Sesi Pendanaan Kesehatan 2
Dampak Kendali Mutu dan Kendali Biaya pada Pelaksanaan Jamkesda di Kabupaten di Provinsi Jawa Barat
Oleh: Elsa Puji Setiawati Sasongko
PKMK- Penelitian ini berfokus pada kendali mutu, kendali mutu dilakukan tidak hanya mutu pelayanan melainkan juga pada mutu pencatatan. Dua jenis mutu ini menjadi syarat mutlak RS dan Dinkes (dimana sekarang disebut BPJS Kesehatan). Temuan dilapangan juga menunjukkankalim tidak laik bayar oleh Dinkes sebesar 801 juta karena pencatatan yang tidak benar. Pada pembayaran klaim Jamkesda rawat inap terhadap klaim RSUD, tarif INA CBGs lebih besar jika dibandingkan dengan tarif Perda. Sekitar 72 % yang dibayarkan lebih besar dari biaya operasional. Kendali mutu tidak hanya mutu pelayanan kesehatan tetapi pada manajemen keuangan, pencatatan dan pelaporan pada RS dan BPJS. Hari rawat inap, pada kasus level 1 lama rawat inapnya sama, level 2 lebih pendek dari standar RS, level 3 lebih pendek lagi dengan paket biaya yang sama. Pertanyaannya disini apakah terjadi kendali biaya?
TBC Paru, mengambil data dari 301 sampel pasien, 101 pasien tidak menerima pemeriksaan penunjang. Pertanyaannya apakah kendali mutu dalam Ina CBGs sesuai dengan penyakit atau kepentingan tertentu. Gambaran pasien pulang dari rawat inap ada 11 % pulang secara paksa? Hal yang mendasarinya apa?Untuk obat, 90 persennya memakai obat generik, namun apakah obat non generik masuk dalam formularium RS atau tidak?
Kesimpulannya untuk kendali mutu harus tersedia SOP, clinical pathway dan rekam medis yang bagus, Untuk kendali biaya membutuhkan manajemen keuangan yang baik dan pencatatan keuangan yang baik.
Analisa Penerimaan Stakeholder dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal) di Kabupaten Banyumas
Oleh: Arih Diyaning Intiasari dan Arif Kurniawan
PKMK- Latar belakang munculnya resistensi bidan menjadi pendahuluan pengantar pada penelitian ini. Resistensi bidan merujuk pada pemutusan kerjasama bidan dengan Jampersal (tidak mau bekerjasama lagi). Tujuan penelitian untuk mengetahui penerimaan stakeholder pelayanan persalinan normal sebagai dasar penguatan implementasi kebijakan jaminan persalinan. Ada enam informan dari bidan pelaksana, dua bidan koordinator dan satu kepala Puskesmas. Teori yang digunakan adalah teori policy content dan policy context untuk melihat dukungan kebijakan pendukung dan respon stakeholder. Kapasitas kendali kekuasaan dan strategi aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan Jampersal sangat mempengaruhi kerjasama bidan dalam Jampersal. Hal ini terjadi juga pada kendali stakeholder terhadap permasalahan, kebijakan meso Jampersal di kabupaten. Temuannya ialah tidak berjalannya koordinasi ditingkat pelaksana dan komunikasi bidan kordinator yang kurang intensif. Penerimaan isi kebijakan Jampersal yang tidak sesuai dengan implementasi, pelepasan IUD yang telah dipasang, dimana masyarakat melepas IUD di tempat lain. Kebijakan Jampersal yang mendapat resistensi adalah kebijakan KB.
Kesimpulan bahwa kebijakan Jampersal untuk masyarakat tidak mampu. Adanya resistensi kebijakan jampersal dari masyarakat pengguna berupa penolakan pelayanan KB sebagai bagian pelayanan Jampersal. Keterlambatan klaim yang perlu diperbaiki. Saran, sosialisasi, studi lanjut pada resistensi jaminan persalaina pada KB dan peninjauan peraturan daerah perlu dilakukan secara intensif dan keberlanjutan.
Konteks Penyelenggaraan Kebijakan “Jamkesda” di Era Jaminan Kesehatan Universal Secara Nasional
Oleh: Misnaniarti
PKMK-Studi ini memanfaatkan literatur dari penelitian yang ada. Latarbelakang dari penelitian ini adalah UU No 40 tahun 2004 serta keterkaitan JKN dan Jamkesda dibeberapa daerah yang masih berjalan. Hal ini karena keyakinan pemerintah daerah bahwa Jamkesda harus berjalan. Optimisme ini dilandasi alasan, Jamkesda sebagai wujud UU No 32 tahun 2004. Mari kita lihat bagaimana penyelenggaraan Jamkesda? Apakah akan terjadi duplikasi jaminan? Terdaftar sebagai peserta JKN dan Jamkesda? Apakah akan terjadi tumpang tindih dalam pelayanannya?
Tujuan studi literatur ini untuk mengkaji konteks Jamkesda dalam JKN yang disenggarakan oleh pemerintah. Kerangka pikir dengan konteks segitiga, karena konsep JKN dan Jamkesda berbeda. JKN mempunyai premi dan Jamkesda tidak ada premi. Aspek legal yaitu dari UU No 32 tahun 2004 sebagai dasar Jamkesda. Pada tahun 2005 pernah di uji materi di MK pada UU SJSN No 40 tahun 2004 dimana diketahui bahwa dalam UU dapat membentuk dan mengembangkan badan penyelenggara jaminan sosial di tingkat daerah.
Keuntungan positifnya peserta yang tidak di-cover JKN akan di-cover oleh Jamkesda. Pada prediksi kepemilikan Jamkes oleh Kementrian Kesehatanmemnunjukkan 28% penduduk (masih) tidak memiliki jaminankesehatan. Namun jika dilihatdari segi pendanaan, adanya pengalihan dana Jamkesda ke BPJS. Hal ini menjadi alasan mengapa, pertama, daerah belum tentu mau mengalihkan dananya ke BPJS. Kedua, kemampuan keuangan daerah yang berbeda. Terakhir, terkait politis dimana dimanfaatkan oleh kalangan tertentu dan pertimbangan politis secara ekonomis.
Pada sisi tstruktural, jenis pelayanan dan kelembagaan perlu diperbaiki.Perbaikan juga pada benefit package untuk Jamkesda. Untuk menutuppemaparan ini permasalahan dilapangan yang ditemukan yaitu jumlah kelas 3 masih terbatas. Kesimpulannya Jamkesda diperlukan hingga 2019 serta perlu dipertimbangkan integrasi Jamkesda ke BPJS.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Membayar Premi Jaminan Kesehatan dalam Rangka Menyongsong BPJS Kesehatan pada Masyarakat di Kelurahan Sawahan Timur Kota Padang 2013
Adila Kasni Astiena
PKMK- Tidak Hadir
Health Insurance Coverage and Benefit Across Different Income Population: Expericed of Health Insurance Scheme Before Universal Coverage Program in Indoensia
Oleh :Siti Masfiah
PKMK- Pengeluaran kesehatan di Indonesia sangat lamban terutama 2000-2007. Salah satu indikatormya karena tingkat utilisasi yang rendah, padahal skema asuransi dibuat oleh pemerintah walaupun terfragmentasi dalam berbagai skema. Penelitian ini menggunakan metodologi pengambilan data dari data IFLS 4 yang diambil dengan RR usia 15 tahun ke atas dengan beberapa kriteria pengambilan data, speerti pendiidikan, penyakit dan lain-lain.
Penelitian ini melibatkan kurang lebih 27.562 responden dan hasilnya menunjukkan bahwa coverage-nya masih sangat rendah. Setengah populasi di Indonesia tidak terjamin kesehatannya. Hal ini berbeda dengan hasil Susenas yaitu 26 % penduduk Indonesia yang tidak mendapat asuransi kesehatan. Pada data IFLS menunjukkan ada tujuh skema yang ditanyakanmengenai asuransi. Hasilnya, ditemukan kepesertaan pada urutan 1 adalah Askeskin dan peserta Askes (PT Askes). Benefit-nya ditemukan bahwa respondennya yang mempunyai insurance penggunaannya sangat sedikit artinya benefit yang dimanfaatkan sangat sedikit. Hambatannya ternyata karena administratif yang sulit, hambatan geografis, hambatan budaya, demografik dan benefit pakcage yang berbeda.
Dari hasil pengolahan data IFLS tersebut juga menunjukkan bahwa di Indonesia peserta yang ikut asuransi pada Q 5 atau orang kaya pada pasien rawat inap. Sehingga perlu diperhatikan, pemanfaatan asuransi ditujukan kepada siapa, masyarakat miskin atau masyarakat yang kaya (asuransi dari dana pemerintah).
Belanja Obat Generik di Provider Tingkat Pertama dan Lanjutan Tahun 2011 dan 2012 (studi di 12 Gudang Farmasi dan 18 Rumah Sakit)
Oleh: Tire
PKMK- Kenaikan biaya obat bukan hanya terjadi pada negara berkembang melainkan juga di negara maju. Misalnya, tahun 2012 belanja tersebut di Indonesia naik 11.8% dari tahun sebelumnya. Pengeluaran obat menunjukkan 1/3 dari total pengeluaran kesehatan di Indonesia. Penekannya malah lebih pada obat generik.
Penelitian ini merupakan studi kualitatif denganpengambilan data di tiga region di gudang farmasi dan RS pemerintah dan RS Swasta. Analisanya dengan dokumen review obat tahun 2011 dan 2012 serta wawancara mendalam. Tujuannya ialah untuk mengetahui informasi penggunaan obat generik di puskesmas dan lanjutan.
Hasil temuan menunjukkan 93% gudang faramasi daerah adalah jenis obat generik dan RS hanya 39% obat generik dan obat non generik 60%.
Gudang farmasi menunjukkan kepatuhan pada peraturan pemerintah pusat. Hal ini juga disebabkan oleh budget terbatas yang mengakibatkan pembelian obat murah yaitu obat generik dan kebutuhan obat pada jenis jaminan peserta yang diikuti (Jamkesmas, Jampersal).
Hasil lain menujukkan bahwa RS Pemerintah proporsi pengeluaran obat generik dan non generiknya hampir sama. Pengeluaran obat nongenerik di RS Swasta lebih tinggi dari RS Pemerintah (85%) yang terdiri dari pasien langsung (fee for service) dan asuransi swsta yang menanggung pembayaran. Implikasinya diperlukan regulasi dan anjuran pemerintah pusat untuk menggunakan obat generik pada peserta jaminan pasien dan dokter. Namun, perilaku penggunaan obat generik karena perilaku dokter dan kepesertaan. Pemerintah Daerah telah berusaha menyediakan obat generik terutama Puskesmas, RS pemerintah dengan pasien jaminan yang banyak maka penggunakaan obat generik akan lebih banyak dari RS Swasta. Untuk dapat mengetahui manfaat obat generik maka dibutuhkan sistem informasi obat di tingkat RS dan Puskesmas dengan harapan pengendalian obat generik lebih terpantau. Selain itu, diikuti harapan lain yaitu penggunaan obat nongenerik dapat lebih ditekan di fasilitas kesehatan baik swasta maupun pemerintah.
Pendanaan Kesehatan: Belajar dari DHA (7 Kabupaten)
PKMK- DHA sbeelumnya dilaksanakan di 9 kabupaten. Di NTT. Untuk berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat melalui PPJK di Kemenkes Pusat. Kemkes menetapkan DHA sebagai salah satu indikator kinerja pembiayaan Kesehatan (dengan target tahun 2014 yaitu 214 kab/ kota melaksanakan DHA). Tujuannya agar terjadi perbaikan pembiayaan di kab/kota berdasarkan evidence based hasil DHA. Hasil ini menggambarkan aliran belanja kesehatan pada delapan dimensi DHA.Beberapa tabel pada belanja kesehatandari pembiayaan pemerintah (66%). Kontribusi pemerintah pada pembiayaan kesehatan masih bervariasi US $ 10 – 70/ kapita/ tahun . Berdasarkan kecukupan UU No 36/2009 bahwa anggaran kesehatan di daerah 89% masih dibawah 10% untuk anggaran kesehatan (diluar gaji).
Rinciannya antara lain untuk fasilitas kesehatan masyarakat 67% dan swasta 4%, penyelenggara lain 29%. Hasil DJA juga bisa menunjukkan pemanfaatan RSUD lebih besar dari RS swasta. Belanja kegiatan langsung sudah lebih banyak (58,8%). Dari belanja langsung dijelaskan bahwa biaya operasional 79% dan investasi 4%-40%.
Hasil beberapa daerah menunjukkan bahwa DHA pada prioritas progrm Kesmas mendapat alokasi yang kecil 0,77%-18%. Hal ini menunjukkan bahwa untuk perencanaan dibutuhkan upaya besar untuk memperbaiki dan hasil DHA ini dapat digunakan untuk advokasi ke legislatif.
Penerima manfaat pada tabel DHA yaitu pada kelompok umur, apakah daerah melakukan investasi SDM untuk jangka panjang atau tidak.
Kesimpulan dalam pembelajaran DHA yaitu bahwa DHA telah dilaksanakan oleh lebih dari 120 Kab/Kota dan akan terus dilaksanakan sebagai pendekatan analisis belanja kesehatan di tingkat Kab/Kota HA menjadi satu hal yang ideal dilaksanakan setiap Kab/Kota. Manfaat yang nyata dirasakan ialah membantu penyusunan perencanaan yang lebih berbasis bukti.
Kembali ke halaman utama reportase InaHEA