Seperti yang diketahui bersama bahwa JKN melalui UU SJSN (2004) dan UU BPJS (2011) telah mendorong peningkatan alokasi pembiayaan kesehatan di tingkat pusat dan berpengaruh pada peningkatan alokasi dana di daerah. Prof Laksono memberikan pengantar yang menekankan bahwa saat ini daerah menerima dana dari banyak sumber dana yang masih dikelola secara terpisah dan menyebabkan fragmentasi sistem kesehatan di daerah. Pengelolaan data di daerah juga mengalami fragmentasi di tengah sistem BPJS yang sentralistik dan sistem Kemenkes yang desentralisasi. Menurut beliau, kondisi inilah yang menyebabkan perencanaan kesehatan di daerah tidak dapat sepenuhnya berbasis data yang mengakomodir kebutuhan program JKN dan program kesehatan lainnya. Bukan hanya hubungan Pemda dan kantor BPJSK setempat yang tidak jelas, namun Prof. Laksono juga menekankan bahwa peran Pemda/ Dinkes dalam layanan primer di era JKN juga masih tidak mempunyai pola. Adanya Inpres No. 8/ 2017 menjadi kesempatan untuk mengatasi fragmentasi ini, namun instruksi ini berlaku sampai dengan akhir Desember 2018. Menurut beliau, sejauh mana pelaksanaan Inpres No. 8/ 2017 ini juga patut untuk dimonitoring dan evaluasi.
Salah satu instruksi dalam Inpres No. 8/ 2017 adalah BPJS Kesehatan menyediakan data JKN ke Menteri Kesehatan secara berkala. Namun data seperti apa dan sejauh mana kabupaten dapat mengakses kebutuhan data tersebut? bahkan saat ini belum dapat teranalisis sejauh mana dana JKN telah berkontribusi terhadap peningkatan derajat kesehatan di daerah. Hal inilah yang juga ditekankan kembali oleh ibu Murni (Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar, Dinkes Kulon Progo). Ibu Murni menyampaikan bahwa sulitnya data JKN diakses oleh daerah memang terjadi adanya, termasuk data kesepertaan dan data layanan yang diterima peserta JKN. Dengan kondisi seperti ini, apakah mungkin Pemda/ Dinkes dapat menggunakan data BPJS untuk perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program kesehatan?
Melalui webinar, Bapak Yulianto (Kepala Dinkes Provinsi Jawa Tengah) juga menegaskan terjadinya pemanfaatan anggaran kesehatan di daerah yang masih tumpang tindih. Tim perencanaaan di daerah masih tergantung dari data dari pemegang program kesehatan dan belum dapat mengakses data JKN dari BPJS Kesehatan. Sementara, menurut beliau bahwa data BPJS kesehatan juga sangat dibutuhkan untuk mengukur dampak JKN terhadap capaian indikator kesehatan dan SPM di daerah.
Menurut tim Dinkes Provinsi Jawa Tengah, adanya bridging sistem p-care dan SIMPUS sebenarnya dapat menjembatani kebutuhan data JKN untuk perencanaan program kesehatan di daerah. Walaupun demikian, sistem ini masih berlaku di FKTP milik Pemerintah dan belum merangkul fasilitas kesehatan swasta di daerah. Mewakili sektor swasta, salah satu peserta di Granadi juga menyampaikan bahwa regulasi saat ini belum menjelaskan kewenangan dan kewajiban faskes swasta dalam optimalisasi program JKN, termasuk dalam pengelolaan data JKN.
Prof. Laksono kembali mengingatkan bahwa pada tahun 2016, Bapak Presiden Jokowi pernah menyampaikan perlunya pembagian tugas yang jelas antara pusat, daerah, dan BPJS Kesehatan. Beberapa tindak lanjut pembagian tugas tersebut telah tertuang dalam Inpres No. 8/ 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN. Pertanyaan penting yang disampaikan oleh Prof Laksono adalah apakah Inpres ini dapat mempercepat/ membantu pencapaian delapan sasaran utama program JKN? Menurut beliau, salah satu kuncinya adalah data BPJS Kesehatan yang dapat diakses oleh daerah untuk dipergunakan sebagai pengembangan program kesehatan. Data tersebut sebenarnya juga dapat membantu menjadi pertimbangan dalam menyusun strategi menyeimbangkan ketersediaan sarana prasarana dan SDMK.
Bapak Citra dari Kedeputian Bidang Riset dan Pengembangan, BPJS Kesehatan Pusat menjelaskan bahwa salah satu ukuran untuk beroperasinya BPJS Kesehatan dengan baik adalah hasil audit yang menyatakan predikat WTP. Terkait target kepesertaan, sampai saat ini memang masih menjadi PR besar bagi BPJS Kesehatan. Menanggapi isu pengelolaan data, beliau menyampaikan bahwa saat ini BPJS Kesehatan telah memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi yang dapat melayani pihak eksternal terkait kebutuhan data. Penyediaan data dashboard dari BPJS Kesehatan telah diberikan kepada P2JK dan akan menjadi masukan bagi BPJS Kesehatan untuk mengembangkan dashboard di level daerah yang dapat dipergunakan stakeholder di kab/ kota. Sebagai wakil dari tim PPJK Kemenkes Bidang Jaminan Kesehatan,
Bapak Doni berharap adanya Inpres No. 8/ 2017 dapat semakin mendorong semangat gotong royong untuk mengoptimalkan pelaksanaan program JKN. Kolaborasi antar pihak inilah yang dibutuhkan untuk mencapai kedelapan sasaran utama program JKN. Saat ini DJSN, TNP2K, P2JK, dan lintas kementerian sudah mulai mengolah data bersama-sama di ruang khusus yang telah disediakan oleh BPJS Kesehatan.
Diskusi terjadi sangat menarik saat membahas data mana saja yang dibutuhkan oleh daerah dan data mana saja yang mungkin dapat diperoleh atau bahkan tidak akan didapatkan dari BPJS Kesehatan. Inpres No. 8/ 2017 menginstruksikan Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk mengambil keputusan dan melaksanaan program untuk mendukung pelaksanaan JKN. Bagaimana daerah dapat mendukung program JKN tanpa ada dukungan data yang dapat dianalisis oleh masing-masing Pemda?