Jokowi Tegur BPJS Kesehatan, BPJS Watch: Ini yang Kita Tunggu

Presiden Joko Widodo bersama Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris melakukan blusukan meninjau pelayanan Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta, 26 Februari 2018. Blusukan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) untuk memantau penggunaan Kartu Indonesia Sehat. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Jakarta - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai teguran Presiden Joko Widodo atau Jokowi kepada Direksi BPJS Kesehatan sudah tepat. Sebab, selama ini Direksi BPJS Kesehatan memang bertanggung jawab kepada Presiden.

"Ini yang selama ini kita tunggu. Selama ini direksi bekerja tidak ada evaluasi maupun teguran dari presiden," kata Timboel kepada Tempo, Rabu, 17 Oktober 2018. Sehingga, dengan teguran itu diharapkan kinerja BPJS Kesehatan bisa meningkat.

Selama ini, tutur Timboel, kinerja direksi BPJS Kesehatan dinilai kurang maksimal. "Misalnya piutang Rp 3,4 triliun, itu kan tanggung jawab direksi," kata dia.

Belum lagi tingkat kepesertaan yang masih kalah ketimbang BPJS Ketenagakerjaan. Berdasarkan catatan BPJS Watch, jumlah pekerja penerima upah (PPU) swasta dari BPJS Kesehatan baru 12,7 Juta atau selisih 2 juta dari BPJS Ketenagakerjaan yang mencapai 14 juta.

"Kalau bisa naikkan peserta PPU Swasta kan bisa nambah Rp 1,9 triliun," kata Timboel..

Di samping itu, Timboel menilai Jokowi semestinya juga menjelaskan kepada publik ihwal defisit yang mendera BPJS Kesehatan. Sebab, defisit itu bukan semata disebabkan oleh kinerja direksi, melainkan berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat.

Presiden, menurut Timboel, harus menjelaskan alasan pemerintah tidak menaikkan iuran. padahal sumber utama pendapatan bagi lembaga tersebut adalah iuran. "Sesuai Perpres 82 Tahun 2018, iuran harus ditinjau per dua tahun, setelah 2016 naik, harusnya tahun ini naik juga, tapi kan tidak."

Timboel menilai tidak naiknya tarif iuran itu kemudian berimbas kepada kinerja keuangan BPJS yang tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan. Muaranya, BPJS Kesehatan akhirnya mengalami defisit keuangan.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menegaskan seharusnya persoalan defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan bisa diselesaikan di tingkat kementerian. "Ini urusan Direktur Utama (Dirut) BPJS [Kesehatan], enggak sampai ke Presiden," katanya dalam Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi).

Jokowi mengaku tahu bahwa masalah defisit yang dialami BPJS Kesehatan berawal dari urusan pembayaran rumah sakit. "Saya ngerti. Sampai di meja saya sebulan atau lima pekan lalu," katanya. Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 10,98 triliun.

Untuk menambal defisit tersebut, pemerintah sudah menyuntik dana hingga Rp 4,9 triliun pada tahap pertama. Selanjutnya, suntikan dana akan didapat dari cukai rokok yang aturannya--berupa Peraturan Presiden (Perpres)--sudah diteken Jokowi pada pertengahan September 2018 lalu.

Menurut Jokowi, untuk mencegah persoalan tersebut terulang kembali, harus ada manajemen sistem yang baik dan memberikan kepastian bagi rumah sakit. Ia juga menyayangkan Menteri Kesehatan dan Dirut BPJS Kesehatan tak bisa menyelesaikannya.

"Ini adalah problem tiga tahun yang lalu. Kalau bangun sistemnya benar, gampang. Mestinya harus rampung di Menteri Kesehatan dan Dirut BPJS Kesehatan. Urusan ini kok sampai Pesiden, kebangetan," ucap Jokowi.

sumber: tempo.co

Berita Tekait

Policy Paper