The 2nd Indonesia Health Economics Association Congress
“Health Financing and Economics of nutrition”
Jakarta, 7-10 2015
Panel 1
Reportase Hari Pertama InaHEA 2015:
Tobacco Excise Tax
Reporter: Dhini Rahayu N
Sesi ini merupakan salah satu dari enam sesi paralel lainnya yang membahas Tobacco Excise Tax dengan lima presenter. Rahma Indira Wardhani menyampaikan materi Myth of Tobacco Control yang dilanjutkan dengan presentasi dari Diah Evasari dengan materinya tentang Smoking, Healthcare Cost and Loss of Productivity in Indonesia in 2010. Sesi dilanjutkan dengan pemaparan oleh Nurul Dina Rahmawati dengan Why Tobacco excise is needed. Hal ini kemudian diperkuat dengan pemaparan dengan judul What Can We Learn from Cigarette Price Elasticity? yang disampaikan oleh Ery Setiawan. Ketiganya memaparkan penelitian yang telah dilakukan pada 2010 lalu dan urgensi pengendalian rokok di Indonesia menjadi penekanan dari penelitian. Namun aspek kekinian menjadi sedikit kurang terasa di sesi ini karena pemaparan yang disampaikan sebagian besar telah banyak mengalami perkembangan saat ini.
Aspek kekinian sedikit disampaikan oleh Abdilah Ahsan dalam presentasinya yang berjudul Tobacco Control, Economic Condition and FCTC. Kebijakan bea cukai rokok dan pajak terutama update peraturan berupa undang-undang tentang pajak rokok disampaikan beliau. Namun, ini masih belum mengungkap lebih jelas melalui penelitian terkait penerapan kebijakan pajak rokok di seluruh Indonesia. Penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terkait kebijakan pajak rokok saat ini di Indonesia.
Materi Presentasi:
Panel 2
Reportase Hari Pertama InaHEA 2015:
Health Accounts
Reporter: Nurul Jannatul Firdausi, S.KM
Sesi Panel 2 (08/04/2015) berlangsung sejak pukul 13.00-15.00 WIB di Ruang Jasmine 5. Sesi yang membahas Health Account ini, dibuka oleh Prastuti Soewondo, salah satu Dosen FKM UI, yang berperan sebagai moderator. Sebagai pembuka panel, moderator menjelaskan bahwa Health Account merupakan kegiatan yang dapat memberikan gambaran aliran pembiayaan terkait konsumsi barang dan jasa kesehatan. Kurang lebih empat abstrak dipaparkan pada panel ini dengan mengupas tentang seberapa besar peran pemerintah dalam pembiayaan program kesehatan, baik di tingkat nasional maupun di daerah serta seberapa besar penyerapan dana yang diberikan pemerintah.
Presentasi abstrak pertama dibawakan oleh Kurnia Sari sebagai perwakilan Tim NHA dengan judul Update NHA 2012. Pemaparan ini memberikan gambaran tentang pengeluaran kesehatan Indonesia. Pengeluaran kesehatan Indonesia memang selalu meningkat hingga mencapai 252 Triliun pada tahun 2012. Namun, pengeluaran kesehatan yang meningkat ini jika dibandingkan dengan PDB hanya sebesar 3,07%. Jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya, Indonesia hanya lebih baik dari Myanmar, bahkan kondisinya hampir sama dengan Sudan selatan. Selain itu, pembayaran sendiri (out of pocket) untuk kebutuhan kesehatan masih tinggi. Berdasarkan sumbernya, pengeluaran kesehatan terbanyak adalah rumah sakit (49,8%). Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengeluaran kesehatan masih banyak digunakan untuk UKP. Pengeluaran kesehatan untuk UKM masih rendah. “Justru program UKM pada kasus prioritas, seperti HIV/AIDS banyak dibantu oleh donor, bukan dari pengeluaran kesehatan Indonesia” papar Sari mengakhiri presentasinya.
Pemaparan selanjutnya mengulas lebih dalam tentang peran pemerintah dalam pengeluaran kesehatan Indonesia. Abstrak yang berjudul The Role of Ministry of Health (MoH) as Financing Agent in Health Financing System ini dipaparkan oleh Lili Nur Indah Sari yang juga salah satu Tim NHA. Pemaparan ini bertujuan untuk melihat pencapaian Kementerian Kesehatan untuk pembiayaan program yang diprioritaskan. Penelitian ini memaparkan pengeluaran kesehatan oleh Kementrian Kesehatan hanya mencapai 6,6%. Pengeluaran kesehatan dari Kementrian Kesehatan ini masih didominasi untuk pelayanan kesehatan personal, seperti pelayanan rawat inap, rawat jalan, obat, rehabilitatif dan pelayanan penunjang. Lili juga menjelaskan pengeluaran kesehatan untuk kegiatan yang bersifat promotif dan preventif terus meningkat hingga tahun 2012. Namun peningkatan dari pengeluaran tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan administrasi dan belanja modal.
Pemaparan presenter ke-3 semakin mengerucut dengan mengulas Health Account pada kasus Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Abstrak dengan judul Tantangan Produksi NHA: Contoh Kasus Bantuan Operasional Kesehatan dibawakan oleh Yunita, salah satu Tim NHA. Alokasi dana BOK sebesar 3,01% dari total anggaran Kementrian Kesehatan. Tantangan alokasi BOK ini adalah adanya variasi yang besar pada alokasi dana BOK per kapita per Kabupaten/kota. Selain itu, penyerapan BOK masih belum optimal. Penyerapan dana BOK tertinggi untuk program KIA (34%). Namun, penyerapan dana BOK untuk administrasi tertinggi kedua dibandingkan program UKM lainnya. Dengan demikian Kementrian Kesehatan perlu adanya pendampingan dalam pembuatan perencanaan dana BOK.
Presentasi terakhir dibawakan oleh Hanifa Hasnur dari FKM UI, dengan judul abstrak Potret Pembiayaan Kesehatan Bersumber Pemerintah: Contoh Kasus Kabupaten Pidie Jaya. Temuan menarik dari penelitian ini adalah Kabupaten Pidie Jaya ini masih sangat bergantung pada bantuan dari pemerintah pusat. Sebesar 69,375 pendapatan Kabupaten Pidie Jaya berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU). Selain itu, pengelolan pembiayaan kesehatan terbesar di kabupaten Pidie Jaya adalah Dinas Kesehatan. Namun, hal ini bukan berarti pembiayaan untuk program yang bersifat promotif preventif menjadi lebih baik. Berdasarkan dimensi program, alokasi pembiayaan didominasi oleh pelayanan kuratif (9,20%). Selain itu berdasarkan kegiatan dan mata anggaran pembiayan kesehatan terbanyak untuk biaya operasional pada kegiatan tidak langsung. Berdasarkan jenjang kegiatan, pembiayaan kesehatan banyak terserap di tingkat kabupaten dibandingkan desa dan Puskesmas. Kabupaten Pidie Jaya. Setiap tahunnya fiskal di Kabupaten Pidie Jaya selalu meningkat. Sehingga kegiatan UKM dapat ditingkatkan dan Dinkes sebagai pengelola pembiayaan kesehatan terbesar harus bertanggung jawab untuk meningkatkan kegiatan UKM.
Materi Presentasi:
Indonesian National Health Account.pdf
Panel 3
Reportase Hari Pertama InaHEA 2015:
Primary and Secondary Health Service in Jaminan Kesehatan Nasional Era
Reporter: Budi Eko Siswoyo
Persentasi oral di hari pertama InaHEA yaitu Jum’at, 08 April 2015 dibagi menjadi lima ruang sesuai topik abstrak masing-masing. Topik pelayanan kesehatan primer dan rujukan di era JKN disampaikan di Ruang Jasmine 6 mulai pukul 13.00-15.00 WIB. Sesi yang dimoderatori olehDjazuly Chalidianto ini terdiri dari lima presentasi oral, sebagai berikut :
No. | Penulis | Judul |
1. | Atikah Adyas, Nanik Isnaeni, Adi Soeryo, Ruth Kidane, et al. | The Alignment of JKN with Primary Health Care (PHC) Piloting JLN-PHC Self Assesment Tools in Tangerang District and Bandar Lampung City |
2. | Abd. Halik Malik | Analisis Peran Dokter Layanan Primer Sebagai Gatekeeper di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Monitoring 3 Bulan Pertama Pelayanan JKN di Puskesmas DKI Jakarta) |
3. | A. Heri Iswanto, Budi Iman Santoso | Remunerasi Berbasis Profit Sharing dan Pay for Performance |
4. | Sigit Riyarto | Quality and Efficiency: can Indonesian Private Hospitals Achieve Both? Case Studies of Two Private Hospitals in Yogyakarta and Balikpapan |
5. | Chriswardani Suryawati, S. Pawit, Puri Nur M, Sutopo P, Putria Asmita | Implementasi JKN dan Permasalahan di Rumah Sakit di Kota Semarang Tahun 2014 |
Penulis :
(1) Atikah Adyas, The Joint Learning Network for UHC
(2) Nanik Isnaeni, The Joint Learning Network for UHC
(3) Adi Soeryo, The Joint Learning Network for UHC
(4) Ruth Kidane, et al., The Joint Learning Network for UHC
Penyaji: Atikah Adyas
Judul: The Alignment of JKN with Primary Health Care (PHC) Piloting JLN-PHC Self Assesment Tools in Tangerang District and Bandar Lampung City
PKMK– Pemberi pelayanan kesehatan (provider) primer memiliki peran utama sebagai gatekeeper dalam program JKN. Namun, kurangnya pemahaman stakeholder atas pentingnya pelayanan kesehatan primer masih terjadi. Oleh karena itu, keselarasan dari program JKN terhadap pelayanan kesehatan primer perlu dikaji lebih lanjut. Hal tersebut yang dibahas oleh Atikah Adyas, dkk dalam sesi pertama pada panel 3 untuk hari ini (Rabu, 8/4/2015).
Studi yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan focus group discussion dan indepht interview ini menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang selaras dan tidak selaras pada aspek kebijakan, pembiayaan, dan aspek lain dalam penyelenggaraan program JKN. Keselarasan yang dimaksud, diantaranya seperti : adanya komitmen kebijakan, pelayanan primer termasuk paket manfaat JKN, dan keikutsertaan fasilitas kesehatan milik pemerintah dan swasta. Sedangkan ketidaklarasan yang dimaksud, seperti : belum seimbangnya upaya promotif dan preventif terhadap kuratif di faskes primer dan menurunnya proporsi pembiayaan Pemda terhadap faskes primer.
Beberapa pertanyaan dalam sesi diskusi juga mengungkapkan kondisi aktual yang terkait dengan ketidaklarasan tersebut, sehingga perlu ada kajian lebih lanjut di unit analisis yang lebih banyak dengan sama-sama menggunakan tools dari Joint Learning Network yang sudah diterjemahkan. Kejelasan kebijakan mengenai primary care dan primary health care juga menjadi bahasan utama dalam diskusi.
Penulis : Abd. Halik Malik
Penyaji : Abd. Halik Malik
Judul : Analisis Peran Dokter Layanan Primer Sebagai Gatekeeper di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Monitoring 3 Bulan Pertama Pelayanan JKN di Puskesmas DKI Jakarta)
PKMK– Persepsi dokter Puskesmas dan stakeholder terkait kebijakan pelayanan JKN menjadi salah satu aspek penting dalam monitoring pelayanan JKN di Puskesmas. Kajian yang dilakukan oleh Abdul Halik Malik ini meninjau tiga bulan pertama pelayanan JKN di Puskesmas DKI Jakarta dengan menganalisis peran dokter layanan primer sebagai gatekeeper di era JKN. Analisis kasus rujukan di Puskesmas dan dokter primer pun dilakukan.
Hasil studi menunjukkan bahwa kebijakan pelayanan JKN belum tersosialisasi dengan baik, fungsi gatekeeper di Puskesmas belum optimal, tingginya angka rujukan dapat menunjukkan gagalnya peran gatekeeper namun angka rujukan juga tidak dapat menjadi alat ukur tunggal terhadap kualitas gatekeeper, tumpang tindihnya peraturan pelayanan JKN di Puskesmas, dan perlunya standarisasi Puskesmas. Oleh karena itu, dokter layanan primer perlu mendapatkan penguatan dari seluruh stakeholder, seperti dalam hal kredensialing, pemanfaatan kapitasi, sosialisasi panduan praktik klinis, dan ketegasan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam regulasi.
Pentingnya identifikasi lebih lanjut terhadap jenis penyakit pada kasus rujukan merupakan salah satu pertanyaan yang dibahas dalam materi ini. Kasus rujukan atas nama sendiri juga perlu dikontrol sehingga dapat diketahui seberapa besar permintaan rujukan dan seberapa besar rujukan yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan primer. Tingkat kunjungan dan rujukan merupakan beberapa kriteria dalam mengevaluasi kinerja dari fasilitas kesehatan primer.
Penulis :
(1) A. Heri Iswanto, Direktur Umum RSIA Kemang Medical Care
(2) Budi Iman Santoso, Kepala Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UI-RSCM
Penyaji : A. Heri Iswanto
Judul : Remunerasi Berbasis Profit Sharing dan Pay for Performance
PKMK – Beberapa model pembayaran yang seringkali diterapkan oleh rumah sakit, diantaranya : fee for service, pay for performance, dan gaji. Menurut Bapak Heri pada sesi ini, model remunerasi berbasis fee for service dikenal sebagai model yang tidak efisien untuk rumah sakit. Hal ini karena insentif datang dari jumlah pelayanan, maka dokter akan mengejar absensi dan dikhawatirkan akan lebih mengejar kuantitas daripada kualitas pelayanan.
Metode kombinasi menjadi salah satu solusi remunerasi untuk menghadapi berbagai kelemahan dari setiap metode. Menurut =Heri, model pembayaran dicampur pada level dokter dan departemen. Model paling sederhana melibatkan dua level, dokter dan departemen, serta level departemen dan rumah sakit. Fee for service cukup diadopsi pada level departemen dan rumah sakit, sedangkan model pay for performance harus digunakan pada level dokter dan departemen. Mekanisme profit sharing (5% - 15%) juga menjadi bagian dalam model kombinasi tersebut.
Variasi dalam profit sharing menjadi topik yang diajukan penanya pertama dan model kombinasi ini sebaiknya segera dapat diuji cobakan. Kendala rumah sakit pendidikan dalam mencegah dokter spesialis beralih ke rumah sakit lain dan rumah sakit swasta juga disampaikan oleh penanya berikutnya. Bukan tidak mungkin, model kombinasi pun perlu untuk disesuaikan dengan kondisi rumah sakit masing-masing.
Penulis : Sigit Riyarto
Penyaji : Sigit Riyarto
Judul : Quality and Efficiency: can Indonesian Private Hospitals Achieve Both? Case Studies of Two Private Hospitals in Yogyakarta and Balikpapan
PKMK– Keterlibatan rumah sakit swasta dalam program JKN sangat penting, terlebih mengingat beberapa rumah sakit milik pemerintah sampai kebanjiran pasien dan kehabisan tempat tidur untuk menerima pasien. Ketika rumah sakit swasta terlibat pun, perlu ada kajian lebih lanjut yang mengiringi hal tersebut, sehingga diketahui apakah rumah sakit fokus pada kualitas atau efisiensi, atau dapat ideal keduanya.
Kajian yang dilakukan Sigit pada rumah sakit swasta di Balikpapan dan Yogyakarta menunjukkan bahwa rumah sakit swasta cenderung memilih efisiensi daripada kualitas. Data kajian menunjukkan bahwa salah satu rumah sakit swasta di Balikpapan memiliki difference OP dan difference IP berturut-turut adalah 68 juta dan 1,9 miliar; sedangkan salah satu rumah sakit di Yogyakarta memiliki difference OP dan difference IP berturut-turut adalah 58 juta dan 1,8 miliar. Secara total revenue, rumah sakit swasta sebenarnya tidak rugi, namun keuntungan berkurang sehingga berdampak pada berkurangnya dana pengembangan yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan.
Sesi diskusi diawali penjelasan bahwa rumah sakit swasta juga terkendala ketersediaan data yang memadai dalam upaya costing. Audiens sepakat bahwa adanya public policy untuk rumah sakit swasta sangatlah penting. Konsep iur biaya dalam JKN bisa menjadi solusi jika iur biaya tersebut mendorong kendali mutu dan kendali biaya. Selain iur biaya, salah satu efisiensi operasional yang dapat dilakukan adalah potong gaji pegawai.
Penulis :
(1) Chriswardani Suryawati, Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip
(2) S. Pawit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip
(3) Puri Nur M, Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip
(4) Sutopo P, Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip
(5) Putria Asmita, Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip
Penyaji : Chriswardani Suryawati
Judul : Implementasi JKN dan Permasalahan di Rumah Sakit di Kota Semarang Tahun 2014
PKMK – Penyelenggaraan program JKN tidak terlepas dari berbagai permasalahan, termasuk permasalahan yang dirasakan oleh privoder. Kajian yang dilakukan oleh Chriswardani, dkk bertujuan mengetahui implementasi JKN dan permasalahan di rumah sakit di kota Semarang, baik dalam aspek kepesertaan, keuangan, kelembagaan, dan kebijakan. Rumah sakit yang dimaksud yaitu RSUD kota Semarang dan RSIAI Sultan Agung.
Penelitian kualitatif ini menunjukkan bahwa kedua rumah sakit tersebut telah membentuk tim pengendali JKN, terlebih terjadi peningkatan kunjungan yang cukup signifikan sehingga beban kerja staf rumah sakit (terutama staf medis) meningkat. Sebagian besar pasien yang mengoptimalkan layanan JKN adalah peserta non PBI. Pendapatan rumah sakit cenderung turun karena sebagian tarif INA-CBG’s lebih rendah daripada tarif rumah sakit, sehingga kedua rumah sakit mengusulkan adanya perubahan tarif INA-CBG’s yang diwadahi oleh PERSI.
Dalam sesi diskusi, adanya kasus bahwa pasien dititipkan karena ruang penuh menjadi topik yang mengawali kegiatan. Solusi alternatifnya adalah peningkatan iuran tetapi perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui kecukupan dan penerimaan dari masyarakat. Misalnya pindah kelas diperbolehkan, kenapa sekalian tidah digugurkan hak manfaatnya.
Materi Presentasi:
Panel 4
Reportase Hari Pertama InaHEA 2015:
Payment System
Reporter: Budi Eko Siswoyo
Persentasi oral di hari pertama InaHEA yaitu Rabu, 08 April 2015 dibagi menjadi lima ruang sesuai topik abstrak masing-masing. Topik sistem pembayaran disampaikan di Ruang Jasmine 4 mulai pukul 15.30 - 17.30 WIB. Sesi yang dimoderatori oleh Chriswardani Suryawati ini terdiri dari empat presentasi oral, sebagai berikut :
No. | Penulis | Judul |
1. | Examinar, Dumilah Ayuningtyas | Penilaian Kecukupan Besaran Kapitasi Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 pada Klinik X, Y, dan Z |
2. | Halimah, Prastuti Soewondo, Dwi Oktiana Irawati, Fretta Raymanel, Finza Nurfrimadini | Capitation Fund Management Reform |
3. | Mahlil Ruby | Adequacy of Capitation Simulation |
4. | Novianti Br Gultom, Citra Jaya, Atmiroseva | Ilegal Cost-Sharing in Hospital Care: A Preliminary Survey to Indonesia’s National Security Member |
Penulis:
(1) Examinar, Fakultas Kesehatan Masyarakat – UI
(2) Dumilah Ayuningtyas, Fakultas Kesehatan Masyarakat – UI
Penyaji : Examinar
Judul : Penilaian Kecukupan Besaran Kapitasi Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 pada Klinik X, Y, dan Z
PKMK– Menurut Permenkes No. 69 Tahun 2013, besaran kapitasi pada klinik pratama adalah Rp 8.000,- sampai dengan Rp 10.000,- per orang per bulan. Examinar dkk mencoba melakukan penilaian kecukupan besaran kapitasi yang ditetapkan oleh Permenkes tersebut di 3 klinik pratama; X, Y, dan Z, dengan X adalah klinik pratama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif ini menjelaskan bahwa besaran kapitasi klinik X selama Januari-Maret 2014 untuk hasil kesepakatan lebih besar daripada besaran kapitasi hasil hitung. Range besaran kapitasi di klinik Y dan Z yang dapat dijadikan batasan oleh klinik agar tidak merugi adalah range besaran kapitasi dengan rate utilisasi 4,7 %. Besaran kapitasi berdasarkan ketetapan tersebut juga perlu disesuaikan dengan faktor risiko kesehatan karena ada perbedaan besaran kapitasi berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Sesi diskusi diawali dengan penjelasan lebih lanjut mengenai metode dalam perhitungan besaran kapitasi, terutama posisi komponen biaya langsung dan biaya tak langsung, termasuk biaya investasi dalam perhitungan besaran kapitasi. Dalam rangka menghitung secara optimal besaran kapitasi di klinik pratama, ketersediaan data 12 bulan terakhir sangatlah penting untuk menggambarkan kondisi aktual kecukupan besaran kapitasi.
Penulis :
(1) Halimah, TNP2K
(2) Prastuti Soewondo, TNP2K
(3) Dwi Oktiana Irawati, TNP2K
(4) Fretta Raymanel, TNP2K
(5) Finza Nurfrimadini, TNP2K
Penyaji : Halimah
Judul : Capitation Fund Management Reform
PKMK– Data Pusdatin (MOH RI, 2015) menunjukkan bahwa total Puskesmas di Indonesia = 9.719 Puskesmas yang 95,6 % merupakan Puskesmas Non BLUD. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam manajemen kapitasi di Puskesmas. Oleh karena itu Halimah dkk mengkaji reformasi manajemen dan pengelolaan dana kapitasi di Puskesmas Non BLUD. Reformasi yang dimaksud untuk memperbandingkan kondisi dari tahun 2013-2014.
Penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif tersebut menunjukkan bahwa poin-poin yang telah berubah menjadi lebih baik, diantaranya : besaran pendapatan, insentif medis, mekanisme pengelolaan dana kapitasi, dan lain sebagainya. Distribusi alokasi dana kapitasi di Puskesmas juga beragam di beberapa provinsi dan kabupaten/ kota. Kendala dalam penyusunan dan pengajuan RKA cukup berdampak pada proses pengelolaan dana kapitasi. Studi juga menunjukkan bahwa daerah studi memiliki peraturan daerah masing-masing dengan alokasi jasa pelayanan sebesar 60% dari dana kapitasi.
Diskusi turut menyinggung skema APBD dalam pengelolaan dana kapitasi di Puskemas Non BLUD beserta kendala dan alternatif solusinya. Kendala yang sering dialami oleh Puskesmas adalah keterlambatan pengesahan DPA, sehingga kapitasi belum dapat dibagi sesuai dengan porsi jasa pelayanan dan beban kerja di masing-masing Puskesmas.
Penulis : Mahlil Ruby, Expert for National Social Security Council
Penyaji : Mahlil Ruby
Judul : Adequacy of Capitation Simulation
PKMK – Selain beberapa materi mengenai hasil studi dan kajian, sesi ini juga ada pemarapan simulasi dalam perhitungan besaran kapitasi. Metode yang Mahlil kembangkan telah diformulasikan untuk faskes primer, terutama klinik pratama. Pada umumnya, besaran iuran suatu skema health insurance yaitu sebesar dua atau tiga kali besaran kapitasi. Hal tersebut nantinya tetap dipengaruhi oleh adjustment dalam perhitungan besaran kapitasi.
Mahlil R – Panel 4 InaHEA 2015
Hasil kajian menunjukkan bahwa kapitasi faskes swasta berkisar Rp 12.000,- sampai dengan Rp 20.000,- sedangkan kapitasi faskes pemerintah berkisar Rp 7.000,- sampai dengan Rp 10.000,-. Apabila gaji dokter dan obat tidak disubsidi pemerintah, maka kapitasi faskes menjadi Rp 15.000,- sehingga iuran yang ditawarkan sekitar Rp 30.000,- sampai dengan Rp 45.000,- (belum UHC) dan iuran Rp 50.000,- hingga Rp 60.000,- (setelah UHC). Kapasitas fiskal untuk PBI dan image program yang tidak inferior perlu untuk dipertimbangkan.
Beberapa pertanyaan audien seputar kompenen biaya dan metode secara teknis dalam perhitungan besaran kapitasi. Faktor demografis juga dapat berkontribusi pada penentuan besaran kapitasi, selain faktor risiko dan jumlah peserta. Diskusi seputar kredensialing juga disampaikan oleh audien, bahwa sangat penting untuk melakukan kredensialing bersama antara BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan, dan asosiasi faskes atau organisasi profesi. Sistem withhold dalam key for performance juga berpotensi untuk dikombinasikan dalam kajian ini.
Penulis :
(1) Novianti Br Gultom, BPJS Kesehatan
(2) Citra Jaya, BPJS Kesehatan
(3) Atmiroseva, BPJS Kesehatan
Penyaji : Novianti Br Gultom
Judul : Ilegal Cost-Sharing in Hospital Care: A Preliminary Survey to Indonesia’s National Security Member
PKMK– Cost sharing masih menjadi fenomena yang sering terjadi dalam penyelenggaraan JKN, bahkan BPJS Kesehatan telah mengkategorikan cost sharing tersebut sebagai kategori legal atau ilegal.Novianti dkk melakukan kajian mengenai illegal cost sharing untuk pelayanan kesehatan rujukan di rumah sakit. Exit pool survey merupakan metode yang diterapkan oleh tim terhadap 200 responden dalam kajian tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 42 dari 200 pasien melakukan iur biaya dan 18,5% diantaranya termasuk kategori illegal cost sharing. Iur biaya yang illegal tersebut sebagian besar dikontribusi oleh peresepan obat di luar paket manfaat JKN. Sebagian besar iur biaya yang dimaksud berkisar Rp 20.000,- sampai Rp 100.000,-. Walaupun demikian, pada umumnya pasien (masyarakat) masih setuju jika ada iur biaya yang diterapkan. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut, mengingat ada pengetahuan masyarakat yang tidak menjadi variabel dalam penelitian.
Pada sesi diskusi, sebagian besar audien ingin mengetahui feedback dari BPJS Kesehatan terhadap rumah sakit yang telah terbukti melakukan illegal cost sharing. Feedback yang dimaksud ternyata sudah dilakukan oleh BPJS Kesehatan cabang setempat. Studi ini juga dapat menjadi baseline study dalam penerapan copayment atau coinsurance di Indonesia.
Materi Presentasi:
Panel 5
Reportase Hari Kedua InaHEA 2015:
JKN Coverage
Moderator: Adiatma Yudistira Manogar Siregar
Reporter: Madelina Ariani, SKM, Nurul Jannatul Firdausi, S.KM
Assessment on Indonesia national Health Insurance Inclusiveness for Persons with Disabilities.
Menarik, presentasi dari Maria Widagdo dari Duta Wacana Christian University, Yogyakarta, mengangkat topik mengenai kemampuan kaum difabel untuk mengakses layanan kesehatan di era JKN saat ini. Banyak masalah praktis yang dipaparkan Maria secara ilmiah dalam presentasinya. Misalnya bagaimana masalah tenaga kesehatan melayani pasien tunawicara, apakah menggunakan bahasa biasa atau menggunakan bahasa isyarat?. Analisis dari paparan Maria ini bahwa cakupan layanan JKN masih rendah untuk kaum difabel dan ini perlu ditingkatkan. Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan mengenai akses dan layanan bagi kaum difabel ini. Paparan ini memberikan wawasan baru bagi kita semua untuk lebih memperhatikan kaum difabel dalam skema pembiayaan kesehatan di negara kita.
Presentasi kedua dari Ufara Zuwastin Curran yang merupakan alumni Universitas Oxford yang pada tahun lalu bersama teman-teman dari berbagai universitas di ASEAN menuliskan paper yang mengangkat isu kelompok imigran di kawasan ASEAN. Paper ini sudah pernah dipublikasikan pada jurnal internasional tahun lalu. Pada kesempatan ini, Ufara mempresentasikannya kembali untuk membawa wawasan baru bagi pelaksanaan dan cakupan JKN di Indonesia, khususnya fenomena kelompok imigran ini di masing-masing negara penelitian. Negara yang diambil pada penelitian ini adalah Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Informal Workers and Its Role in Jaminan Kesehatan Nasional in Denpasar City: Feasible Model for Collecting revenue to the Achievement of Universal Health Coverage
Mengingat pentingnya pengumpulan iuran jaminan kesehatan oleh seluruh masyarakat Indonesia pada tahun 2019, maka Putu Ayu Indrayathi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Bali memaparkan hasil penelitiannya mengenai pekerja informal. Latar belakang penelitian ini adalah anggapan bahwa kesehatan itu penting tetapi cakupan asuransi dan jaminan kesehatan hingga saat ini masih menyentuh sekelompok saja. Bagaimana dengan kelompok pekerja informal? Bagaimana pola pengumpulan iuran kelompok yang tidak memiliki persatuan dan perusahaan ini? Dalam penelitian ini, Putu Ayu coba mengidentifikasi siapa pekerja informal yang dimaksud, apa sajakah pekerjaan mereka, lalu dilakukan uji untuk mengukur tingkat pengetahuan dan persepsi mereka tentang JKN. Putu Ayu juga memberikan usulan untuk mempermudah pembayaran iuran bagi pekerja informal, yaitu dengan memanfaatkan sistem banjar (seperti Lembaga Perkreditan Desa atau Koperasi Unit Desa). Sistem ini diusulkan karena sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Bali.
Jaminan Kesehatan, Sebenarnya Investasi Kesehatan untuk Siapa?: Kajian dari Segi Demand
Belajar dari penerapan Jaminan Kesehatan sebelumnya merupakan hal penting untuk memperbaiki penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional yang masih tergolong baru. Pemaparan kali ini Nurul Jannatul Firdausi dari PKMK FK UGM menjelaskan seberapa besar pemanfaatan Jamkesmas oleh masyarakat miskin dan bagaimana pandangan masyarakat miskin terhadap JKN di NTT dan Jawa Timur. Temuan menarik dari pemaparan ini adalah kepemilikan Jamkesmas dan Pemanfaatan Jamkesmas di Jawa Timur lebih rendah dari NTT. Rendahnya pemanfaatan Jamkesmas ini menyebabkan tingginya out of pocket dari masyarakat miskin di Jawa timur. Masyarakat miskin, terutama di Jawa Timur lebih sering menggunakan Jamkesmas ini untuk pengobatan penyakit yang parah. Kondisi ini bisa menjadi salah satu pemicu drop out JKN jika mindset tetap dipegang teguh oleh masyarakat. Pemaanfaatan Jamkesmas juga digunakan untuk penyakit ringan, namun seringkali masyarakat meminta untuk membeli obat yang tidak ditanggung Jamkesmas. Obat Jamkesmas yang tidak terbungkus dianggap oleh masyarakat miskin sebagai obat yang tidak manjur. Pengalaman masyarakat yang tidak baik di pelayanan kesehatan (supply side) sangat berdampak terhadap penurunan kepercayaan untuk memanfaatkan kembali Jamkesmas. Pembelajaran ini diharapkan dapat membantu Indonesia untuk mencapai UHC di tahun 2019.
Developing Pay For Performance Concept for Indonesia’s Primary Care: What Do The Doctors Say?
Penyelenggaraan JKN yang telah berjalan selama lebih dari 1 tahun perlu adanya perhatian untuk memperbaiki pelayanan. Perhatian ini tentu harus seimbang antara demand side dan supply side. Perhatian terhadap supply side salah satunya terhadap dokter di pelayanan primer. Pelayanan primer merupakan garda depan dalam pelayanan JKN saat ini. Citra jaya merupakan perwakilan dari BPJS yang memaparkan penelitian awal untuk menemukan bentuk pembayaran berdasarkan kinerja untuk dokter pelayanan primer. Responden penelitian ini adalah dokter di klinik dan dokter praktek swasta di 16 Provinsi. Penelitian ini juga menawarkan sistem pembayaran kinerja dengan metode seperti arisan. Dokter dengan skor kinerja yang tinggi akan mendapat pembayaran kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dokter yang mendapat skor kinerja rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan masih banyak dokter yang tidak bisa memutuskan bahwa sistem pembayaran kinerja ini akan berjalan baik. Tetapi sebagian dokter juga setuju dengan sistem tersebut dengan alasan lebih adil dan dapat meningkatkan kinerja. Selain reward berupa uang, sebagian kecil dokter juga cukup puas jika diberi reward non finansial.
Materi Presentasi:
Panel 6
Reportase Hari Pertama InaHEA 2015:
Economics of Nutrition and Tobacco
Reporter: Dhini Rahayu N
Sesi paralel dengan topik Economics of Nutrition and Tobacco ini dimoderatori oleh Prof. Alimin Maidin. Presentasi pertama dengan judul materi Determinan Upaya Mencoba Berhenti Merokok oleh Pujiyanto mendapat cukup antusias dari peserta diskusi. Salah satunya adalah Jeff dari RTI yang memperjelas definisi operasional perokok aktif dalam studi ini.
Presentasi kedua juga menarik diikuti yaitu tentang Korelasi Perubahan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan Perubahan Prevalensi Balita Gizi Buruk Berdasarkan Provinsi di Indonesia oleh Widyarsih Oktaviana. Hasilnya diketahui bahwa korelasi keduanya dinilai sedang. Data sekunder yang digunakan baik untuk IPM maupun prevalensi gizi buruk yaitu selama kurun waktu 2010 – 2013. Diketahui bahwa Provinsi Riau menempati urutan pertama dalam kenaikan prevalensi balita gizi buruk. Selama kurun waktu 2010 – 2013 hanya sembilan provinsi yang mengalami penurunan prevalensi gizi buruk. Sesi diskusi menjadi menarik ketika para peserta memberikan masukan kepada peneliti untuk melakukan pendekatan yang lebih dalam terhadap aspek status gizi balita. Bawah garis merah seharusnya menjadi pendekatan awal karena status gizi buruk merupakan kasus gizi yang dinilai terminal atau merupakan fase akhir dari penuruna status gizi anak.
Topik tembakau atau rokok kembali diangkat oleh presenter ke tiga, Nuzulul Kusuma Putri dengan judul Compensation of Cigarette Industry to Health Sector in Indonesia :Study in Bondowoso, East Java. Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DB – CHT) menjadi salah satu aspek yang dibahas pada peneltian ini. Menggunakan lokasi penelitian yang cukup representatif sebagai daerah penerima DB-CHT, peneliti melihat pemanfaatan dana tersebut oleh pemerintah daerah Bondowoso di sektor kesehatan terutama promotif dan preventif sesuai amanat Undang-Undang. Namun ternyata proporsi kedua upaya kesehatan masyarakat tersebut tidak banyak didukung dengan pendanaan yang bersumber dari DB-CHT. Hal ini cukup disayangkan karena kompensasi strategis dari maraknya peredaran dan konsumsi rokok di tengah masyarakat seharusnya adalah pada upaya kesehatan promotif dan preventif.
Materi Presentasi: