Oleh: Firdaus Hafidz dan Giovanni van Empel
Session 1
Universal health Coverage in Low and Middle Income Countries: What and How?
Boston, 7 Juli 2017. International health economic association (iHEA) world congress dimulai dengan pre conference terkait berbagi pengalaman dan mendiskusikan isu terkait pencapaian Universal Health Coverage (UHC) di negara berkembang. Isu ini menjadi perhatian dunia karena negara berkembang memiliki keterbatasan sumber daya kesehatan dengan rata-rata total pengeluaran kesehatan 30 hingga 50 USD per kapita, namun dengan ambisi dan ekspektasi yang tinggi akan pencapaian UHC. Sehingga bisa jadi UHC tidak optimal bahkan harmful.
Sesi pertama dimulai dengan topik “What does UHC mean in practical terms for low and middle income countries?” dimoderatori oleh Peter Berman, professor dari Harvard T. H. Chan School of Public Health (HSPH). Terdapat empat panelis dalam sesi ini:
- Peter Berman, mengawali presentasi dengan memperkenalkan topik, dan diskusi terkait trade off dan isu definisi UHC. Trade off yang dimaksud adalah bagaimana negara berkembang memilih memenuhi tiga dimensi dalam UHC yakni cakupan kepesertaan, cakupan layanan, dan proteksi finansial. Tidak hanya tiga hal tersebut, saat ini juga muncul dimensi kualitas sebagai alat ukur efektifitas layanan kesehatan. Beberapa contoh yang beliau sampaikan dalam praktek adalah: bagaimana trade off equity ketika pelayanan yang berfokus di primary care dan hospital. Sebagai penutup beliau menyampaikan terdapat tiga ide besar untuk menjawab prioritas dalam pencapaian UHC. Yakni: 1) Menyempitkan paket layanan kesehatan dengan mendefinisikan layanan “esensial”, atau “dasar” secara eksplisit dan memastikan hal tersebut dapat dilaksanakan; 2) Mendefinisikan proteksi finansial yang dapat dijamin berdasarkan kemampuan finansial; 3) Mendefinisikan cakupan populasi yang hendak dilindungi, dengan cara targeting dan secara progresif universal. Tapi yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana melaksankan tiga ide tersebut? Apakah satu persatu, kombinasi, atau lainnya? Kebijakan apa yang baik untuk memastikan outcome kesehatan membaik? Dan politik apa yang baik untuk memastikan kontrak politik dapat dilaksankan?
- Margaret Kruk, Associate Professor dari HSPH, mendiskusikan terkait UHC yang hanya fokus terhadap utilisasi dan cakupan tiga dimensi, namun belum banyak memikirkan terkait kualitas layanan kesehatan yang dapat berkontribusi pada hasil outcome kesehatan. Meksipun memang diakui beliau, bahwa banyak faktor lain yang mempengaruhi, tapi beliau percaya bahwa kualitas memegang peranan penting. Sebagai contoh bahwa indikator cakupan saja tidak cukup adalah bagaimana kematian ibu masih sangat tinggi meskipun dari sisi cakupan layanan persalinan di tenaga kesehatan sama antara di Afrika dan Asia. Bukti di India menunjukkan bahwa orang tidak menggunakan layanan kesehatan publik dengan tiga alasan besar yakni terkait kualitas teknis, akses, dan permasalahan non-teknis/ subjektifitas. Contoh lain adalah negara Chili, Brazil dan Mexico yang telah memiliki ckaupan semesta juga masih memiliki tingkat out of pocket yang tinggi sekitar 40 sampai 60 persen meskipun turun namun tidak dramatis. Tapi yang menjadi permasalhaan adalah tidak adanya indikator kualitas, termasuk dalam sustainable development goal (SDG) yang cenderung untuk mengukur per jenis penyakit/ program. Oleh karena itu, beliau mengusulkan tiga indikator kualitas yakni: 1) konsistensi dalam memberikan pelayanan kesehatan; 2) dapat dipercaya oleh masyarakat; 3) dapat merespon perubahan kebutuhan populasi. Sedangkan dampak kualitas dapat diukur dengan 1) patient health outcome; 2) kepuasan pasien; 3) tingkat retensi dalam penggunanaan layanan kesehatan / melompat ke layanan tingkat rujukan; 4) benefit ekonomi. Hal unik yang beliau temukan juga adalah bahwa tidak direkomendasikannya pengukuran kualitas input seperti ketersediaan alat kesehatan sebagai indikator. Karena terbukti memiliki korelasi yang rendah meskipun positif terhadap health outcome.
- Abebe Alebachew, Breakthrough International consulting, Ethiopia. Beliau mempresentasikan pengalaman negara Ethiopia yang fokus pada primary care dalam pencapaian UHC. Secara kontekstual, negara yang didominasi oleh pekerja informal dan miskin pengembangan asuransi kesehatan komunitas dinilai lebih cocok. Sebagai contoh terjadi kenaikan utilisasi, pengembangan fasilitas kesehatan, dan realokasi sumber daya kesehatan. Diakui oleh beliau, bahwa terdapat tantangan terkait sustainabilitas program ini, oleh karena itu perlu dipastikan: 1) komitmen politis; 2) asuransi kesehatan komunitas harus mencakup minimal 100,000 populasi atau satu kabupaten/ kota yang tetap disokong oleh pemerintah (e.g. biaya administratif, subsidi, dll) ; 3) Kulitas layanan; 4) investasi yang besar untuk primary care untuk layanan penyakit kronis, dll.
- Hasbullah Thabrany, Director, Centre for Health Economics and Policy Studies, Universitas indonesia. Professor Hasbullah menyampaikan pengalaman Indonesia dalam jaminan kesehatan nasional dan tantangan yang dialami saat ini. Pelaksanaan jaminan kesehatan nasional di Indonesia bukan merupakan hal yang mudah, karena luasnya wilayah Indonesia seperti dari Boston hingga San Fransisco dan rendahnya total pengeluaran kesehatan per GDP. Terkait cakupan layanan kesehatan dalam jaminan kesehatan, definisi esensial adalah “medical necesary”. Sehingga masyarakat tetap bisa mendapatkan layanan yang komprehensi sesuai dengan kebutuhan. Lalu cara mengontrol definisi “kebutuhan” tersebut dengan cara menggunakan prospektif payment mechanism, yakni kapitasi di layanan tingkat pertama dan INA-CBGs di layanan rujukan. Terkait isu kualitas, Indonesia mengakomodir masyarakat yagn hendak top-up menggunakan asuransi swastanya. Setelah digulirkannya program jaminan kesehatan ini, pengeluaran kesehatan naik tajam karena banyak penyakit kronis yang akhirnya dapat dilayani dan layanan kebidanan terutama caesar yang menjadi nomor satu dalam layanan rawat inap. Lalu kemana uangnya? Berdsarkan data NHA 2014, 50% biaya digunakan di rumah sakit, sedangkan 20% di layanan tingkat primer. Sebagai penutup Indonesia pada saat ini mendorong untuk terjadinya pooling dana secara nasional dan memastikan equity agar masyarakat dapat mengakses layanan kesehatan, lalu kemudian peningkatan kualitas.
Bagaimana Lesson-Learnt untuk Indonesia
Sebagai negara berkembang, yang paling terpenting adalah komitmen politis untuk memulai kebijakan untuk mencapai UHC. Lakukan dengan kemampuan yang memungkinkan yang ada sambil terus memperbaiki kekurangan sesuai dengan konteks dan hukum yang telah disepakati. Karena diakui, bahwa tidak ada sistem yang sempurna, kita tidak bisa memulai UHC dengan menunggu kesiapan seluruh aspek sistem kesehatan. Permasalahan pembiayaan dalam pencapaian UHC dapat diatasi dengan invoasi, terbuka dan bekerjasama dengan sektor lain terutama dengan kementerian keuangan terkait perhitungan biaya.
Terkait kualitas, kita harus memastikan bahwa alat ukur indikator yang digunakan harus feasible untuk dimonitor secara berkelanjutan. Dua indikator minimal yang harus digunakan adalah indikator objektif dan subjektif. Contoh dari indikator objektif (perpektif klinis) adalah ekspektasi dari hari rawat inap dari spesifik penyakit tertentu. Sedangkan subjektif adalah dari perspktif pasien sebagai contoh kepuasan pasien. Kedua indikator ini dirasa penting karena hampir 40% masyarakat Indonesia yang miskin sehingga layanan kesehatan yang sebenarnya berkulitas rendah (low health outcome) sudah dapat memberikan kepuasan. JKN dengan layanan di publik dan swasta, penilaian dua indikator ini juga menjadi penting untuk mengurangi bias.
Meskipun hal ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut bersama praktisi, pengambil kebijakan, dan akademisi untuk mendifinisikan UHC yang diharapkan di tahun 2019.
Session 2
Transformation from NHS to NHI System: Necessary Institutional Changes
Sesi kedua dengan topik “Transitioning from a traditional national health service to a national/ social health insurance system?” dimoderatori oleh Winnie Yip, Professor dari Harvard T. H. Chan School of Public Health (HSPH). Terdapat empat panelis dalam sesi ini:
- William Hsiao, K.T. Li Research Professor, HSPH, memulai dengan premis yang reflektif. Tidak hanya berusaha menekankan perbedaan konseptual antara desain tradisional “national health service” dan “national health insurance system”, dalam presentasinya Bill Hsiao menggugat apakah dalam diskursus transformasi dari satu sistem ke sistem yang lain telah dilakukan analisis tantangan mengenai keterbatasan institusional. Menurut observasi Bill selama 30 tahun di negara berkembang national health service secara tradisional didominasi oleh pemerintah dalam memberikan layanan kesehatan. Sering kali dalam beberapa kasus negara berkembang, terjadi inefisiensi –korupsi, minimnya perencanaan yang baik, tidak ada monitoring yang ketat- yang mendorong kesehatan lebih jauh kearah buruk, alih-alih membuat kesehatan masyarakat lebih baik. Sementara itu, beberapa dekade terakhir saat diskursus Universal Health Coverage mengemuka, yang acapkali luput dari rekomendasi WHO menurut Bill adalah belum ada atau minimnya rekomendasi mengenai strategi yang bisa diadopsi. Terlebih, menurut Bill nampaknya banyak negara berkembang yang belum menyadari implikasi institusional dari implementasi UHC. Dalam pandangan Bill, ada perubahan besar dari sistem national health service yang secara desain adalah supply-side driven saat implementasi desain UHC yang demand-side driven dimana pada sistem yang pertama penyediaan layanan kesehatan, dari tahap perencanaan hingga eksekusi/implementasi dilakukan oleh satu sektor, yaitu pemerintahan. Hal ini termasuk proses rekrutmen staf hingga kepemilikan aset yang umumnya dikelola oleh kementerian kesehatan. Implementasi UHC di sisi yang lain, mendorong sistem untuk secara kontinu adaptif terhadap situasi masyarakat, terlebih tujuan UHC adalah menghilangkan financial barrier untuk akses layanan kesehatan. Sehingga dalam proses perencanaan semisal seberapa banyak layanan dan termasuk sebaik apa kualitas layanan kesehatan adalah refleksi dari permintaan masyarakat.
- Implikasi dari shifting menuju ke arah national health insurance system ini adalah perubahan pada rules of the game. Dalam pandangan Bill, disini nampaknya WHO cukup sunyi dalam memberikan rekomendasi. Sebenarnya apa perubahan rules of the gamenya? Untuk sistem ini bisa kontinu dan self-sustain, ada perubahan sistem pembiayaan kesehatan. Tak lagi mindsetnya membiarkan pasien membayar layanan secara mandiri (fee for service via out of pocket) perubahan besar dalam sistem pembiayaan adalah mindset untuk mengontrol pengeluaran kesehatan. Dalam literatur teori ekonomi pembiayaan kesehatan sebenarnya sudah bergerak dari arah murni prospektif (Ellis 1986) ke arah mixed dengan insentif performa (Pay for Performance) untuk memastikan setiap layanan diberikan dengan performa tinggi tanpa mengurangi inefisiensi yang banyak negara maju sudah mengadopsi sistem pembiayaan ini. Kedua, implikasi dari perubahan sistem ke demand-side driven adalah desain yang mendorong untuk terjadinya kompetisi dalam menyelenggarakan kualitas layanan kesehatan. Di banyak negara maju, Inggris Raya serta Eropa sudah mendorong sistem ini dan banyak riset empiris memperlihatkan efek menguntungkan dari desain ini. Hanya saja, dalam banyak konteks di negara tersebut terdapat perhitungan insentif bagi penyedia layanan (RS, dokter, ners, dsb) secara konsensual melalui proses diskusi dan dialog. Lebih lanjut Bill juga menyampaikan inefisiensi yang besar bisa terjadi ketika ada banyak pegawai rumah sakit –dari staf medis : dokter, ners, teknisi, laborat, dsb hingga staf administrative- tidak perform dengan standar tinggi : absensi pegawai yang rendah terjadi di India, dan termasuk di Indonesia disebabkan tidak adanya akuntabilitas karena proses rekrutmen terjadi di level sentral bukan di level organisasi lokal seperti rumah sakit tersebut.
- Kekhawatiran Bill terlihat pada banyak contoh negara berkembang yang mengimplementasi UHC namun tidak melakukan transformasi kelembagaan seperti yang terjadi di Kenya. Bill menyampaikan bahwa terdapat lima komponen utama dalam transformasi dari NHS menuju NHI yang perlu dipikirkan, yakni: 1) Pembiayaan; 2) Pembayaran/ insentif; 3) Organisasi; 4) Regulasi; 5) Persuasi. Secara organisasi, tranformasi yang diperlukan adalah membangun badan administratif, dan dewan pengawas. Proses transformasi dari NHS menuju NHI merupakan proses yang kompleks, sehingga membutuhkan waktu yang panjang antara 15-20 tahun. Hal ini bisa terjadi lebih cepat jika keputusan politik kondusif dan mendukung untuk terjadinya transformasi ini.
- Peter C Smith, Professor of Economics, Imperial College, UK. Menjauh dari klasifikasi yang ditawarkan Bill Hsiao, menurutnya perbedaan yang diutarakan Bill dapat bermanfaat pada konteks sebagai titik awal. Hanya saja menurut Peter tidak semua sistem yang dominan NHS selalu mengalami hal buruk seperti yang dicontohkan. Inggris misalnya adalah sistem yang dominan NHS yang memiliki performa bagus relative dengan negara maju lainnya, dengan pengeluaran yang lebih rendah. Titik utama Peter dalam sistem kesehatan manapun adalah akuntabilitas dalam setiap sistem yang dipilih. Lebih lanjut menurut Peter, akuntabilitas bukan hanya hal-hal administrative, namun juga terdapat kontrak yang jelas antara pembayar dengan penyedia layanan kesehatan dalam memberikan kualitas. Di Inggris sendiri banyak instrument kualitas layanan yang digunakan untuk evaluasi serta menentukan seberapa besar uang yang akan penyedia dapatkan di tahun administrasi mendatang. Selain itu, dalam sistem Inggris maupun Eropa terdapat pelayanan primer dengan kualitas tinggi yang berfungsi sebagai gatekeeper selain itu menekankan pada kebebasan untuk memilih penyedia mana yang dirasa cocok oleh pasien. Peter berargumen meski sistem rujukan Inggris mengurangi kebebasan memilih (tidak bisa langsung ke spesialis) hal ini namun mengurangi moral hazard yang bisa muncul dari sisi konsumer (pasien). Oleh karena itu Peter Smith menekankan berkali-kali bahwa accountability merjupakan hal utama dalam sistem untuk menghindari memberikan layanan berkualitas dan mengurangi kebocoran dalam efisiensi. Implementasi NHS diperlukan momentum, sebagai contoh di Inggris setelah perang dunia ke-2. NHS menjadi populer karena simple bagi penggunanya, tidak perlu memilih benefit package yang umumnya ditawarkan pada sistem asuransi ataupun tumpukan tagihan yang perlu di claim ke penyedia asuransil..
- Matthew Jowett, Senior Health Financing Specialist, WHO Geneva. Mempresentasikan terakti tren terkait pembiayaan dari tradisional budgeting ke asuransi sosial dan tantangan dan kesempatan dari perspektif UHC.
- Nathan Blanchet, Program director, Results for Development Institute (R4D) mempresentasikan pengalaman transisi Ghana dari asuransi kesehatan berdasarkan komunitas ke skema asuransi kesehatan nasional.
Bagaimana Lesson-Learnt untuk Indonesia
- Perlu identifikasi tantangan institusional dan analisis strategi implementasi dalam transformasi ke sistem yang demand-side driven
- Akuntabilitas adalah kunci dalam memiliki sistem kesehatan yang baik
- Layanan kesehatan berkualitas dapat secara efektif diberikan menggunakan sistem pembiayaan kesehatan
Session 3
Pre conference: Revolution in social protection or stagnation at scale? Indonesia’s Jaminan Kesehatan Nasional Insurance Program after three years
8 Juli 2017, Boston. Pre-congress hari kedua kami berkesempatan mengikuti sesi khusus mengenai jaminan kesehatan nasional di Indonesia. Hal ini sangat spesial karena hanya membahas tentang Indonesia secara komprehensif. Meskipun acara ini cuma setengah hari, tapi acaranya sangat padat. Berikut catatan poin utama yang saya datapatkan berdasarkan urutan pembicara:
- Prof. Hasbullah Thabrany memberikan pengantar dengan mengenalkan jaminan kesehatan nasional, termasuk: motivasi kenapa munculnya jaminan kesehatan nasional, tantangan (demografi, geografi, ekonomi, dan politik), cakupan populasi, metode pembayaran, paket manfaat. Di akhir presentasinya beliau menegaskan bahwa dengan rendahnya kontribusi dari informal sektor dan keraguan beliau terhadap sustainability, beliau mengusulkan untuk pemerintah mengcover semua yang belum tercakup sebagai kewajiban pemerintah. Toh sebenarnya pengeluaran kesehatan pemerintah terhadap asuran kesehatan sosial masih sangat rendah yakni 16% dengan harapan bisa mencapai 60%. Meskipun saya pribadi merasa ini mungkin bisa terjadi ketika supply side tersedia dan masyarakat tidak perlu mengeluarkan out-of-pocket dana masih sekitar 40-50%.
- Arin Dutta, Health policy plus: Which pool is deepest? central and local funding streams to finance the poor in Indonesia's JKN. Diakui bahwa total health expenditure per capita di Indonesia masih rendah dibanding dengan negara lain, tapi di sisi lain juga tidak terlalu besar proporsi pemerintah terhadap pengeluaran kesehatan dibanding dengan negara yang memiliki total health expenditure per capita. Di sisi lain, pembiayaan utama kesehatan berasal dari pemerintah pusat. Betul memang pembiayaan bertambah, tapi proporsi out-of-pocket juga tidak mengalami penurunan yang dramatis di tahun 2014 sebesar 45%. Pemerinah telah berkomitmen untuk meningkatkan budget kesehatan sebesar 7.6% dari total anggaran di tahun 2016. Dari tahun 2014 hingga 2017, terjadi defisit dalam pelaksanaan jaminan kesehatan yakni 3.5, 4.7 dan 7.4 triliun rupiah yang harus ditanggung oleh pemerintah. Dan diestimasikakn bahwa defisit ini akan terus naik hingga sekitar 20 triliun di tahun 2019. Oleh karena itu diperlukan efisiensi layanan kesehatan sebagai contoh peningkatan kualitas layanan, strategic purchasing payment, empowering gatekeeping, penggunaan rasional antibiotik, dll. Jika hal-hal ini bisa ditunjukkan oleh Kemenkes, maka kementerian keuangan tidak keberatan untuk membayar defisit yang terjadi. Beliau juga berusaha untuk mencari potensi dari sumber keuangan yang terdiri dari berbagai sumber termasuk DAU, DAK, DBH. Harapannya, DAK (Dana alokasi khusus) digunakan untuk kesehatan meningkat. Harapan lain adalah peran Jamkesda yang meningkat juga untuk melindungi masyarakat. Tapi di sisi lain, pembiayaan kesehatan akan terus menjadi masalah ketika masih ada anggapan di daerah bahwa kesehatan dijadikan sebagai pendapatan daerah, yang sebenarnya bersumber dari JKN ke depan sebagian besar. Hal ini bisa dilihat dari pendapatan puskesmas yang meningkat sejak JKN dilaksanakan dari 44% menjadi 71% dari revenue. Sedikit bocoran, Jampersal kelihatannya akan diluncurkan kembali dengan fokus pada pemberian insentif transportasi untuk mengakses layanan kesehatan.
- DR. Prastuti Soewondo: TNP2K: Has single-payer insurance improved financial protection for the poor? evidence from three years of implementation. Dengan menggunakan data SUSENAS 2011-2016 dan metode deskriptif dan logistic regression analysis, hasil menunjukkan bahwa terjadi peningkatan utilisasi dari layanan kesehatan baik rawat jalan maupun rawat inap. Utilisasi rawat inap rata-rata mengalami kenaikan tajam dari 3% menjadi 5% namun terjadi gap yang besar antara orang miskin dan kaya. Dalam sesi ini beliau juga menyampaikan dampak JKN terhadap pengeluaran kesehatan rumah tangga. Hasil menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pengeluaran rumah tangga di seluruh lapisan ekonomi masyarakat sebesar Rp 23.441 atau 10.1% antara sebelum dan sesudah JKN, namun hal ini tidak signifikan. Peningkatan ini terjadi pada rumah tangga kaya, sedangkan masyarakat miskin dimungkinkan tidak meningkat tajam pengeluarannya karena adanya gatekeeping dan tidak lompat untuk mengakses layanan rumah sakit yang berbiaya tinggi.
- Arin Dutta & Thomas Fagan: Purchasing Care with the Indonesia Case-based Groups (INA-CBGs) The journey so far.. Di awal presentasi beliau menjelaskan secara sekilas deskripsi mengenai INA-CBGs yang telah diimplementasikan di lebih dari 1.815 rumah sakit. Telah terjadi evolusi sejak tahun 2006 dan bahkan telah berubah dua kali semenjak JKN diluncurkan. Pengeluaran JKN yang 80% berasal dari klaim INA-CBGs menjadi perhatian penting apalagi dengan tumbuhnya rumah sakit terutama swasta. Jika dilihat dari jenis diagnosis, penyakit yang memiliki total biaya besar adalah 1. Lain-lain; 2. Ginjal dan urinary; 3. Jantung dan pembuluh darah;
- Pencernaan; 5. Persalinan. Tidak heran bahwa klaim terbesar berada di region 1 terutama Jawa, dan dengan jenis rumah sakit tipe B dan C yang mendominasi. JIka dilihat dari severity klaim, sebagian besar klaim menggunakan severity 1 (least severe). Hal ini mengindikasikan hal baik, di mana tidak adanya up-coding diagnosis. Berdasarkan jenis kepemilikan rumah sakit, rumah sakit publik cenderung memiliki total pengeluaran biaya klaim yang lebih besar dibandingkan swasta. Hal kunci yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi adalah dengan memfokuskan pada kode berbiaya tinggi, di mana 75% dari biaya rawat jalan dan rawat inap hanya terdiri dari 54 kode rawat inap (dari 264 kode), dan 7 rawat jalan (dari 288 kode). Pelayanan lebih banyak dilakukan di rumah sakit tipe B dan C, apakah ini memang sesuai dengan target pemerintah?, bagaimana dengan tipe D, apakah peran mereka dalam sistem rujukan? Beliau juga memberikan daftar aksi yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan biaya tinggi ini. Antara lain: Isu inefisiensi: menginvestigasi up-coding dari seluruh CMGs dan keparahan, rujukan balik, re-admission, dan early discharge. Sedangkan dari sisi kebijakan: penguatan gate-keeping dan rumah sakit tipe D, mengurangi gap tarif antar rumah sakit sehingga mendorong untuk rumah sakit lebih selektif sesuai kompetensinya, implementasi performance-based payment, dan global budget untuk rumah sakit. Dalam jangka panjang, perlu penguatan dari dua sisi yakni demand side, yakni meningkatkan utilisasi PBI mengurangi adverse selection ; sedangkan dari sisi supply side, dengan cara meningkatkan infrastruktur, perencanaan terhadap jaringan sektor swasta, dan persiapan untuk menghadapi tren transisi epidemiologi ke arah penyakit tidak menular.
- Prof. Hasbullah Thabrany: Performance Based Capitation. Beliau menjelaskan sejarah dan deskripsi Puskesmas di Indonesia. Secara teoritis dijelaskan bagaimana kelebihan dan kekurangan penggunaan kapitasi di sektor publik. Distribusi fasilitas kesehatan publik dan swasta memiliki kecenderungan dominasi swasta di Jawa, lebih dari 50% di Sumatra Bali NTT (region 2), dan terus mengecil proporsi swasta di Sumatra-Sulawesi (region3), Kalimantan, dan Papua paling kecil. Jumlah kapitasi antar region secara umum tidak ada perbedaan yang bermakna meskipun memang ada kecenderungan region 1 paling tinggi (6.345), dan paling rendah di region 5 (5.344). Terdapat beberapa evaluasi terkait pelaksanaan kapitasi, yakni terlalu tingginya variasi rasio jumlah dokter dan peserta di Puskesmas. Puskesmas memiliki kinerja yang rendah dengan indikator kontak pasien yang rendah (7.2%), dan tingginya rujukan (15.3%). Secara teori, fasilitas publik tidak memiliki orientasi market untuk kapitasi oleh dokter. Ketepatan diagnosis juga masih menjadi masalah antara rujukan dokter di tingkat primer dan rumah sakit. Sebagai agenda lebih lanjut, diperlukan redistribusi peserta per dokter, menggunakan performance based capitation dengan indikator (angka kontak, rujukan, dan kunjungan pasien kronis), dan memastikan kapitasi terus sesuai dengan biaya layanan kesehatan.
- Shree Prabhakaran: Tiered contribution rates, promoting equity while ensuring sustainability. Cakupan populasi untuk mencapai universal di tahun 2019 merupakan target yang ambisius. Memang benar telah terjadi peningkatan cakupan kepesertaan dari tahun ke tahun, namun hal ini tidak lepas dari tantangan terutama penurunan kontribusi dari 83% di tahun 2014 menjadi 50% di tahun 2017. Dengan peningkatan pembiayaan, pemerintah masih terus membiayai defisit yang terjadi. Kontrol terhadap biaya adalah hal yang penting dengan manajemen yang efektif dalam kontribusi, dan memastikan ability-to-pay. Peningkatan cakupan sektor informal dan formal sektor swasta dimana saat ini hanya 25%. Perlu kebijakan terkait pembiyaan defisit JKN, apakah dibayar di depan atau d akhir?, dan terkait sustainabilitas, kalim rasio perlu ditargetkan dengan lebih baik , yakni antara 85-95%.
Lesson Learnt untuk Indonesia:
- Indikator yang jelas terhadap arti efisien yang diharapkan oleh Kemenkeu diakui belum jelas, dan banyak analisis terkait efisiensi masih fokus pada teknis mikro seperti upcoding, early discharge, dll. Oleh karena itu penelitian kuanitatif analisis frontier harapannya bisa menjadi gambaran indikator monitoring.
- Secara rinci jika hendak menganalisis data INA-CBGs, peneliti harus berhati-hati karena koding diagnosis masih belum bisa tepat yakni dengan coding “Miscellaneous”.
- Belajar dari klaim INA-CBGs berdasarkan jenis kepemilikan rumah sakit, kita perlu menelisik lebih dalam, kenapa rumah sakit publik memiliki kecenderungan merawat pasien yang berbiaya lebih tinggi? Apakah ada masalah koding? Atau rumah sakit swasta cenderung malakukan seleksi pasien yang tidak kompleks?.
- Penelitian dan kebijakan yang tepat terkait performance based masih perlu terus ditindaklanjuti. Perlu dipastikan bahwa kebijakan tidak bersifat harm terhadap fasilitas kesehatan.
- Sustainabilitas terhadap kontribusi informal sektor merupakan tantangan terbesar. Terdapat beberapa alternatif untuk mengatasi jika hendak mencapainya, yakni pemerintah melindungi seluruh masyarakat sebagai kewajibannya. Menemukan sumber pendapatan lain sebagai contoh pajak dari rokok dan lainnya yang memiliki efek buruk terhadap kesehatan. Atau terus mendorong orang membayar, tapi juga tidak mudah karena memerlukan manajemen yang efektif, dan memastikan sustainabilitasnya.