29 January 2014
Pendanaan Kesehatan Daerah
Pendanaan kesehatan daerah menjadi topik menarik, terutama setelah adanya desentralisasi kesehatan. Ditambah lagi pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pembiayaan kesehatan perlu mendapat perhatian antara lain bagaimana alokasinya, bagaimana pelaksanaan di daerah, dan bagaimana dengan program terkait yang membutuhkan pembiayaan.
Sesi ini bertemakan Pendanaan Kesehatan Daerah. Sedikit berbeda dengan sesi-sesi diskusi pada hari sebelumnya yang membicarakan tentang dana, pembiayaan, dan semua yang berhubungan dengan rupiah. Paper-paper dalam sesi ini mencoba mengangkatprogram dan topik khusus di daerah.
Sesi ini dimulai tepat pukul 15.20 WIB di ruang Voltaire, Hotel Novotel Bandung dan dimoderatori oleh Chriswardani Suryawati. Ada enam paper menarik yang seharusnya dipresentasikan pada kesempatan ini namun, dua presenter berhalangan hadir sehingga hanyaempatpaper yang bisa dipresentasikan. Masing-masing paper membahas topik yang tidak berkaitan langsung satu sama lain.
Efektivitas pembelian (Purchasing) Pelayanan Kesehatan melalui Institution-Based Contracting Out di Berau, Nias, dan NTT
Paper pertama ini dipresentasikan oleh Dwi Handono Sulistyo dari Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Contracting out barangkali bagi sebagian orang adalah hal yang baru. Inovasi ini adalah upaya pemerataan penyebaran tenaga kesehatan di daerah menggunakan kontrak instusi atau individual.
Membahas JKN ada banyak hal yang menjadi tantangan, salah satunya adalah pemertaan tenaga kesehatan. Sedangkan kita dihadapkan pada kelangkaan dan maldistribusi tenaga kesehatan yang sampai saat ini belum terpecahkan masalahnya dengan baik. Banyak intervensi yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan ini, antara lain PTT dokter dan bidan. Namun, selama ini kontrak yang dilakukan bersifat individu. Paper ini memaparkan tentang upaya inovasi menyelesaikan masalah tenaga kesehatan ini dengan kontrak lembaga atau institusi.
Tiga daerah yang dipilih sebagai tempat penelitian yaitu Berau, Nias, dan NTT. Namun, Berau gagal diintervensi karena tidak tersedia adanya lembaga swasta yang bisa dikontrak. Sedangkan untuk Nias dan NTT selama rentang waktu penelitian 2006 hingga 2012 didapatkan bahwa intervensi ini dapat meningkatkan akses dan kualitas pelayanan.
Mengukur Biaya Membangun Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana : Studi Kasus di Kabupaten Gunungkidul
Paper ini membahas mengenai bencana yang dipresentasikan oleh Bella Donna dari Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM. Pembiayaan bencana selama ini lebih banyak diarahkan untuk dana penanggulangan bencana dan pasca bencana. Namun, melihat meningkatnya kejadian bencana dan tingginya kerugian akibat bencana, pola pembiayaan selama harus mengalami perubahan.
Pembiayaan untuk kesiapsiagaan harus dianggap sebagai investasi pembangunan dan mengurangi risiko dampak bencana ke depannya. Sebuah simulasi bencana yang dilaksanakan PKMK di Kabupaten Gunungkidul memberikan rekomendasi pembiayaan sebuah simulasi yang melibatkan seluruh sector di pemerintah dan swasta. Selama ini, kekacauan penanggulangan bencana terjadi akibat lemahnya koordinasi, dengan adanya simulasi yang dilakukan rutin akan memperbaiki komunikasi dan koordinasi antarinstansi dalam penanggulangan bencana di daerah.
Di sesi diskusi,paper ini mendapat komentar menarik dari peserta, ada yang menanyakan bagaimana melibatkan masyarakat dalam penanggulangan bencana dan bagaimana agar rencana penanggulangan bencana di rumah sakit dirasakan dibutuhkan oleh rumah sakit. Selama ini memang pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan advokasi sehingga masyarakat dikerahkan sendiri akhirnya oleh orang yang berpengaruh di wilayah setempat. Sedangkan, rencana penanggulangan bencana di rumah sakit saat ini sudah masuk sebagai salah satu penilaian untuk mendapatkan akreditasi tetapi disayangkan terkadang masih dalam bentuk dokumen saja. Untuk itu, saat ini sedang diusahakan bagaimana menyusun penilaian rencana penanggulangan bencana yang operasional sebuah rumah sakit bagi tim akreditasi.
Kebutuhan Keluarga Indonesia terhadap Asuransi Disability Income
Jika selama ini kita lebih banyak mengetahui tentang asuransi yang menjamin biaya ketika kita sakit. Maka paper ini mencoba mengemukakan tentang asuransi Disability Income. Asuransi disability income adalah asuransi yang menjamin gaji kita tetap ada meskipun kita sakit atau mengalami suatu musibah yang membuat kita tidak bisa bekerja atau menurunnya pendapatan kita dari biasanya. Sama seperti asuransi pada umunya, peserta akan membayar premi. Bedanya, peserta akan diminta keterangan mengenai gaji mereka sehingga jika terjadi keterbatasan di masa depan, peserta akan tetap mendapatkan gaji yang sama dari asuransi.
Paper ini dipresentasikan oleh Pudjianto dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Paper ini dilatarbelakangi oleh data Susenas 2012 yang diolah sedemikaian rupa dan menghasilkan data bahwa pada usia 25 -59 tahun minimal 1 hari dalam sebulan ada gangguan 1 hari. Hal ini berarti 1 dari 4 orang yang sekarang berumur 25 tahun akan mengalami gangguan 1 hari dalam sebulan sampai dia berusia 65 tahun. Oleh karena dunia kerja saat ini menuntut kita untuk tampil selalu produktif, maka asuransi ini diperlukan sebagai jaminan jika kita mengalami gangguan kerja yang lebih banyak, misalnya akibat kecelakaan, kecacatan, dan lainnya.
The Role of Health Insurance in Financing the Health System at the District level: What has been Learned the DHA?
Paper yang dipresentasikan oleh David W Dunlop ini membahas mengenai peran asuransi kesehatan dalam pembiayaan sistem kesehatan di daerah. Terutama menjelang target jaminan kesehatan nasional mencakup seluruh WNI pada tahun 2019 mendatang. Pembiayaan kesehatan yang dilaksanakan daerah dapat menjadi masukan untuk sistem pembiayaan kesehatan nasional dalam era JKN.
Penelitian ini menggunakan data district health account (DHA) di 72 daerah yang dikombinasikan dengan data yang dimiliki oleh PPJK Kemenkes, didapatkan beberapa indikator yang digunakan untuk menganalisis, diantaranya pembiayaan administasi perkapita, pembiayaan perkapita program kesehatan masyarakat, pembiayaan perkapita program kesehatan masyarakat dalam MDGs, total pembiayaan perkapita pelayanan kesehatan, total pembiayaan perkapita rumah sakit, dan total pembiayaan perkapita puskesmas.
Hasilnya, asuransi kesehatan daerah tidak berhubungan dengan pembiayaan untuk program kesehatan masyarakat dan untuk program MDG. Analisis ini menunjukkan bahwa kita harus mempersiapkan ruang untuk meningkatkan desain dan pembiayaan untuk program asuransi kesehatan di daerah serta melakukan monitoring pelaksanaan program asuransi baik asuransi di daerah maupun nasional untuk meningkatkan upaya pelaksanaan jaminan kesehatan nasional yang sedang dibangun negara kita.
Kembali ke halaman utama reportase InaHEA