Pembiayaan Kesehatan (BOK, DAK Kesehatan, dekonsentrasi) dan CoP Kebijakan JKN (skenario penyelenggaraan JKN, equity dalam program JKN, termasuk hasil studi monev JKN yang salah satunya terkait pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi).
Reporter : Budi Eko Siswoyo, MPH
Diskusi Outlook 2016 sektor pembiayaan kesehatan telah digelar pada Kamis (14/1/2016) di kampus Fakultas Kedokteran, UGM. Pembukaan dilakukan oleh Prof. Lakosono Trisnantoro yang menyampaikan bahwa pada tahun 2014 dan 2015 terdapat kekurangan pembiayaan dalam bidang kesehatan karena dipergunakan oleh BPJS Kesehatan untuk memulai program JKN. Dalam BPJS Kesehatan belum ada kompartemen antara dana dari PBI, PPU dan PBPU, sehingga akan tercampur menjadi satu dan kemudian dipergunakan oleh semua peserta BPJS Kesehatan tanpa memandang asal peserta tersebut.
Tahun 2007 hingga 2016 GDP naik dengan sangat pesat, namun pendapatan dari pajak tidak ada mengalami perubahan yang signifikan. Hal tersebut akan menimbulkan pertanyaan apakah negara berhak untuk memberikan subsidi kepada penduduk yang kaya. Terjadi perdebatan di publik, dimana apabila menurut Walfare State maka negara berkewajiban memberikan fasilitas ke seluruh penduduk tanpa memandang apakah kaya atau miskin, sedangkan menurut Market maka negara seharusnya mengurangi pendapatan untuk tujuan sosial.
Fasilitas dan tenaga kesehatan tiap tahun cenderung mengalami peningkatan untuk region 1, dimana kita ketahui bahwa region 1 merupakan kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa, sehingga klaim dengan biaya tinggi untuk INA-CBG’s mayoritas terjadi di region 1. Biaya terbanyak untuk perawatan kesehatan di rumah sakit merupakan pasien Non PBI.
Pada sesi diksusi, Yulianto Prabowo (Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah) menjelaskan bahwa saat ini dalam penurunan angka kematian dan kesakitan saat ini pemerintah masih mengarah ke arah hilir, sehingga dimungkinkan SDG’s tidak akan tercapai jika terus cenderung ke hilir. Saran yang dianjurkan ialahsSebaiknya diperbaiki untuk bagian hulunya, dimana memperbaiki pemikiran masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan dengan tindakan promotif preventif yaitu memperkuat UKM salah satunya dengan perbaikan pembiayaan UKM yang masih kecil. Saat ini UKP sudah dilakukan dengan sistem berjenjang, namun untuk UKM hanya sampai pada pelayanan dasar, belum ada sistem untuk rujukan bagi UKM.
Budihardja Singgih dari AIPHSS menambahkan bahwa UHC Indonesia harus berasaskan keadilan, namun saat ini pemerintah masih cenderung dalam tindakan kuratif, sedangkan untuk promotif dan preventif masih sangat kurang. Sehingga akan muncul pertanyaan bagaimana sikap pemerintah dalam menghadapi MEA yang sudah dimulai dari tahun 2016.
Kendala dialami oleh Dinas Kesehatan Kulon Progo dimana dana Jampersal difungsikan untuk mendekatkan dalam akses, seperti pengadaan rumah tunggu bagi tenaga kesehatan dan nominal untuk dana tersebut sangat besar, sementara untuk di DIY sendiri akses tersebut sudah tidak menjadi masalah, sehingga akan menyebabkan dana tersebut tidak dapat terserap karena terbentur aturan. Masalah lain yakni masih terdapat daerah dimana pasien masih memerlukan pemeriksaan di dokter swasta, dikarenakan pelayanan di puskesmas yang masih belum optimal. Sehingga seharusnya pemerintah membuat aturan dimana dokter yang sudah praktek di rumah sakit atau puskemas tidak diperkenankan memberikan pelayanan secara swasta.
Tidak Bukan hanya di Yogyakarta, melainkan juga namun di Toliekara Papua juga mengalami kendala dalam hal kapitasi yang kita ketahi bahwa hitungannya berdasarkan dari jumlah peserta, tidak memperhitungkan masalah akses. Padahal di Ppapua untuk jumlah peserta memang sedikit tapi justru akses yang susah. Biaya untuk menjangkau salah satu puskesmas bisa mencapai Rp. 25 juta. SDMK juga masih sangat kurang, dari 25 puskesmas yang ada hanya 4 puskesmas yang memiliki dokter sehingga akan sangat berlawanan dengan yang terjadi di Pulau Jawa.
Reporter: Wisnu Damarsasi