The 2nd Indonesia Health Economics Association Congress
“Health Financing and Economics of Nutrition”
Jakarta, 10 April 2015
Pleno 5
Reportase Hari Ketiga InaHEA 2015
Economic of Tobacco
Reporter: Nurul Jannatul Firdausi
PKMK-Sesi Pleno hari ke-3 Kongres II InaHEA (10/04/2015) diawali dengan bahasan tentang Economic of Tobacco. Bahasan ini diangkat karena masalah rokok menjadi perhatian penting saat ini, karena dampak rokok yang sangat luas. Konsumsi rokok tidak hanya menyebabkan ketergantungan bagi penikmat rokok secara aktif. Namun juga berdampak negatif bagi kesehatan keluarga serta kondisi ekonomi. Dengan demikian, pleno kali ini membahas tentang upaya untuk menekan konsumsi rokok. Moderator pada sesi ini adalah Budi Hidayat, salah satu guru besar di FKM Universitas Indonesia.
Pemaparan pertama disampaikan oleh Fatahillah, Asisten Bidang Kesejahteraan Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta. Fatahillah mewakili Gubenur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama untuk memaparkan tentang Pengendalian Rokok melalui Reklame Luar Ruang. Fatahillah mengawali dengan menjelaskan gambaran kependudukan, fasilitas kesehatan serta visi Provinsi DKI Jakarta untuk menjadi kota modern yang layak huni. Dengan demikian, isu strategis Provinsi DKI Jakarta (2013-2017) antara lain fokus terhadap peningkatan kualitas lingkungan pemukiman dan perumahan serta kualitas kesehatan masyarakat. Kebijakan KDM (Kawasan Dilarang Merokok) merupakan bukti nyata pemerintah DKI Jakarta untuk menjadikan Jakarta berkualitas dari segi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Fatahillah menjelaskan tercetusnya kebijakan KDM berawal dari adanya Perda No. 2 Tahun 2005 tentang Pencemaran Udara. Kebijakan KDM ini terus berubah dan semakin diperkuat implementasinya. Penguatan tersebut tidak lagi berkaitan dengan fasilitasi perokok secara fisik. Namun telah bergerak ke arah pengawasan, adanya sanksi bagi pelanggar KDM dan baru-baru ini diterbitkan larangan penyelenggaraan reklame rokok dan produk tembakau pada media di luar ruangan (Pergub No.1 Tahun 2015). “Kebijakan ini telah dikoordinasikan dengan seluruh SKPD terkait, seperti BLHD, Walikota/Bupati, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Pendidikan, Dinas Perhubungan” Ungkap Fatahillah. Kebijakan ini akan aktif diimplementasikan pada 7 Januari 2016. Penyelenggara rokok yang masih memasang reklame di luar ruangan akan mendapat sanksi mulai teguran tertulis hingga pencabutan izin sebagai penyelenggara reklame
Pemaparan kedua masih terkait dengan upaya pengendalian rokok. Topik bahasan pada sesi ini adalah Upaya Pengendalian Rokok melalui Pengembangan Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTA) dan Kawasan tertib Rokok (KTR). Pemaparan ini mengangkat kisah sukses pengendalian rokok di Kota Padang Panjang yang disampaikan oleh dr.Suir Syam, Komisi IX DPR RI. dr. Suir Syam yang pernah menjadi Walikota Padang Panjang menyadari bahwa sulit sekali melindungi masyarakat dari paparan rokok. Pengalaman di Kota Padang Panjang pengendalian rokok awalnya menemui kesulitan karena kondisi lingkungan yang berupa pegunungan sangat mendukung untuk konsumsi rokok. Selain itu, rokok telah menjadi bagian dari adat dan kegiatan masyarakat. Perokok juga mengeluarkan biaya besar untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rokok. Sedangkan, perokok sebagian berasal dari masyarakat miskin. Akhirnya upaya pengendalian rokok menjadi perhatian utama bagi dr.Suir Syam, selaku Walikota Padang Panjang waktu itu. Upaya pengendalian rokok ini diawali dengan merangkul aktifis Forum Kota Sehat sehingga tercetus ikrar Gerakan Waspada Bahaya Rokok. Upaya pengendalian rokok terus dikembangkan dan disosialisasikan tidak hanya pada aparatur pemerintah Kota Padang Panjang tapi juga pada jajaran muspida, SKPD terkait dan organisasi di tingkat desa, seperti PKK serta masyarakat. Terkait larangan iklan rokok yang baru-baru ini akan diimplementasikan di Provinsi DKI Jakarta, Kota Padang Panjang telah memulai larangan iklan rokok sejak September 2008. Selain itu, Kota Padang Panjang juga melarang menggunakan sponsor dari perusahaan rokok. Setelah sukses melakukan upaya pengendalian rokok, Walikota Padang Panjang menyiapkan upaya agar pengendalian rokok melalui KTA dan KTR ini tetap berkelanjutan. Upaya tersebut menyasar berbagai aspek seperti kebijakan, masyarakat, sekolah bahkan tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan. Implementasi suatu kebijakan pasti memberi dampak positif dan negatif. Kebijakan pengendalian rokok di Kota Padang Panjang tidak terlepas dari dampak negatif kebijkan. Akibat kebijakan ini beberapa sektor mengalami penurunan pemasukan karena larangan iklan rokok serta penurunan frekuensi merokok masyarakat. Meskipun secara finansial menurun, kebijakan ini memberikan dampak positif non finansial, terutama terjadinya peningkatan dari segi kualitas lingkungan dan kesehatan
Pemaparan ketiga membahas dampak kebijakan pengendalian rokok dari aspek ekonomi. Pemaparan ini disampaikan oleh Djaka Kusmartata dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan. Djaka Kusmarata mewakili Suahazil Nazara selaku Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan. Sesi ini Djaka Kusmartata menyampaikan Kebijakan Cukai Hasil Tembakau sebagai Instrumen Pengendalian Konsumsi. Pengendalian rokok sangat gencar dilakukan. Pemaparan sebelumnya telah membahas kebijakan larangan pemasangan reklame di luar ruangan oleh DKI Jakarta yang akan aktif pada tahun 2016. Sebelumnya, pengendalian konsumsi rokok juga dilakukan dengan menaikkan cukai rokok. Harapannya untuk menurunkan daya konsumsi masyarakat. Namun, Djaka Kusmantara mengawalinya dengan memberikan gambaran tentang cukai rokok bahwa cukai menjadi komponen didalam harga rokok. Naiknya harga rokok tentu akan menurunkan konsumsi rokok begitupula dengan produksi rokok. Namun pertanyaannya apakah kondisi tersebut mempengaruhi pendapatan negara? Djaka Kusmantara menjelaskan setiap kenaikan 10% cukai rokok, negara tetap mengalami kenaikan pendapatan sebanyak 8% jika penurunan konsumsi hanya sebesar 2%. Akan tetapi, pendapatan negara dari cukai rokok juga dipengaruhi oleh faktor lainnya, seperti adanya larangan pemasangan iklan rokok. Pemasukan negara dari rokok dapat berasal dari cukai rokok dan pajak rokok. Dana tersebut dapat digunakan untuk peningkatan sektor kesehatan. Dana bagi hasil dari cukai rokok adalah 2% untuk provinsi penghasil cukai rokok. Sedangkan, dana bagi hasil dari pajak rokok paling sedikit 50% bagi provinsi maupun kota/kabupaten. Penggunaan dana bagi hasil dari salah satunya untuk pelayanan kesehatan masyarakat (Pasal 31 UU No. 28 Tahun 2009), baik penyediaan sarana fisik maupun kegiatan promotif dan preventif untuk pengendalian konsumsi rokok. Pendapatan negara dari cukai rokok tahun 2005-2014 selalu melebihi target APBN. Ssehingga target pendapatan cukai di tahun 2015 ini adalah 139 Triliun. Jika pendapatan dari cukai dapat mencapai target tersebut tentu dapat banyak membantu peningkatan di sektor kesehatan. Namun, kebijakan cukai hasil tembakau masih menemui banyak tantangan, seperti masih banyak rokok ilegal dan target penerimaan cukai yang selalu meningkat
Materi:
FATAHILLAH - PAPARAN KDM PROV DKI
Djaka Kusmartata - BKF KEMENKEU RI
Pleno 6
Reportase Hari Ketiga InaHEA 2015:
Economic of Nutrition
Reporter: Madelina AMadelina A
Kepedulian InaHEA dengan permasalahan gizi di Indonesia membawa tema gizi dan ekomoni kesehatan sebagai tema utama pada kongres tahun kedua ini. Pleno VI kali ini khusus menghadirkan pembicara pakar-pakar gizi di Indonesia. Pleno ini dimoderatori oleh Endang L Achadi dari Universitas Indonesia yang juga fokus dalam permasalahan gizi kesehatan di Indonesia.
Ada tiga poin utama yang dibahas dalam pleno ini. Pertama mengenai masalah gizi dan kesehatan, ekonomi pangan dan gizi, dan keamanan pangan yang dilakukan oleh pemerintah. Mengenai ekonomi pangan dan gizi seperti ini penting sekali untuk selalu dibahas agar upaya yang perlindungan dan keamanan pangan yang dilakukan pemerintah, penelitian yang dilakukan juga mendapat dukungan dari masyarakat dan stakeholder, baik dari dukungan penelitian, regulasi ditingkat lokal, maupun masukan dan rekomendasi.
Pembicara pertama, Minarto yang juga ketua PERSAGI memulai paparannya dengan menjelaskan dasar rantai gizi. Mulai dari panganan/bahan pangan disemai, diproduksi, didistribusikan, diolah, dikemas, dan didistribusikan kembali, hingga sampai ke tangan konsumen. Seluruh bagian rantai ini memiliki pengaruhnya masing-masing untuk kandungan gizinya.
Saat ini pemenuhan gizi kita lebih diarahkan pada gizi seimbang. Disinilah tantangan bagaimana kita dapat mengedukasi masyarakat dan keluarga untuk memenuhi gizi keluarga secara seimbang.
Berbicara gizi dan kesehatan maka ada dua sisi yang berpengaruh, kelebihan gizi menyebabkan obesitas dan kekurangan gizi menyebabkan gizi buruk. Hal ini kemudian diiringi dengan dampaknya yakni penyakit tidak menular dan penyakit menular. Belum lagi ketika kita berbicara mengenai perubahan lingkungan, sanitasi buruk, dan perilaku masyarakat terhadap gizi, maka yang muncul kemudian adalah diare, pertumbuhan yang terhambat, kelapanan, dan masalah lainnya. Begitu banyak hal yang mempengaruhi gizi masyarakat begitu juga sebaliknya, status gizi berdampak langsung dan langung bagi kehidupan dan kualitas individu.
Dalam forum ini, Minarto menunjukan banyak diagram masalah-masalah dan kasus gizi dan kesehatan masyarakat Indonesia dari hasil-hasil penelitian dan data kementerian yang pernah dilakukan. Perlu kita sadari semua adalah investasi di bidang gizi ini sangatlah penting sebab permasalah gizi dan penyakit pasti akan menimbulkan pembiayaan kesehatan yang tidak sedikit.
Berbeda dengan paparan sebelumnya, meski sama-sama membahas gizi tetapi Hardiansyah dari Pergazi Pangan Indonesia membahas mengenai pembiayaan minimum yang adekuat untuk gizi wanita hamil dan balita. Tidak mudah memang untuk mentransfer gizi dan pangan ke bentuk ekonomi, tetapi ini harus kita upayakan gara perhitungan jelas untuk perencanaan pembiayaan gizi masyarakat.
Hardiansyah menjelaskan mengenai cara-cara perhitungan biaya gizi. Pembiayaan yang dibahas mulai dari biaya habis untuk pemenuhan gizi 100 hari anak, gizi anak, gizi ibu hamil, sampai sebaran biaya total untuk gizi keluarga. Model perhitungan ditampilkan juga dalam bahasan ini.
Untuk pembuktian biaya gizi dan pangan dalam ekonomi maka Hardiansyah mencoba memaparkan hasil penelitian metaanalisis dari Universitas Harvard. Penelitian ini membuktikan bahwa memang diet sehat lebih mahal dibandingkan diet murah. dari pada. Namun, butuh penelitian dan perhitungan lebih lanjut untuk perhitungan biaya ini. Di negara maju, pembiayaan gizi keluarga ini dilaporkan rutin pertiga bulan dan hal ini yang belum dilakukan Indonesia.
Menarik, pembicara ketiga berbicara mengenai isu keamanan pangan. Theresia Ronni yang merupakan direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas RI. Theresia berbicara dari sisi pemerintah mengenai peran dan upaya yang dilakukan untuk menjaga keamanan pangan republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan dua pembicara sebelumnya, maka proses menjaga keamanan ini sama dengan menjaga kualitas pangan dan gizi disetiap bagian rantainya.
Tantangan kita bersama adalah mengenai mendifinisikan nutrition expenditure. Upaya yang kami lakukan menggunakan dua pendekatan, pendekatan spesifik dengan menuju langsung kepada sasaran, misalnya masyarakat. Sedangkan pendekatan sensitif dengan menuju kepada faktor diluar manusia yang bisa mempengaruhi, seperti sanitasi dan lingkungan yang buruk seperti yang disampaikan pembicara sebelumnya.
Tiga outline yang dibahas Theresia mengenai penyelenggaraan pangan, pengawasan pangan dalam RPJMN 2015-2019 dan keamanan pangan. Selain itu, yang penting dibahas adalah pemahaman bahwa ketersediaan pangan dan gizi jika tidak dilaksanakan dengan baik akan berdampak sanga buruk bagi keamanan dan pembangunan bangsa. Hal ini membutuhkan pendekatan mitra dalam penyelesaiannya. Bukan saja menjadi masalah kesehatan atau kementerian tertentu saja.
Kabar baiknya,masalah pangan dan gizi sudah masuk dalam RPJMN bahkan diterjemahkan ke sembilan poin. Pangan masuk dalam sektor unggulan dan tujuannya untuk memandirikan bangsa untuk pemenuhan pangan dalam negeri. Jika Investasi pangan dan gizi benar dilakukan maka dampaknya adalah generasi bangsa yang berkualitas.
Menanggapi seluruh pembicara, moderator menyampaikan bahwa yang terlupa bagi kita semua adalah prediksi dampak penanggulangan dan keamanan gizi dan pangan yang buruk ke depannya: peningkatan kesakitan serta rendahnya kecerdesan bangsa. Kembali moderator mengingatkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi 1 dolar untuk gizi masyrakat akan memberikan dampak 48 dolar secara positif bagi negara.
Sesi diskusi, ragam pertanyaan dari akademisi dan NGO. Pertanyaan seputar penjagaan keamanan obat dari toko obat pinggiran jalan bukan apotek, kualitas gizi beras miskin bagi masyarakat miskin. Tanggapannya adalah bahwa pelaksanaan pengawasan pangan itu disesuaikan dengan bagan rantai pangan, jadi tidak semua pengawasan dilakukan oleh Bappennas. Jika sudah di luar kewenanganan kementerian dan jajarannya, maka untuk kasus yang sudah dicurigai berbau kriminal dan berdampak kepada masyarakat maka sudah menjadi wewenang kepolisian. Begitu juga dengan kualitas beras miskin, upaya yang kami lakukan selain menjaga proses pengadaan dan distribusi beras miskin tersebut, saat ini kami mencoba memfortifikasi beras dengan zat gizi yang dibutuhkan masyarakat.
Materi Presentasi:
Hardinsyah - Pergizi Pangan - Cost of Adequate Diet PW & Children 2015
Theresia Ronny Andayani - Food Safety Bappenas
Pleno 7
Reportase Hari Ketiga InaHEA 2015
Healthcare Financing
Reporter:
Materi pertama mengenai perlindungan sosial disampaikan oleh Ibu Vivi Yulaswati dari Bappenas. Beliau menekankan bahwa perlindungan sosial melakukan penganggulangan kemiskinan secara komprehensif. Data menunjukkan out-of-pocket dari masyarakat “uninsured” lebih tinggi daripada dari peserta JKN. Beberapa tantangan dan strategi dalam perlindungan sosial juga beliau paparkan, terutama yang tertuang dalam RPJMN. Tranformasi dan integrasi dalam sistem JKN diharapkan dapat didukung oleh berbagai pihak dengan pembagian seperti : fiskal (Kemenkeu), status dan pelayanan kesehatan (Kemenkes), kemiskinan (Bappenas), kepesertaan (DJSN), dan manajemen pembiayaan (BPJS Kesehatan dan OJK)
Materi dilanjutkan oleh Biro Perencanaan dan Penganggaran Kementerian Kesehatan yang diwakili oleh Andi. Andi menunjukkan bahwa walaupun pembiayaan kesehatan dari pemerintah pusat selalu meningkat, namun kontribusi daerah dalam pembiayaan kesehatan tetap lebih tinggi. Dari tahun 2005-2013, semakin banyak daerah yang memproporsikan dana kesehatan > 10% dari APBD. Dana sosial (untuk PBI) yang disiapkan Kemenkes pun mencapai Rp 20,35 triliun di tahun 2015 dan dapat mencapai Rp 36,26 triliun di tahun 2019, sehingga total anggaran PBI JKN tahun 2015-2019 mencapai Rp 149,86 triliun. Beberapa isu anggaran dalam pembangunan kesehatan juga beliau paparkan.
Materi Tavipiyono dari Kementerian Dalam Negeri menjadi pemaparan berikutnya. Tavi mengawalinya dengan menjelaskan pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah menurut UU 23/2014 dan UU 33/2004. Salah satu kebijakan yang terkait dengan pelayanan kesehatan, terutama yang mengarahkan fasilitas kesehatan menerapkan PPK-BLUD. Perbedaan status BLUD penuh dan bertahap juga dijelaskannya, bahwa fleksibilitas BLUD yang status penuh bahkan meliputi : pengelolaan pendapatan dan biaya, pengelolaan kas, pengelolaan utang, pengelolaan piutang, pengelolaan investasi, pengadaan barang/ jasa, pengelolaan surplus dan defisit, mempekerjakan PNS dan non PNS, dan lain-lain.
Materi terakhir ditutup oleh Chazali H. Situmorang, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional. Chazali menjelaskan beberapa peran DJSN dalam kajian dan usulan pembiayaan JKN yang tepat. Tugas komisi kebijakan umum dan komisi pengawasan dan monev juga beliau paparkan. Salah satu tugas komisi kebijakan umum adalah menyusun anggaran jaminan sosial bagi PBI dan tugas komisi pengawas dan monev adalah melakukan monev penyelenggaraan program jaminan sosial, termasuk tingkat kesehatan keuangan BPJS. Beberapa hasil monev satu tahun penyelenggaraan JKN juga menjadi bagian dalam materi beliau.
Materi Presentasi:
Andi Saguna - Roren Kemenkes RI
Chazali Situmorang - PERANAN DJSN
Vivi Yulaswati - Bappenas - Social Protection to Reduce Poverty in Indonesia