10 April 2015
The 2nd Indonesia Health Economics Association Congress
“Health Financing and Economics of nutrition”
Jakarta, 9 April 2015
Panel 7
Reportase Hari Kedua InaHEA 2015:
Pharmacoeconomics
Reportase oleh: Madelina A
Sesi ini sangat menarik untuk disimak karena memaparkan mengenai kegiatan kerjasama Indonesia Australia dalam 20 tahun ini di bidang penguatan sistem kesehatan. Sesi ini langsung dimoderatori oleh Budiharja Singgih dari AIPHSS. Melalui arahan Budi, peserta diajak untuk memahami upaya penguatan sistem kesehatan di Indonesia yang dibangun oleh Australia dan Indonesia ini. Banyak program dan kebijakan nasional mengenai sistem kesehatan yang dibangun oleh upaya ini.
Jhon Leigh dari DFAT Indonesia Programs on Health mengantarkan mengenai proses panjang kerjasama Indonesia Australia dalam membangun sistem kesehatan di Indonesia. Hasil upaya ini sudah dapat kita lihat dari banyaknya keberhasilan target kesehatan kita, misalnya penurunan 40% angka kematian ibu di NTT. Ruang lingkup bantuan dari Australia tidak hanya masalah pendanaan, tetapi lebih kearah membangun kemampuan pusat dan lokal dalam pengembangan sistem kesehatan. Program pengembangan instansi dan sumber daya kesehatan melalui pelatihan, pendidikan lanjut, dan pelatihan untuk instansi.
Kemudian, hal yang menarik ialah , bantuan yang diberikan juga termasuk meluaskan jejaring Indonesia dengan negara lain. Status legal hubungan dua negara ini semakin erat dengan adanya Indonesia Australia Partnership, sehingga kerjasama yang terbangun benar-benar komprehenshif untuk membangun dan mengembangkan sistem kesehatan di Indonesia.
Paparan Jhon Leigh langsung mendapat komentar dari moderator, Budiharja menjelaskan lebih rinci mengenai empat dari tujuh subsistem kesehatan yang dibantu Australia dari kerjasama ini. Subsistem tersebut termasuk subsistem regulasi, manajemen, dan sistem informasi kesehatan, subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sumberdaya manusia kesehatan, dan subsistem program layanan kesehatan.
Sesi selanjutnya menghadirkan Jack Langenbrunner yang merupakan AIPHSS Senior Health Financing Adviser. Di sini Jack berbicara mengenai Global Experience of Public Private Partnership (PPP). Public private partnership merupakan hal penting yang harus dibangun sebuah negara yang ingin mencapai kesejahteraan kesehatan masyarakat, sebab sisi private ini ada dan bagi negara wajib mengajak dan bekerjasama dengan mereka untuk pembangunan.
Jack memaparkan banyak pengalaman dan kasus-kasus mengenai PPP di berbagai negara Eropa dan amerika dalam pembiayaan sistem kesehatan. Untuk jaminan kesehatan, Jack mengambil contoh Estonia dengan PHC package-nya dan UK dengan outpatient services. Jack juga memaparkan mengenai sharing biaya untuk rumah sakit di negera-negara tersebut.
Selain menghadirkan ahli ekonomi kesehatan, sesi pleno ini juga menghadirkan ahli sumber daya manusia kesehatan dari Indonesia, Andreasta Meliala dari Fakultas Kedokteran UGM. Jika sebelumnya membahas pelajaran-pelajaran dari negara lain, maka Andreasta menjelaskan mengenai kasus dan data aktual dari Indonesia. Kasus SDMK tersebut termasuk data sebaran, kebijakan SDMK, rasio, pencapaian, dan kompetensi SDMK di Indonesia.
Dalam konteks pembiayaan kesehatan saat ini, kita perlu memperhatian mengenai perilaku SDMK, jangan-jangan sistem pembayaran ini mempengaruhi keputusan dan perilaku SDMK dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Jika berbicara rasio tenaga kesehatan maka Indonesia sudah mampu melebihi standar rasio WHO. Namun, untuk Standar Pelayanan Minimum, apakah itu sudah cukup? Jelas tidak bagi Indonesia. Bagaimana dengan kompetensi SDMK? Benar fakultas kedokteran meningkat, sekolah tinggi kesehatan banyak? Pertanyaannya apakah sudah rata kompetensinya? Bagaimana perbandingan masalah-masalah ini dengan negara tetangga di Asean?
Hal-hal di atas dibahas dalam sesi ini. Sebuah potret SDMK Indonesia yang harus kita carikan solusinya. Terdapat dua hal besar yang direkomendasikan oleh Andreasta. Pertama mengenai mengubah paradigma. Untuk konteks Indonesia, tidak relevan jika kita menggunakan SPM untuk indikator kecukupan SDMK. Namun, coba melihat indikatornya berdasarkan daerah? Pola penyakit, yang pada intinya dari sisi need atau kebutuhan. Kedua, melihat masalah secara komprehensif. Indikator ketersediaan SDMK seyogyanya dapat dilihat dari masalah kesehatan di konteks daerah masing-masing. Terakhir, karena sistem pembiayaan tidak hanya berbicara mengenai jaminan kesehatan, tetapi juga dibutuhkan sokongan pembiayaan yang adekuat untuk menyediakan dan terlebih meningkatkan kompetensi SDMK Indonesia.
Diskusi sesi ini mendapat banyak pertanyaan dari peserta, banyak yang tertarik menanyakan mengenai bantuan Australia untuk pembangunan sistem kesehatan Indonesia, bagaimana exit strategi yang dibangun salah satunya. Begitu juga dengan keluhan dinas kesehatan dan rumah sakit daerah mengenai pembangunan sekolah tinggi kesehatan yang marak di daerah mereka. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan standar komptensi dan serapan lulusan sekolah ini?.
Sesi ini ditutup oleh moderator, Budiharjo memberikan kesimpulan besar paparan dari tiga narasumber kali ini. Kerjasama Indonesia Australia termasuk yang kuat dan jelas karena berbentuk tindakan nyata dalam program-program yang tertuang. Ketegasan negara itu sangat penting untuk menginstruksi layanan publik dan membentuk regulasi untuk layanan private. Untuk regulasi dan kompetensi SDMK seyogyanya kita membutuhkan juga kerjasama dengan kementerian lain di luar kesehatan.
Panel 7
Reportase Hari Kedua InaHEA 2015:
Pharmacoeconomics
Reporter: Budi Eko S
Persentasi oral di hari kedua InaHEA yaitu Kamis, 09 April 2015 dibagi menjadi empat ruang sesuai topik abstrak masing-masing. Topik farmakoekonomi disampaikan di Ruang Jasmine 4 mulai pukul 13.00-15.00 WIB. Sesi panel 7 yang dimoderatori oleh Ibu Eka Pujiyanti ini terdiri dari empat presentasi oral, sebagai berikut :
No. | Penulis | Judul |
1. | Yusi Anggriani, Prastuti Soewondo, John Langenbrunner, Edwina Frisdiantiny | Trends on Pharmaceutical Spending Under JKN, 2014 |
2. | Adiatma Yudistira Manogar Siregar, Noor Tromp, Dindin Komarudin, Rudi Wicaksana, Reinout van Crevel, Andre van der Ven, Rob Baltussen | Costs of HIV/ AIDS Treatment in Indonesia by Time on Treatment and Stage of Disease |
3. | Nanda Asyura Rizkyani, Taralan Tambunan, Rani Sauriasari | Peran Serta Farmasi Klinik dalam Memperbaiki Efektivitas Biaya Terapi Antibiotik di PICU RSUPN Cipto Mangunkusumo |
4. | Elsa Novelia | Cost Effectiveness Analysis on Chronical Dyalisis: Comparison Between Haodialosid & Chronic Ambulatory Peritoneal Dialysis |
Penulis :
(1) Yusi Anggriani, TNP2K
(2) Prastuti Soewondo, TNP2K
(3) John Langenbrunner, TNP2K
(4) Edwina Frisdiantiny, TNP2K
Penyaji : Yusi Anggriani
Judul : Trends on Pharmaceutical Spending Under JKN, 2014
PKMK– Tidak dapat dipungkiri bahwa pembiayaan dari aspek farmasi sangat penting dalam pelaksanaan program JKN. Hal tersebut kemudian dikaji lebih lanjut oleh Yusi Anggriani, dkk terutama kaitannya dengan e-catalogue. Penjabaran secara umum mengenai tugas dan fungsi berbagai pihak terhadap FORNAS dan E-Catalogue menjadi materi yang mengawali sesi kali ini.
Hasil kajian menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan obat selalu mengalami peningkatan dari tahun 2009-2014. Walaupun demikian, penggunaan obat tersebut masih didominasi oleh obat brand dan bukan obat generik. Kondisi ini tidak banyak berubah setelah program JKN diselenggarakan. Perubahan total pembiayaan justru terjadi di beberapa jenis obat. Obat yang mengalami penurunan dalam pengeluaran biaya, seperti : systemic antibacterial, calcium antagonist, antirheumatic system, dll.
Beberapa diskusi juga menekankan bahwa peningkatan pembiayaan obat bukan hanya disebabkan oleh peningkatan akses, melainkan juga peningkatan utilisasi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Sebagian besar pembiayaan obat ternyata juga merupakan obat yang tidak masuk dalam E-Catalogue.
Penulis :
(1) Adiatma Yudistira Manogar Siregar, IMPACT, Bandung
(2) Noor Tromp, Universitas Padjadjaran
(3) Dindin Komarudin, Redboud University Nijmegen Medical Center
(3) Rudi Wicaksana, Redboud University Nijmegen Medical Center
(4) Reinout van Crevel, Redboud University Nijmegen Medical Center
(5) Andre van der Ven, Redboud University Nijmegen Medical Center
(6) Rob Baltussen, Redboud University Nijmegen Medical Center
Penyaji : Adiatma Yudistira Manogar Siregar
Judul : Costs of HIV/ AIDS Treatment in Indonesia by Time on Treatment and Stage of Disease
PKMK– HIV/ AIDS masih menjadi fokus utama dalam program kesehatan di beberapa negara. Pembiayaan pada HIV/ AIDS dikaji lebih lanjut oleh Adiatma, dkk untuk menilai beberapa pilihan dan keterbatasan dalam rangka peningkatan efisiensi, akses, dan cakupan dari pelayanan kesehatan. Studi yang dilakukan di Jawa Barat tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar biaya merupakan biaya tes laboratorium. Rata-rata biaya per pasien mulai menurun seiring dengan masa pengobatan yang dilakukan secara rutin.
Beberapa audien juga menambahkan bahwa biaya transportasi pasien turut berkontribusi dalam meningkatkan beban biaya pasien HIV/ AIDS, bahkan proporsi biaya tersebut dapat mencapai lebih dari 40%. Peran pemerintah dan instansi yang terkait diharapkan dapat menjamin dan mengakomodir kebutuhan pasien HIV/ AIDS terhadap pelayanan kesehatan.
Penulis :
(1) Nanda Asyura Rizkyani, RSUPN Cipto Mangunkusumo
(2) Taralan Tambunan, RSUPN Cipto Mangunkusumo
(3) Rani Sauriasari, Fakultas Farmasi Universitas Indonesia
Penyaji : Nanda Asyura Rizkyani
Judul : Peran Serta Farmasi Klinik dalam Memperbaiki Efektivitas Biaya Terapi Antibiotik di PICU RSUPN Cipto Mangunkusumo
PKMK– Peranan farmasi klinik di era JKN berkembang yaitu melakukan evaluasi farmakoekonomi. Hal tersebut dilakukan terutama pada penggunaan antibiotik pasien yang berisiko tinggi akan resistensi. Studi yang dilakukan oleh Ibu Nanda, dkk ini menggunakan metode analisis efektivitas biaya terapi antibiotik pada kelompok yang mendapatkan dan tidak mendapatkan rekomendasi dari farmasi klinik.
Ibu Nanda menjelaskan bahwa peran serta farmasi klinik dalam terapi dapat menurunkan biaya dan lama rawat pasien di PICU RSCM. Beberapa diskusi seputar metode dan kendala penelitian juga dibahas pada sesi ini. Aspek kepercayaan perlu ditumbuhkan, terutama antara dokter dan farmasi dalam rangka memberikan layanan farmasi yang lebih cost effective.
Penulis : Elsa Novelia, BPJS Kesehatan
Penyaji : Elsa Novelia
Judul : Cost Effectiveness Analysis on Chronical Dyalisis: Comparison Between Haodialosid & Chronic Ambulatory Peritoneal Dialysis
PKMK– Studi yang dilaksanakan oleh Ibu Elsa lebih memfokuskan pada komparasi cost effectiveness antara HD dan CAPD dalam pasien ESRD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total biaya hemodialysis per tahun mencapai Rp 133.396.692,- dan Rp 81.680.000,- untuk CAPD dengan nilai kualitas hidup sebesar 90%. CAPD lebih cos effective dari HD dengan ICER Rp 2.032.889,- (for ekstra better emotional role).
Diskusi mengenai topik cost effectiveness menjadi semakin menarik, terlebih tidak semua layanan farmasi menerapkan hal ini. Salah satu yang perlu ditekankan sebagai feedback adalah meningkatkan pemahaman masyarakat untuk menggunakan layanan kesehatan yang cost effective, terutama dalam program JKN.
Materi Presentasi: