Selama 2 tahun JKN berjalan, beberapa pakar asuransi kesehatan menilai bahwa prinsip jaminan kesehatan berbasis asuransi sosial belum benar-benar dicapai., salah satunya disampaikan oleh Bapak Tonang Dwi Ardyanto. Rasio antara premi yang terkumpul dari suatu kelompok dengan biaya pelayanan kesehatan yang harus ditanggung untuk kelompok itu sendiri, ternyata justru lebih tinggi pada kelompok Mandiri (yang membayar sendiri premi) daripada PBI (yang preminya ditanggung oleh negara). Pada akhir tahun 2014, angkanya bahkan di kisaran 1000% untuk kelompok pertama, dan kurang dari 100% untuk kelompok kedua. Di akhir 2015, berkat serangkaian pendekatan, rasio untuk kelompok mandiri tinggal di angka kisaran 200%, dan tetap kurang dari 100% untuk kelompok PBI. Itu artinya, uang yang dibayarkan untuk menanggung masyarakat ternyata justru lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok yang dianggap mampu.
Defisit BPJS Kesehatan terbilang fantastis, Rp3,3 triliun pada 2014 dan diperkirakan Rp6 triliun pada 2016. Angka 6 T itu adalah estimasi tahun 2015 yang kemudian terbukti bisa ditekan sehingga angka defisit pada 2015 adalah 5,85 T. Istilah yang disepakati adalah miss-match, karena menggambarkan belum sesuainya antara pemasukan dari premi dengan beban pelayanan kesehatan. Bapak Tonang juga menegaskan bahwa jika benar nanti premi disesuaikan pada 1 April 2016, maka diperhitungkan besaran defisit adalah 7,94 T. Jika penyesuaian itu ditunda, atau dibatalkan, maka risikonya angka defisit bisa menjadi 11T bahkan lebih.
Pembahasan Perpres 19/ 2016 tentang Jaminan Kesehatan sudah dilakukan sejak akhir tahun 2014 karena peraturan perundangan mengatur bahwa besaran iuran jaminan kesehatan harus dievaluasi maksimal dalam 2 tahun. Penyesuaian iuran menjadi salah satu hal yang dilakukan BPJS Kesehatan untuk menjaga keberlanjutan program. Menurut Rachmat Sentika (Ketua DJSN), penyesuaian iuran kali ini sudah menyesuaikan pertimbangan antara opsi mengurangi manfaat, mengalokasikan tambahan dana APBN, dan penyesuaian iuran. Bayu Wahyudi (Direktur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan Antar Lembaga - BPJS Kesehatan) juga menegaskan bahwa opsi mengurangi manfaat tidak dimungkinkan untuk dilakukan dan sangat tidak manusiasi.
Walaupun iuran PBI naik dari Rp 19.225,- menjadi Rp 23.000,- namun DJSN menilai bahwa penyesuaian tarif iuran baru/ kenaikan iuran tersebut masih belum sesuai dengan rekomendasi sebelumnya. Hitungan terakhir oleh para ahli aktuaria dan DJSN untuk iuran peserta kelas 3 sebesar Rp 36.000,-. Bayu Wahyudi menyatakan bahwa minimal perhitungan jumlah iuran sebesar Rp 36.000 merupakan bottom line atau batas bawah dasar minimal penyesuaian iuran yang ideal. Oleh sebab itu, ada opsi lain yang sudah disiapkan, yakni mengalokasikan dana tambahan APBN. Mengingat kondisi saat ini 103% tidak seimbang, maka BPJS Kesehatan diharapkan meningkatkan kemampuan untuk mewujudkan mix & match antara jumlah iuran dan biaya yang dikeluarkan.
{jcomments on}