Sesi Diskusi 2
Health System Strengthening (Primary care, Jampersal, KIA)
Pemateri 1: Wahyu P. Nugraheni
Potret Pembiayaan Kesehatan Sektor Informal di Indonesia (Hasil analisis Data Riskesdas)
Di sesi ini, pemateri memaparkan gambaran pengeluaran kesehatan di sektor informal, yakni pekerja bukan penerima upah berdasarkan hasil Riskesdas 2013. Data dari BPS menggambarkan bahwa 60% dari 120 juta angkatan kerja termasuk dalam sektor informal dan sekitar 40 juta dari pekerja informal tersebut tidak memiliki jaminan kesehatan. Petani merupakan 29% dari seluruh sektor informal, dan 50% diantaranya tidak tercakup dalam jamnan kesehatan. Besarnya sektor informal ini, menyebabkan sebagian besar pengguna RS Pemerintah dan RS Swasta yakni dari sektor wiraswasta. Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk sektor informal lebih kecil daripada rerata biaya oleh sektor formal.
Sesi tanya-jawab mendiskusikan mengenai definisi sektor informal yang digunakan dii dalam Riskesdas. Salah satu keterbatasan dari Riskesdas 2013 ini yaitu di opsi “lain-lain”, sementara tidak ada ruang untuk penjelasan mengenai opsi “lain-lain” tersebut.
Salah satu penanya tertarik dengan temuan bahwa ada kelompok dari sektor informal yang berobat ke luar negeri, sehingga agak kontradiktif dengan paparan bahwa sebagian sektor informal datang dari kuintil bawah. Dalam hal ini, pemateri merespon bahwa sektor informal juga bukan berarti dari kuintil bawah, karena pengusaha dan pengacara pun dapat digolongkan menjadi sektor informal. Terkait dengan kuintil, analisis lanjut mengenai utilisasi pelayanan kesehatan menemukan bahwa beberapa persen dari kuintil terbawah memang berobat ke luar negeri karena letak geografisnya yang berbatasan dengan negara tetangga.
Pemateri menutup sesi dengan mengungkapkan bahwa salah satu strategi untuk meningkatkan cakupan jaminan kesehatan di era JKN ke kalangan informal yaitu dengan memperkuat sosialisasi.
Pemateri 2: Ahmad Fuady
Integrating Medical Education and Pay-for-Performance in Primary Care: an Option for National Health Coverage
Pemateri memaparkan suatu kajian literatur mengenai metode Pay-for-Performance (PFP) untuk membayar pelayanan kesehatan yang ditekankan pada proses pendidikan post-klinik atau koasistensi. Beberapa data menunjukkan bahwa metode PFP di UK terbukti berhasil meningkatkan kualitas dan kontinuitas pelayanan kesehatan dan pemateri mengajukan usulan untuk implementasi skema ini di Indonesia terutama di dunia koasistensi.
Di sesi tanya jawab, Wahyu dari Litbangkes menanyakan siapa yang berwenang menjadi asesor bagi metode PFP ini dan mengenai perbedaan dengan kapitasi. Pemateri menyatakan bahwa di era JKN ini asesor sebaiknya dari pihak penyelenggaraan asuransi (atau jaminan kesehatan) atau gabungan dari organisasi profesi dan universitas. Kelebihan PFP dari kapitasi yaitu di dalam kapitasi ada ancaman undercare sedangkan PFP justru dapat memotivasi klinisi untuk memberi pelayanan dengan kualitas lebih baik, meskipun ada risiko bahwa kualitas yang lebih baik ini hanya terjadi di atas kertas. Pemateri juga mengungkapkan bahwa PFP ini sudah dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia dan di era JKN penting untuk mengadopsi PFP untuk sektor pelayanan primer.
Pemateri 3: Tiara Marthias
Upaya Meningkatkan Kesehatan Ibu dan Anak di Provinsi Papua Melalui Penerapan Perencanaan Berbasis Bukti
Pemateri memaparkan pengalaman penguatan perencanaan untuk KIA dengan menggunaan metode Perencanaan Berbasis Bukti di tiga kabupaten di Papua: Boven Digoel, Jayawijaya, dan Yapen. PBB ini mengedepankan beberapa aspek dalam proses perencanaan antara lain: menggunakan bukti lokal terkait masalah kesehatan yang utama, menggunakan bukti internasional mengenai intervensi KIA yang efektif untuk mengatasi masalah KIA, serta penggunaan kerangka bottleneck analysis untuk mengidentifikasi permasalahan dalam sistem kesehatan. Dari pengalaman tim, peran Bappeda sangat signifikan dalam menentukan perencanaan kesehatan di tingkat kabupaten dan provinsi dan peran akademisi sebagai technical assistance krusial untuk menjamin keberlangsungan program dalam jangka panjang.
Sesi diskusi membahas mengenai bagaimana metode untuk mengevaluasi program ini dari segi outcome kesehatan yaitu angka kematian ibu dan anak. Untuk hal ini pemateri mengungkapkan bahwa sampai tahap ini, dua tahun pasca implementasi, hal yang feasible untuk dilakukan yaitu evaluasi pada tingkat output yaitu peningkatan penganggaran di bidang KIA. Ke depannya akan dilakukan evaluasi lebih lanjut untuk mengevaluasi outcome jangka pendek yaitu cakupan layanan KIA dan akan memikirkan lebih lanjut langkah untuk evaluasi keberhasilan dari segi angka kematian ibu dan bayi/ balita.
Halimah dari TNP2K berbagi pengalaman mengenai evaluasi BOK di Jayawijaya dan mengusulkan intervensi perencanaan ini untuk diterapkan untuk penggunaan dana BOK dan kesehatan masyarakat di tiga kabupaten baru yang akan diintervensi oleh tim pemateri. dr. Boy dari FK UI mengusulkan pentingnya melibatkan mahasiswa dalam proses evaluasi, sehingga tidak hanya menguntungkan bagi peneliti tetapi juga meningkatkan kualitas skripsi ataupun tesis mahasiswa.
Pemateri 4: Hening Tirta Kusumawardani.
Salary vs Fee-for-Service vs Kapitasi: Rasionalitas Insentif Profesi Tenaga Kesehatan sebagai Pemberi Layanan Kesehatan dan perspektif Pasien sebagai Masyarakat dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Pemateri memaparkan kajian literatur mengenai skema-skema pemberian insentif bagi profesi kesehatan yang ada sekarang ini yaitu: salary atau gaji, Fee-for-service (FFS atau membayar untuk setiap pelayanan) dan kapitasi atau pembayaran per-kepala. Masing-masing metode memiliki keterbatasan-keterbatasan. Pemateri mengusulkan metode sandwhich, dengan komponen dasar berupa salary sebagai penghasilan pokok, komponen kedua sebagai kompensasi tanggung jawab dan beban kerja dalam bentuk kapitasi dalam artian semakin banyak pasien yang ditangani maka semakin tinggi insentif, dan komponen ketiga sebagai insentif bila dokter berhasil mencapai program nasional tertentu yaitu dalam bentuk FFS.
Diskusi lebih lanjut membahas sistem yang saat ini ada di Indonesia. Untuk pegawai negeri di Puskesmas dan Rumah Sakit, sudah ada sistem gaji dan tambahan insentif sesuai jumlah pasien yang ditangani, tetapi insentif dari pencapaian tertentu belum ada. Terkait berapa standar pendapatan dokter pun belum ada angka yang definitif dan perlu penetapan untuk ke depannya.
dr. Boy dari FK UI mengusulkan perlunya pengguna JKN untuk membentuk suatu perkumpulan sebagai sarana pelindung masyarakat sebagai konsumen.
Kembali ke halaman utama reportase InaHEA