Monitoring Jaminan Kesehatan Nasional
Moderator: Budi Hidayat dan Mundiharno
PKMK– Era JKN di Indonesia telah dilaksanakan sejak awal Januari 2014 dan kita akan melihat implementasi JKN yang telah dilaksanakan dalam empat minggu ini, Budi Hidayat mengawali sesi pleno pada Monitoring JKN pagi ini. Pemateri yang akan membahas isu ini antara lain PB IDI, PB IBI, Perwakilan RS, Profesi Apoteker, Perwakilan Boehringer Ingelheim Jerman, Perwakilan PAMJAKI, Kemenkes RI, OJK dan BPJS Kesehatan.
Pembukaan diskusi Pak Budi sebagai moderator menjelaskan bagaimana JKN dilaksanakan pada awal tahun. Implementasi ini paling banyak dirasakan oleh provider kesehatan. Bagaimana implementasi kepesertaan BPJS Kesehatan di daerah? Menurut PB IDI, dokter mempunyai hak otonomi dan privilege. Muncul pula kerjasama kontrak dengan BPJS dan pasien. Bila ada konflik kepentingan, kepentingan pasien yang diutamakan.
Masalah yang paling banyak ditemuiterkaittarif INA-CBG, sehingga fasilitas kesehatan mulai mengatur untuk plafon setiap komponen pelayanan. Dalam hal ini, dikhawatirkan pasien yang dirugikan atas pelayanan yang diberikan di RS tersebut. Perwakilan dari Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Laurensia menyatakan BPJS bukan hal baru karena sebelumnya sudah ada Jampersal, sudah ada MoU dengan BPJS. Memang ada surat edaran dan akan ditindaklajuti oleh Dinas, tapi mekanismenya masih belum jelas. IBI tidak masuk provider namun BPJS telah mengatur ada pelayanan kebidanan. Ada dukungan bidan, tapi masih belum jelas.Kualitas PHC juga harus dijaga, contoh dua puskesmas PONED satu set partus saja tidak ada malah punya bidan sendiri. Di IBI sendiri telah dibentuk Sekretariat Bersama (Sekber) dan Satuan Tugas (Satgas) dan sedang menggalakkan upaya mengedepankan promotif dan preventif. Namun masih belum ada kejelasan dengan tugas bidan pada era BPJS ini.
Dari penjelasan pelayanan primer, masih banyak masalah dengan pelayanan primer sambung moderator Prof Budi Hidayat. Bagaimana dengan kepesertaan?
Perwakilan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Wasisto Budi Waluyo mengatakan target yang ingin dicapai yaitu 121 juta peserta. Pendaftaran sampai April dengan catatan sosialisasi kurang dari yang ditargetkan. Dampak ke RS baik pemerintah maupun swasta. Struktural RS 80% belum paham BPJS dan JKN apalagi swasta tidak diwajibkan kecuali pelayanan untuk gawat darurat. Pada 13 asosiasi dalam PERSI, paling banyak RS swasta. Kecemasan tarif belum keekonomian juga menambah beban permasalahan mendasar di RS. Penghitugnan yang tidak keekonomian membuat dokter hanya mendapat sisa dari operasional pelayanan yang ada. Asas keekonomian penting bagi RS supaya bisa berkembang atau untung. PERSI tetap mendukung sehingga diharapkan ada perbaikan sistem. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) melalui Ahdi Utomo menyebutkan bahwa 50 triliun konsumsi obat, separuhnya konsumsi BPJS. Hal ini menunjukkan bahwa UU 36 Tahun 2009 cenderung diabaikan.
Ada beberapa peraturan obat yang kurang diatur secara jelas. Apoteker nakes dan anggota jejaring bukan anggota kapitasi. Pembayaran lebih ke pelayanan medis. Resep bisa ditebus setiap saat, belum ada perjanjian apoteker terhadap faskes. Skenario BPJS masih kabur. Tidak ada aturan obat tidak masalah, asal ada perjanjian tripartite antara : Apoteker, faskes, RS dan BPJS. Harga obat netto yang selama ini digunakan oleh BPJS mengabaikan jasa peresepan.
BPJS bukan hanya promosi tetapi juga melakukan koordinasi dan diskusi bersama. Dan Professional harus cukup bertemu atau berkoordinasi dengan dokter, farmasi dan RS. Hal yang terpenting adalah distribusi, akses dan seleksi. Hal lain yang ditekankan mengenai JKN ini dari Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI) yang diwakili Rosa Ginting (mantan direktur InHealth) berlakunya JKN yang baru sebulan, banyak masalah wajar untuk perubahan yang sangat besar. Provider, masyarakat, penyelenggara berubah. Respon masyarakat ada yang positif dan negatif. Banyak keluhan justru banyak di mantan peserta Askes. Provider perlu rasa berkorban karena perbaikan terutama untuk jasa akan terjadi. Proses COB juga masih berjalan. Koordinasi COB juga dapat melibatkan asuransi kesehatan swasta.
Kementrian Kesehatan RI yang diwakili Kulsum menyatakanJKN adalah program pemerintah bersama raktyat, perlu ada pemahaman yang sama sehingga jaminan seluruh penduduk tercapai guna askes pelayanan. Peran Kemenkes sebagai regulator terus berupaya sebaik mungkin. Hasilnya yaitu 17 regulasi, utamanya pada Perpres No 12 tahun 13 dan Perpres No 101 tahun 2013 tentang perubahan Perpres No 12 tahun 2013 itu yang utamanya karena menerapkan prinsip kendali mutu dan biaya. Adanya perubahan pembayaran dari FFS ke prospective payment. Perlu juga penyiapan provider dan pemahaman RS memahami model pembayaran dan sikap apa yang harusnya dilakukan RS. Selain fungsi regulator, Kemenkes diwajibkan dapat memonitor pelaksanaan JKN, untuk hal ini berbagai media telah disiapkan. Untuk memonitor secara 24 jam,Kemenkes telah membuat hotline 400, 500, sms center, email, dan sebagainya. Reaksi informasi luar biasa dan ditampung untuk kemudian akan diperbaiki. Untuk ke depan dalam tahap pembentukan tim monev sehingga dapat terkonsep dan terstruktur.
Hal yang hampir sama diungkapkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) melalui Timur Sutanto (Pemerintah). Hasil monitoring di daerah lebih ke sosialisasi. Banyak hal-hal yangperlu dipahami oleh peserta, RS, Dinkes, Bapel Jamkesda.Peran DJSN adalah pengawas BPJS sama halnya OJK. OJK lebih ke pemeriksaan hasil keuangan, peran DSJN secara regular. Komponen utama monev yaitu laporan BPJS dan laporan masyarakat. Masalah kepesertaan, pelayanan, kecukupan, manfaat, distribusi obat, fraud, ketepatan pembayaran, dan lain-lain. Tujuan utamanya adalah kebijakan umum sebenarnya tapi perlu ada regulasi yang lebih jelas dan lebih teknis. Dalam hal kepesertaan sebenarnya antusiasme masyarakat sangat tinggi, hal ini diungkapkan oleh Tono Rustiantoro perwakilan BPJS Kesehatan. Seluruh masyarakat dharapkan dapat menjadi peserta, namun hal ini belum memperhitungkan kecukupan iuran ke depannya sehingga belum ada kejelasan cukup atau tidaknya dana BPJS tahun ini. Pada pelayanan dititkberatkan pada profesi dan provider walaupun ada beberapa masalah justru ini menjadi hal yang perlu dibahas bersama. Porsi obat sudah dimasukkan dalam pembayaran provider berbeda sebelum JKN yang masih membedakan secara jelas porsi obat dalam pelayanan.
Sesi Diskusi
Dr Boy dari FK UI menyatakan pada bulan September 2013 di Surabaya, ada harapan kesempatan mendidik masyarakat siapa yang bertanggungjawab. InaHEA membuat divisi untuk mendidik masyarakat. Jika tidak ada perbedaan persepsi. Pasien harus diberikan pendidikan agar berpartisipasi dalam JKN.
Salah satu peserta, Pak Budi menanyakan yang sakit cenderung bergabung ke JKN, JKN wajib tapi sukarela. Masyarakat yang sakit mendaftar sampaitahun 2019 bila terjadi akan kolaps dan perlu diperjelas turunannya. Hal ini ditambahkan oleh Prof. Laksono bahwa bisa jadi dalam hal kepesertaan yang mendaftar justru orang-orang yang sudah sakit dan oerang-orang kaya yang sakit.
Dr Asih dari Martabat juga menanyakan bagaimana polarisasi pelayanan kesehatan yang terjadi dan bagaimana antisipasinya. Heni dari Unpad menyatakan kepesertaan hasil temuan di lapangan bahwa untuk mendaftar ke BPJS Kesehatan sudah sulit, menghubungi call center BPJS hanya bersifat informasi. Walaupun demikian kerjasama bank Mandiri, BRI dan BNI tetapi hanya penerimaan premi bukan registrasi peserta. Sarana pendaftaran BPJS, unit BRI bisa dimanfaatkan untuk kepesertaan, melalui PT POS juga bisa dimanfaatkan untuk registrasi. Kemudian Adila dari FKM UI menyampaikan sosialisasi pendaftaran belum merata baik itu dimasyarakat dan di provider kesehatan sampai dengan rumah klinik atau dokter keluarga.
Hal yang dikomunikasikan dari BPJS Kesehatan yaitu registrasi kepesertaan terjadi dimana-mana. Website dibuka tanggal 7 namun juga masyarakat tidak banyak yang akses. Kerjasama dengan bank, tidak langsung diimplementasikan, butuh proses namun sudah mengarah kesana. Termasuk rencana melibatkan indomaret, alfamart dan lain-lain. Upayanya adalah pendaftaran terbuka melalui website dan online. Kulsum dari Kemenkes menambahkan, web bisa diakses untuk kepesertaan. Memang dana JKN tahun ini atau BPJS tidak melakukan adverse selection, jadi seluruh masyarakat boleh menjadi peserta.
Peserta dari mahasiswa kedokteran mengungkapkan bahwa tarif INA CBGs sangat asing bagi kalangan mahasiswa dan staf provider, penetapan tarif berdasarkan apa?Apakah berdasarkan obat dan alat, suplainya saja belum diperhitungkan dengan benar. Peran konsulen obat diambil oleh dokter, sehingga apoteker menjadi kekurangan pekerjaan. Sedangkan dokter sendiri terlalu sibuk dengan pekerjaan yang bukan menjadi bagiannya.Sehingga di era JKN ini tidak hanya masyarakat yang diberikan pendidikan/sosialisasi JKN tetapi juga dokter, bidan, perawat, apoteker (tenaga kesehatan) serta masyarakat umum.
Gatot menyatakan apoteker apakah posisinya seperti sekarang. Dari PERSI, bahwa telah membentuk tim BPJS, ikut serta aktif dalam pertemuan di kemenkes dan BPJS, mengatur surat kerjasama. Tujuannya yaitu RS tidak mudah mundur dari provider. Harapan ada evaluasi enam bulan. Kemudian, muncul harapan lain yaitu BPJS Kesehatan yang profesional, dengan tambahnya kepesertaan serta meningkatkan provider kesehatan. Perjanjian kerjasama harus lebih baik.
Dari perhimpunan Apoteker menyatakan BPJS jangan over promotif dan over promise. Hal ini sebaiknya mengukur kemampuan SDM dan kapasitasnya. Sebaiknya semua pihak yang terlibat diajak belajar bersama dan menata bersama, baik birokrasi dan pelayanan, didukung kemkes dengan regulasi. Wakil Pamjaki menyatakan era perubahan ini, harus berubah, mari kita aktif jangan menunggu (atau aktif mencari). BPJS harus kerja keras banyak mendengar masukan dan saran. Memanfaaatkan jaringan yang ada untuk membantu sosialisaasi kepesertaan.
Dari IBI menyatakan pada pembiayaan kapitasi, siapa yang membiayai sebenarnya? Sebelum era ini pun kebidanan ada di promotif dan preventif, BPJS ke kuratif, meningkatkan PHC-nya. Fasilitas kesehatan yang masih kurang perlu dibenahi. Boehringer Ingelheim Jerman kerjasama dengan berbagai pihak sangat bagus. Perwakilan DJSN menyatakan bahwa banyak kesulitan yang muncul, termasuk finansial, telah disediakan dana 4-5 Trilyun untuk mengendalikan resiko pada tahap awal pelaksanaan BPJS. Pada kepesertaan memang kesulitan untuk sosialisasi karena PP dan Perpres yang diterbitkan baru direalisasikan. Kemenkes menyatakan peraturan dapat diubah dan diperbarui. Sebagai penutup BPJS Kesehatan dijelaskan bahwa 1). pelayanan: penguatan fasilitas primer dan diterapkan sekarang. 2) tarif: penetapannya tidak punya ahli, kita kekurangan ahli untuk tarif serta belajar dari orang lain. Kita butuh tenaga ahli untuk menyelesaikan hal ini.
Catatan:
- JKN merupakan sebuah sistem cukup memberi peluang untuk mendapat akses pelayanan kesehatan
- Pemerintah, policy maker dan stakeholder berusaha keras menyusun peraturan JKN dengan menghasilkan 17 peraturan yaitu 8 PP, 5 Perpres, dan 2 SE dan sebagainya
- Implementasi JKN di lapangan masih banyak. Hingga saat ini, BPJS Kesehatan merespon karena umumnya masalah di tingkat teknis.
Kembali ke halaman utama reportase InaHEA